April 10, 2014

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto

Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan pemikiran dan imajinasi reseptif pembaca. Pertemuan itu hampir selalu menghasilkan representasi dari suatu kenyataan relatif. Nh. Dini, misalnya, menemukan suasana yang akrab meski tidak selalu sepakat ketika membaca dan kemudian menerjemahkan novel La Feste karya Albert Camus. Tetapi, siapa bisa menjamin orang lain akan menemukan suasana yang sama?
Membaca karya sastra adalah pengalaman subjektif dan personal. Proses dan hasil pembacaan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman dan keseluruhan personalitas pembaca. Oleh karena itu, sangat wajar apabila sebuah novel, misalnya, dipahami dan disikapi begini oleh seseorang tetapi begitu oleh orang lain.
Kalau saya menemukan suasana konfrontatif ketika membaca novel Ziarah karya Iwan Simatupang, itu tidak terlepas dari bagaimana pengalaman dan keseluruhan personalitas saya bermain dalam proses pembacaan itu. Kemudian, kalaupun saya menemukan titik perhatian yang justru bagi pembaca lain tidak menarik atau tidak penting; atau sebaliknya saya tidak tertarik pada suatu bagian yang justru bagi pembaca lain menarik dan penting, itu pun bagian dari relativitas dalam proses resepsi atas karya sastra. Walaupun tetap ada benang merah yang mungkin dipahami atau disikapi secara sama, tetapi hampir selalu tidak mungkin ada semacam blue print yang dapat dijadikan referensi.
Berangkat dari perspektif di atas tulisan ini saya maksudkan untuk sekadar mengungkapkan kembali pergulatan yang sala alami ketika membaca dan meresepsi novel Ziarah karya Iwan Simatupang.
Panorama Eksistensialisme
Ziarah bagi saya adalah novel yang berat dan menguras begitu banyak energi dan waktu. Perlu persiapan yang benar-benar matang sebelum memutuskan untuk membacanya dan untuk terus membacanya. Tekanan yang berat itu terutama disebabkan oleh pekatnya atmosfer pemikiran filsafat yang diusung di dalamnya, terutama filsafat eksistensialisme. Tekanan tersebut diperberat lagi dengan sulitnya memosisikan logika keseharian di hadapan teks yang didominasi oleh absurditas dan keliaran imajinasi pengarang. Tekanan semacam ini mungkin dapat dibandingkan dengan tekanan yang juga dapat dirasakan ketika membaca novel Olenka-nya Budi Darma atau novel-novel Iwan lainnya, terutama Kering dan Merahnya Merah, karya-karya yang juga mengusung kerumitan pemikiran eksistensialisme.
Cecep Syamsul Hari dalam Majalah Sastra Horison edisi Juli 2001 melansir bahwa cara berpikir Iwan memang dipengaruhi oleh pemikiran eksistensialisme, terutama dari Jean Paul Sartre, filsuf kelahiran Perancis yang bukunya L’etre et le neat (Ada dan Ketiadaan) menjadi dokumen penting aliran filsafat eksistensialisme. Informasi ini mungkin dapat dijadikan acuan awal untuk lebih memahami pemikiran Iwan dan karya-karyanya. Pengarang kelahiran Sibolga, 18 Januari 1928 yang bernama lengkap Iwan Martua Dongan Simatupang ini memang produktif melahirkan karya-karyanya yang dianggap beraliran eksistensialisme—suatu aliran filsafat Barat yang memang banyak dia baca dalam pengembaraannya di Eropa awal tahun ’50-an (Hoerip, 1982: 274).
Untuk lebih memahami posisi pemikiran Iwan dalam kerangka eksistensialisme mungkin perlu diuraikan serba sedikit epistemologi filsafat eksistensialisme yang saya rangkum dari berbagai sumber, terutama dari Titus dkk. (1984: 381 et seqq). Informasi dari sumber lain akan diberi notasi pengutipan tersendiri.
Eksistensialisme—dan juga fenomenologi—menyajikan sikap atau pandangan yang menekankan diri kepada eksistensi manusia. Artinya, kualitas-kualitas yang membedakan individu (perorangan) dan tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum. Secara radikal Walter Kaufmann (1956: 12) menyatakan bahwa penolakan mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan, semua itu pokok dari eksistensialisme. Eksistensialisme memandang bahwa masyarakat industri cenderung mendundukkan orang seorang kepada mesin; manusia dalam bahaya menjadi alat, komputer, atau objek. Eksistensialime juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, maupun yang lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke dalam kolektif atau massa.
Soren Kierkegaard (1813—1855), seorang pemikir yang dianggap sebagai pendiri eksistensialisme, pernah mengatakan bahwa usaha untuk menuangkan kenyataan ke dalam suatu sistem, ke dalam kotak-kotak atau kategori-kategori adalah perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu adalah konkret, individual, dan akhirnya manusia konkret itu hanya dapat dimengerti dalam hubungannya yang paling pribadi dengan Tuhan, dalam dialog dengan Tuhan (Hartoko, 1986: 66).
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Filsafat ini menakankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong utama adalah “untuk hidup” dan “untuk diakui” sebagai individu. Jika seorang manusia diakui seperti itu, ia akan memeroleh arti dan makna dalam kehidupan. Junus (1965: 38) menambahkan, eksistensialisme menginginkan manusia bertindak sebagai manusia dengan memberi reaksi terhadap sebagala sesuatu yang berlaku; manusia adalah sesuatu yang dalam bahasa Inggris dinyatakan sebagai being-for-itself.
Reaksi eksistensialistik itu bisa beragam bentuk dan spesifikasinya. Tidak mengherankan kalau Nh. Dini (1985: v) mencatat bahwa pada tahun 1952 dunia sastra diguncang oleh polemik mendidih antara dua raksasa eksistensialisme: Camus dan Sartre. “Aku memberontak, jadi aku ada,” kata Camus yang pada waktu itu berusia 39 tahun. Sartre (47 tahun) berpendapat, “Aku berpikir, jadi aku ada”. Tempat bertanya yang paling baik bagi manusia adalah kesadarannya yang langsung, dan kesadaran tersebut tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam abstraksi. Pemikiran yang abstrak cenderung menjadikan manusia impersonal dan menjauhkannya dari rasa manusia yang konkret dan rasa itu berada dalam situasi manusia.
Kelompok eksistensialisme membedakan eksistensi dari esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjalin dalam ruang dan waktu dan menunjuk kepada “suatu benda yang ada di sini dan sekarang”. Istilah esensi adalah sebalik dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara dua benda dan corak-corak benda yang lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu.
Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Sebaliknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalaman yang subjektif. Eksistensialisme mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman subjektif tentang hidup.
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawa penekanan terhadap pentingnya kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan bukan sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan; kebebasan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kebebasan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia memahaminya. Di atas itu semua, manusia harus menerima tanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang.
Sartre, misalnya, dalam kaitan ini memandang manusia harus bersandar kepada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. kebebasan, menueut Sartre, memberikan rasa kehormatan kepada dirinya dan menyelamatkannya dari “sekadar menjadi objek”.
Eksistensialisme telah dipujikan karena telah menarik perhatian kita kepada beberapa problem masa kini, tentang pengalaman dan eksistensi manusia secara jelas, dan karena telah merasakan adanya kepincangan antara pemikiran dan tindakan. Eksistensialis bertindak benar dan meminta para intelektual untuk mengambil sikap jika muncul persoalan mengenai mati atau hidup. Kita harus mengakui perlunya mengambil keputusan dan bertindak, serta perlunya pemikiran dan analisis.
Akan tetapi, itu tidak berarti eksistensialisme sepi dari kritik. Kritik utama terhadap filsafat ini adalah bahwa dalam menolak objektivitas ektrem dan palsu yang menjurus untuk mengingkari kualitas-kualitas khusus dari manusia, eksistensialisme tampaknya telah terlalu jauh menunju ke arah yang berlawanan dan menolak objektivitas. dengan begitu maka eksistensialisme telah menganggap kecil pentingnya sains, alam dan dunia di luar diri sendiri, akal dan beberapa pandangan yang berharga dari filsafat-filsafat lain. Lebih jauh para penentang eksistensialisme mengatakan bahwa eksistensialisme hanya dapat memberikan deskripsi yang tidak sepadan kepada pengalaman manusia yang menjadi tujuan mereka yang utama.
Konfrontasi Itu
Iwan adalah satu dari sedikit nama dalam khazanah kesusastraan kita yang telah memberikan sumbangan sangat berarti bagi suatu kecenderungan baru dalam penulisan prosa, dengan bentuk yang padat, mengandung bahasa puitis yang kuat dengan simbol-simbol yang mempresentasikan sebuah dunia surealis dan absurd (Hari, 2001). Ziarah dapat dikatakan sebagai puncak pencapaian estetika Iwan yang mempresentasikan kekuatan imajinasi yang begitu kaya dengan kesegaran ekspresi dan improvisasi. Akan tetapi, karya seperti ini selalu memberikan risiko yang tidak ringan bagi pembacanya ketika ia meresepsinya. Salah satu kemungkinan risiko itu adalah timbulnya semacam konfrontasi yang mengharuskan pembaca berada pada posisi frontal di hadapan teks. Dan inilah yang saya alami, tetapi sekaligus saya nikmati.
Suasana konfrontatif  bahkan sudah mulai terasa pada ketika saya membaca bagian-bagian awal teks Ziarah. Ini sesuatu yang saya anggap sebagai pressure yang mengejutkan karena sebelumnya tidak ada persiapan ke arah itu. Iwan, misalnya, menggambarkan apa yang dialami “tokoh kita”—demikian ia menyebut tokoh utama cerita—sebagai berikut.
Sudah berapa lama dia tidak ziarah? Belum pernah. Istrinya mati, kata orang. Telah terkubur, kata orang. Tapi, dia sendiri tidak mau melihat istrinya yang sudah mayat itu. Dia, suami si mayat, tak tampak. Dia lari tunggang langgang ke kakilima jalan raya, dan bersama khalayak ramai menonton iring-iringan mayat istrinya lewat dari situ. (hlm. 1—2)
Pertanyaannya bagi saya: sudah atau dalam proses menjadi gilakah lelaki itu? Ya, gila dalam pengertian skizofrenia! Tidak ada jawaban yang memastikannya dari Iwan. Saya dibuatnya terlunta-lunta dalam ketidakpastian. Ini menenggelamkan saya kepada pemikiran apakah lelaki itu termasuk ke dalam jenis manusia yang digambarkan oleh Hari (2001) sebagai “karakter yang asing, ‘hilang’, misterius, tersesat dalam rimba labirin filosofis dan/atau terasing dari realitas kehidupan”. Maka berlangsunglah konfrontasi awal yang berakhir deadlock tetapi dengan satu harapan jawabannya akan ditemukan dalam proses pembacaan lebih lanjut.
Keliaran Iwan dalam melukiskan “tokoh kita” ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada bagian-bagian berikutnya ia melukiskan tokoh tersebut dengan keliaran yang semakin menjadi-jadi. Misalnya ini:
Ketika istrinya belum mati, kata orang dan ini dibenarkan oleh kritikus-kritikus terkemuka, dia seorang pelukis berbakat sekali dan mempunyai masa depan yang baik. Tapi, begitu istrinya selesai dikubur, seluruh lukisannya dan alat lukisnya dilempar dalam laut. Kepada para kritikus yang tercengang ia berkata mereka selama ini salah semuanya, sebab sesungguhnya ia tidak punya bakat, apalagi masa depan baik. Sejak itu dia menjadi semacam buruh freelance. Itu pun ia hanya sedia kerja paling banyak lima jam berturut-turut sehari, tak lebih (…) Kerja apa saja yang diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang orang tuanya perlu bepergian, membersihkan pekarangan rumah, menjadi kacung bola tenis, dan seterusnya. (hlm. 5—6)
Lalu, apakah maksud Iwan dengan menggambarkan tingkah laku tokoh “opseter pekuburan” yang terobsesi untuk menikmati siksaan yang dialami “tokoh kita” yang begitu fobia untuk berdekatan dengan makam istrinya, sehingga opseter itu memutuskan untuk memberikan order mengapur tembok-tembok pekuburan yang belum waktunya dikapur dan dengan biaya sendiri? Iwan hanya mengatakan: “Demi kenikmatan yang belum pernah dirasakannya selama ini, dan yang kini benar-benar ingin dirasakannya”.
Apakah itu disebabkan oleh semacam trauma psikologis masa lalu yang direpresi oleh alam bawah-sadarnya sehingga ia memerlukan momentum pelepasan? Ataukah ini semacam infantilisme? (Bertens dalam glosarium buku Sigmund Freud (1986: 142) Sekelumit Sejarah Psikoanalisa mendefinisikan infantilisme sebagai adanya pola-pola kelakuan kekanak-kanakan pada orang yang telah dewasa.) Lagi-lagi Iwan bungkam.
Kebungkaman seperti ini bagi saya justru memperuncing konfrontasi subjektif saya di hadapan teks Ziarah. Konfrontasi semacam ini kemudian membawa saya pada pikiran jangan-jangan Iwan memang sengaja menyediakan jebakan untuk pembaca agar si pembaca itu tergiring pada ketidakpastian yang nantinya di akhir cerita Iwan membuat manuver yang akan memperdayai pembaca tersebut.
Kebungkaman seperti itu membuat saya bertanya-tanya mengapa setelah penolakan yang histeris, tiba-tiba saja ”tokoh kita” menyatakan kesediaannya menerima orderan itu. Apakah telah terjadi semacam stream of conciousness dalam waktu sesingkat itu?
Ziarah adalah novel yang pekat dengan absurditas. Itu mesti diakui. Meskipun demikian, tetap masih ada frame yang membingkai pertangungjawaban pengarang kepada pembaca atas absurditas itu. Ini disadari betul oleh Iwan. Itu terbukti dari uraian Iwan pada bagian menjelang akhir cerita yang mengungkapkan alasan mengapa ”tokoh kita” menerima tawaran itu, yaitu bahwa ia telah tahu segalanya: tentang kebencian opseter kepalanya yang membenci yang membenci pekuburan sebagai tempat umat manusia memboroskan sentimen dan harta bendanya; tentang itikad buruk opseter yang terobsesi untuk membalas dendam dengan cara menyaksikan penderitaannya dipaksa dekat dengan kuburan istrinya. Keputusan itu juga didukung oleh pandangannya bahwa:
Yang di dalam tanah itu bukanlah istri saya lagi. Sedikit pun dia tak punya sangkut-paut apa-apa dengan saya, dengan orang yang dulu jadi istri saya. Istri saya telah mati, kata orang. Ini saya terima sejauh mati berarti tak-ada, tiada. Yang sendiri berarti ada. Yaitu adanya tiada itu. (hlm. 136)
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa benar ”tokoh kita” telah mengalami stream of conciousness dalam waktu yang sekelebat itu. Fanatisme kita kepada logika mungkin tidak bisa menerima arus kesadaran bisa berlangsung secepat itu. Tetapi, dalam hal ini saya bisa berkompromi karena bahkan dalam kehidupan keseharian pun bisa saja terjadi seseorang mengalami semacam kilasan kesadaran intuitif yang spontan yang justru kemudian disadari telah menyelamatkannya dari situasi yang kritis. Secara psikologis ini mungkin dapat disebut sebagai gejala kompulsif, yaitu fenomena yang berkenaan dengan pikiran-pikiran atau perbuatan-perbuatan yang karena suatu paksaan tak sadar harus orang pikirkan atau lakukan di luar kemampuannya (Bertens dalam Freud, 1986: 143).
Konfrontasi berikutnya—dalam fokus yang berbeda—timbul akibat keputusan pengarang yang memosisikan dirinya di luar dilematika dan perbenturan pikiran dan sikap dari tokoh-tokoh cerita. Iwan dengan cerdik sekali bersikap netral dan membiarkan tokoh-tokohnya menggulati kerumitan pikiran sendiri, dan menggulati kerumitan konflik-konfliknya dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga kesannya Iwan bersih dari tendensi untuk menintervensi pemikiran dan sikap tokoh-tokoh tersebut. Bagi saya ini adalah salah satu keistimewaan Iwan, sekaligus merupakan tantangan yang mau tidak mau menghadapkan saya kepada medan konfrontasi baru yang celakanya kembali menguras energi. Kutipan berikut merepresentasikan netralitas Iwan yang saya maksud di atas.
....
              - Yang saya minta dari saudara adalah jenis kepatuhan yang tercantum dalam undang-undang dasar negara kita. Kepatuhan yang diminta tiap pemimpin dari tiap warganya.
              - Tetapi undang-undang dasar itu juga menjamin hak saya mengetahui alasan-alasan mengapa saya diminta patuh. Dalam hal ini: mengetahui mengapa saya dinonaktifkan dari jabatan saya.
              - Itu telah saya simpulkan tadi dengan ”demi kesejahteraan umum”. Seperti tiap gagasan lainnya. Ini tidak harus diperinci lagi.
              - Alasannya?
              - Dia berhenti jadi gagasan.
              - Apakah keadikaraan dari gagasan ini tidak justru menindas kesejahteraan saya?
              - Diri saudara, berikut seluruh persoalan saudara, sudah tercakup dalam apa yang saya sebut sebagai ”umum” tadi.
              - Tapi bagaimana dengan pikiran, perasaan dan pengalaman pribadi saya?
              - ”Umum” adalah lebih besar dari pribadi, dari sekian pribadi.
              - Apa bukan sebaliknya, Pak Walikota yang terhormat? Apa yang mudah kita cap sebagai ”umum” itu adalah, dan hanyalah, terdiri dari pribadi-pribadi, yakni manusia-manusia, warga-warga bebas.
(hlm. 17—18)
Perbantahan argumentatif ini berlangsung antara tokoh opseter dan walikota pada saat sang walikota mengantarkan sendiri (!) resolusi pemecatan opseter dari tugasnya dan penghentian pengecatan tembok-tembok pekuburan. Percakapan itu tidak berhenti sampai di situ. Walikota menemukan momentum yang tepat untuk melumpuhkan opseter dengan berpegang pada kata ”bebas” yang diucapkan oleh opseter. Dia memukul balik dengan mengatakan bahwa sang opseter telah ketinggalan zaman dalam mendefinisikan kata ”bebas”. Dia divonisnya telah ketinggalan zaman karena telah terlalu lama bercokol di pekuburan itu. ”Dari segi ini saja, saudara telah seharusnya pergi dari sini. Saudara telah memberikan gambaran tentang diri saudara sebagai manusia prasejarah” (hlm. 18). Demikian hardik walikota.
Opseter terdiam dan dalam hati mengakui kebenaran kata-kata walikota. Tetapi, nanti dulu! Kebenaran tersebut justru membangkitkan keberatan sebagaimana dia juga keberatan terhadap kebenaran-kebenaran lainnya yang dianggap terlalu tandas dan tidak memperhitungkan kebenaran dari jenis subtil, yakni yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Dan demi nuans itulah akhirnya opseter memutuskan untuk membangkang.
Bagaimana peliknya konflik di atas bagi saya memperlihatkan betapa tidak mudahnya menginterpretasikan di mana kedudukan Iwan sesungguhnya. Okelah, kita memperkirakan Iwan dalam posisi netral. Tetapi, pertanyaannya adalah secara ekstrinsik tidakkah iwan mendukung gagasan tertentu sebagai representasi sikapnya terhadap persoalan konkret masyarakat? Jika memang benar Iwan mempunyai tendensi mendukung filsafat eksistensialisme melalui novel Ziarah ini, saya mungkin sampai pada simpulan bahwa Iwan melalui dilematika konflik di atas ingin memperlihatkan bagaimana eksistensialisme memandang kebenaran sebagai suatu hal yang sangat subjektif dan personal, dalam perspektif manusia yang menolak dari ”sekadar menjadi objek”.
Jika benar demikian halnya maka posisi Iwan meski masih samar-samar sudah mulai kelihatan. Iwan mendukung tokoh opseter sebagai protagonis dalam konflik itu. Logikanya, walikota dalam konflik tersebut tampil sebagai birokrat yang membawa misi menegakkan ”kepatuhan” atas kebenaran yang telah distandardisasikan dalam suatu sistem yang bernama undang-undang dasar. Padahal, seperti dikatakan Kierkegaard di depan, ”setiap usaha untuk menuangkan kenyataan dalam suatu sistem ke dalam kotak-kotak atau kategori-kategori adalah perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu adalah konkret, individual”. Tetapi, tafsiran ini tentu saja masih dapat dikonfrontasikan.
Sekarang kita lihat posisi Iwan dalam novel Ziarah secara keseluruhan, dalam arti secara tematis. Junus (1982: 197) menyatakan bahwa Ziarah berhubungan dengan kehidupan sosial-budaya-politik Indonesia yang dikuasai hal-hal irasional. Tema ini bagi saya sangat kontekstual jika dikaitkan dengan kondisi negara kita saat pertama kali novel ini terbit (1969). Bahkan kontekstualitas itu dalam kondisi sekarang pun masih benar-benar terasa.
Kita bisa melihat betapa irasionalnya perilaku dan sepak terjang para politikus dan birokrat yang sadar atau tidak sadar telah mengambil jarak yang begitu jauh dengan kepentingan rakyat dikamuflasekan untuk meraup kepentingan pribadi dan golongan dengan praktik-praktik menyebalkan semacam korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), money politik, atau berbagai bentuk kejahatan kerah-putih (white-color crime). Irasionalitas itu bahkan menerpa kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya dipelintir sesuai keinginan dan tendensi orang yang mengucapkannya.
Dalam dimensi ini pun konfrontasi antara saya dan teks (baca: Iwan) tidak terhindarkan. Bukan pada esensinya, melainkan pada cara Iwan mengungkapkannya. Benarlah apa yang dikatakan Junus (1982: 197—198) tentang cara pengungkapan Iwan:
... ia tak mengucapkannya dalam pernyataan yang jelas. Ia terselubung dalam keseluruhan jaringan yang ada di dalamnya, sehingga tak kan mungkin kalau ia tak dianalisa lebih dulu secara dialektik. Tak ada hubungan langsung satu demi satu (= one to one correspondence) antara satu peristiwa dalam novel itu dengan satu peristiwa di dalam kehidupan nyata.
Keadaan begini terjadi karena Iwan telah mengambil jarak dengan kenyataan yang ingin dilukiskannya. Kenyataan itu tidak dilihat sebagai suatu fenomena an sich, tetapi sebagai realisasi dari suatu konsep filsafat. Bukan main besarnya rasa terima kasih saya kepada Junus atas kutipan di atas. Ia telah menyelamatkan saya dari ketersesatan memosisikan Iwan dalam paradigma tematis itu. Dengan itu pula saya sampai kepada simpulan bahwa pengungkapan Iwan harus dipahami sebagai simbolisasi yang bersifat dialektis. Iwan menggunakan pengungkapan yang irasional untuk menggambarkan kenyataan yang irasional dalam upaya menumbuhkan sikap dan pemahaman rasional pembaca. Hal ini mengingatkan kita kepada silogisme matematis: negatif x negatif = positif.
Karakter Tokoh-Tokoh Ziarah: Estrangement, Emptiness, Solitariness
Absurditas novel Ziarah pada hemat saya adalah keniscayaan bagi Iwan untuk secara leluasa menjelajahi kerumitan pemikiran eksistensialisme. Perangkat instrinsik yang benar-benar efektik dimanfaatkan Iwan untuk kepentingan ini terutama adalah karakterisasi. Iwan seolah-olah meniupkan roh kepada tokoh-tokohnya untuk merepresentasikan sikap dan pemikirannya yang dilatari oleh pemahaman dan penghayatan terhadap filsafat eksistensialisme. Di sinilah letak keistimewaan pengarang yang wafat pada 4 Agustus 1970 ini. Ia berhasil mengambil jarak dengan tokoh-tokohnya secara fiksional walaupun pada hakikatnya mereka adalah hasil—meminjam istilah Hari (2001)—interiorisasi yang intensif dari pengarang.
Tokoh-tokoh dalam Ziarah adalah manusia-manusia yang menurut Hari adalah manusia-manusia yang terlempar ke dalam kegelisahan psikologis, kegelisahan filosofis, dan pergulatan eksistensial tang tak usai-usai dan kerap tak terjawab. Pada gilirannya, mereka gagal menjalin hubungan dengan realitas kehidupan sosial tempat mereka sehari-hari hidup, dan menyebabkan mereka tenggelam dalam keterasingan (estrangement), kehampaan (emptiness), dan kesunyian (solitariness). Lebih jauh, mereka tidak mampu menjawab kemungkinan ultim (kemungkinan terakhir dari kehidupan) mereka sendiri.
Ya, tokoh-tokoh dalam Ziarah adalah manusia-manusia yang terasing, hampa, dan sunyi. Tokoh Opseter, misalnya, adalah manusia yang gelisah di dalam keterasingannya dengan lingkungan sosialnya sehingga ia memilih hidup yang hampa dan sunyi di rumah dinas pekuburan dan mengekalkan hidupnya dalam pilihan selera yang absurd; pilihan yang mengantarkannya kepada keputusan yang tidak kalah absurdnya: bunuh diri! Demikian juga dengan tokoh Walikota. Sebagai walikota berarti ia hidup dalam kapasitas sebagai aparat birokrasi yang menuntut intensitas hubungan sosial yang tinggi dalam menangani persoalan-persoalan masyarakat dan wilayah. Akan tetapi, sebagai individu ia adalah orang yang gelisah dalam keterasingan, kehampaan, dan kesunyian. Ini menimbulkan kegamangan juga, yaitu tatkala ia tidak dapat melepaskan diri dari kegelisahan eksistensial ketika seharusnya bertindak dan mengambil keputusan untuk kepentingan publik. Kasus ini menenggelamkannya ke dalam kegelisahan, dan itu merupakan puncak kegelisahan eksistensialnya sebelum akhirnya ia mati dalam kegelisahan itu.
Lalu bagaimana dengan ”tokoh kita”? Di sini Iwan kembali menantang untuk berkonfrontasi. Melihat ”nasib” yang dialami tokoh Opseter dan Walikota—manusia-manusia dari jenis yang sama dengan ”tokoh kita”—saya memprediksi ia akan ”dimatikan” juga. Tetapi, nyatanya tidak. Di akhir cerita Iwan justru menawarkan harapan seperti tergambar dalam tiga paragraf terakhir novel ini:
Pelukis, bekas pelukis, bekas pengapur, dan yang bakal jadi opseter pekuburan, melambaikan tangannya dari jauh. Matahari tajam-tajam melukis langkah-langkahnya di atas aspal jalan yang mengambangkan uap pagi dari keakanan.
Tiap langkahnya menginjak pekuburan tertentu dari mayat-mayat tertentu di bumi yang bersejarah telah jutaan tahun. Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.
(hlm. 151)
Tiga paragraf terakhir ini bagi saya merupakan pernyataan sikap Iwan bahwa kehidupan—seirasional apa pun itu—tetap masih menyisakan harapan perbaikan. Tetapi, Iwan tetaplah Iwan. Ia tidak pernah sudi menyatakan sikapnya secara eksplisit. Ia tetap menghadirkannya dalam suasana dialektik. Misalnya, apakah memang benar nantinya ”tokoh kita” menjadi opseter pekuburan. Iwan hanya mengatakan ” yang bakal jadi opseter pekuburan”. Belum tentu jadi. Lalu, apakah yang mendasari keputusan ”tokoh kita” untuk melamar pekerjaan menjadi opseter pekuburan? Tampaknya itu merupakan simbolisasi dari sikap Iwan bahwa kehidupan perlu terus ”diziarahi” dengan segala potensi kemanusiaan kita. Bagi saya, pekuburan dalam hal ini adalah simbolisasi yang dipilih Iwan untuk menyatakan ruang sunyi yang memungkinkan kontemplasi berlangsung optimal dan sublim.
Pengakhiran (ending) cerita yang dipilih Iwan sedemikian itu sangat efektif untuk membuka ruang dialektik bagi pembaca untuk menghadirkan sendiri konfrontasi demi konfrontasi pemikiran sehingga pembaca ”dipaksa” merenung dan membalik-balik kembali halaman-halaman novel ini; mengorek-ngorek dimensi pemikiran yang kaya dialektika di dalamnya.
Demikianlah, dengan segala kemampuan dan potensi intelektualitasnya, dengan segala imajinasi kreatifnya, melalui novel ini Iwan menggiring kita untuk berkonfrontasi. Dan, konfrontasi itu adalah konfrontasi yang sangat terbuka bagi penghayatan kita tentang makna hakiki kemanusiaan yang perlu terus-menerus diziarahi. 

Pustaka Rujukan
Camus, Albert. 1985. Sampar, Cet. I. (Alih bahasa oleh Nh. Dini dari La Peste). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Freud, Sigmund. 1986. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. (Alih bahasa oleh K. Bertens). Jakarta: Gramedia.
Hari, Cecep Syamsul. 2001. ”Tentang Endapan Biografis Sang Eksistensialis”. Majalah Sastra Horison, Edisi Juli 2001.
Hartoko, Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra, Cet. II (Rev.). Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1982. ”Karya Sastra sebagai Suatu Renungan” dalam Sejumlah Masalah Sastra (Satyagraha Hoerip [Ed.]). Jakarta: Sinar Harapan.
_____. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.
Simatupang, Iwan. 1983. Ziarah, Cet. III. Jakarta: Djambatan.
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.


Dimuat dalam 23 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2003 (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2004)



April 8, 2014

Saputangan Merah Hati

(Satu fragmen dari Bab IX naskah novel Rumah-Rumah Rindu karya Uum G. Karyanto)
  
Lewat tengah hari pada siang yang sejuk itu, Arya menatap lekat angka empat yang telah dia lingkari dengan spidol tinta merah pada boks bulan Maret kalender meja tahun 1999 yang bertengger di atas meja kerjanya di kantor sekolah yang sepi itu. Dia tersenyum sendiri mengingat gurau canda Yuniarti saat menyambut kabar rencana pernikahannya dengan Ajeng. ”Wah, akan banyak anak gadis yang terpatah-patah hatinya nih, Pak Arya,” cetusnya menggoda lelaki itu. Jam sekolah sudah berakhir sekitar satu jam yang lalu. Yang lain sudah pulang. Tinggal Jasdi yang tetap menemaninya. Jasdi sedang menyusun berkas pengajuan pensiun yang akan ditandatangani Pak Anwar besok. Arya sendiri belum pulang karena malas di rumah kontrakannya sendirian. Arno dan Iyan belum kembali setelah pulang liburan Lebaran. Dia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menonton televisi di kantor. Udin sang penjaga sekolah yang sekarang menempati pondok yang ditinggalkan oleh Siswoyo telah disuruhnya membeli tiga bungkus nasi untuk makan siang mereka berdua. Satu bungkus lagi untuk persiapan kalau-kalau Jasdi masih lama menyelesaikan pekerjaannya. Kalau tidak, biar akan dia berikan kepada Udin untuk makan malamnya.
Tiba-tiba Jasdi berdehem.
”Hmmm, bahagia sekali kelihatannya calon mempelai pria ini.”
Arya tersipu. Dia tergagap tidak siap dan terbangun dari lamunannya. Dia baru saja menyusun kata-kata untuk menangkis ”serangan tiba-tiba” dari Jasdi barusan ketika didengarnya pintu kantor diketuk orang. Desi!
Gadis itu masuk setelah dipersilakan oleh Jasdi.
”Ada perlu apa, Des, kok belum pulang?” tanya Jasdi.
”Mmm... tidak ada apa-apa, Pak. Cuma ... mmm ... anu, Pak, mau menemui Pak Arya, sebentar.” Sekilas kemudian, Desi menghampiri Arya. Dia berdiri mematung di hadapan lelaki itu. Kedua pasang jari-jari tangannya saling berjalin di depan dadanya.
”Duduklah, Des! Ada apa, kira-kira?”
Desi tetap diam mematung. Kepalanya menggeleng. Pelan dan samar. Arya menjadi jengah.
Jasdi segera membaca situasi. Lalu berkata, ”Pak Arya, sebaiknya ajak Desi ke ruang TU saja, biar enak ngobrolnya.”
”Terima kasih, Pak Jasdi,” jawabnya. ”Ayo Des, kita ke dalam saja.”
Desi segera masuk ke ruang TU yang memang selalu dibiarkan terbuka itu. Arya menoleh ke arah Jasdi dan berbisik memintanya untuk tidak pulang dulu.
”Ya, tidak apa-apa. Tapi sebentar lagi saya harus pulang. Nanti saya suruh si Udin ke sini,” jawab Jasdi seraya meneruskan pekerjaannya.
Di ruang TU yang dingin dan sunyi, yang pintunya dibiarkan setengah terbuka, Arya dan Desi duduk berhadapan di kursi kayu yang dipisahkan sebuah meja. Di atas meja itu bertengger sebuah mesin tik portabel merek Royal yang sudah tua tetapi terawat dan masih berfungsi dengan baik. Sesaat sunyi merancapi kedua hati mereka.
”Ada apa sebenarnya, Des. Dari tadi diam saja.”
Desi tetap diam. Sekilas Arya melihat ada yang menggenang di kelopak mata gadis yang biasanya ceria itu. Sesekali didengarnya pula helaan nafas gadis itu.
”Ayo bicara, Des. Nanti kamu pulang kesorean. Orang tua Desi pasti cemas di rumah.”
Sekali lagi Desi menghela nafas dengan berat.
”Desi hanya ingin mengembalikan saputangan Bapak,” desahnya sambil berdiri dan mengulurkan tangan. Di genggaman tangannya yang gemetar, sebuah saputangan merah hati terlipat rapi. Itu saputangan Arya yang digunakan untuk menyeka air mata Desi ketika gadis itu menyambangi rumah kontrakannya sehari sebelum perkemahan di Air Unji. Berminggu-minggu Desi menyimpan saputangan itu dengan perasaan bahagia; setiap saat dia mendekapnya di dada; menciuminya dengan penuh rindu kepada lelaki yang kerap menghiasi mimpi-mimpi remajanya. Dia sebenarnya sangat berharap Arya memberikan saputangan itu kepadanya. Bahkan, kalau tidak, dia tetap bermaksud memintanya dari Arya. Bayangan tentang saputangan itu pada akhirnya menjebol pertahanan perasaannya. Isak tangis Desi akhirnya meledak tak tertahankan.
Arya menjadi bimbang. Menjadi gamang. Kelopak matanya pun menjadi panas melihat derai-derai air mata Desi. Terbersit di dalam pikirannya untuk memberikan saja saputangan itu kepada Desi. Tetapi kemudian akal sehatnya melarangnya melakukan itu. Dia menyadari, jika saputangan itu diberikannya, hanya akan mengekalkan duka pada hati Desi; juga mengekalkan perasaan bersalahnya yang telah memberikan harapan semu kepada gadis itu, pada naluri lelakinya yang sempat meruap tak terjaga. Aku harus fokus pada rencana pernikahanku dengan Ajeng, batinnya.
Arya menerima saputangan itu dengan diam.
”Pak Arya, saya pulang ya,” teriak Jasdi dari luar.
Arya bergegas keluar untuk melepas Jasdi, lalu kembali masuk ke ruang TU. Dia melihat Desi tetap berdiri. Jari-jari tangannya mempermainkan bilah-bilah mesin tik. Demi melihat Arya masuk lagi, Desi memutar tubuhnya menghadap Arya yang berdiri di depan pintu. Desi melangkah pelan ke arah Arya; tangannya terlihat mengembang ingin memeluk tubuh lelaki yang selalu dirindukannya itu. Tetapi, sesaat dia ragu, kemudian surut ke belakang, duduk kembali di kursi kayu.
Arya pun duduk kembali. Dia merasa lega karena air mata Desi sudah terlihat surut. Dia menatap Desi dengan teduh.
”Pak Arya,” desah Desi dengan pelan.
”Ya.”
”Apa benar Bapak mau menikah?”
”Benar, Des. Doakan Bapak ya!”
Desi mengangguk, samar. Wajahnya sudah terlihat tenang.
”Kapan, Pak?”
”Bulan Maret. Desi datang ya ke Palembang!”
”Tidak mungkinlah, Pak. ’Kan jauh dari sini.”
”Hmmm...”
”Siapa wanita yang beruntung itu, Pak?” Ada yang menggeletar dalam suara Desi saat mengatakan kata-kata itu.
”Namanya Ajeng, adik tingkat Bapak waktu kuliah dulu.”
”Pasti cantik ya, Pak?” Getar suara Desi kian terasa.
”Mmm ... kalau tidak cantik, Bapak tidak akan memilihnya.”
Sunyi sesaat. Desi terlihat berusaha keras menyusun kata-kata yang akan diucapkannya kemudian.
”Pak Arya.”
”Ya, Des.”
”Desi boleh mengatakan sesuatu?”
”Ya, kenapa tidak, Des.”
Desi kemudian berdiri. Perlahan tangannya bergerak meraih jemari tangan Arya. Dan lelaki itu membiarkannya; membiarkan gadis itu membimbingnya berdiri; membiarkan gadis itu mencium tangannya; membiarkan punggung tangannya basah oleh air mata Desi yang kembali mengaliri pipinya.
Semilir angin menyelinap di sela-sela ventilasi.
”Pak Arya,” desah Desi di sela-sela isaknya yang lirih.
”Ya.”
”Bolehkah Desi ....”
Kalimat itu menggantung di bibir Desi.
”Bolehkah apa, Des?”
”Izinkan Desi ... memeluk Bapak!” pintanya lirih, teramat lirih.
Arya tersenyum haru, lalu dengan gerak perlahan dia merengkuh kepala gadis itu ke dadanya. Dia membelai lembut rambut gadis itu. Setiap belaian tangannya menandai pengertian yang pedih atas perih luka yang diyakininya merongga di hati gadis itu. Dia tengadah menatap plafon eternit yang putih bersih.
Di antara isak tangisnya dalam pelukan Arya, Desi mendesah pelan, ”Desi akan berdoa untuk kebahagiaan Bapak. Desi akan mengenang Bapak sebagai guru terbaik yang pernah Desi kenal.”
Arya tahu, sebenarnya bukan hanya itu yang ingin diungkapkan Desi. Arya mencoba lebih dalam memaknai setiap kata yang keluar dari bibir Desi; meresapi setiap kata tak terucapkan yang jauh lebih bergejolak di hati gadis itu. Mata Desi yang layu, membahasakan isyarat-isyarat duka yang menggulana dalam haru-biru, yang nyata tertangkap oleh mata Arya yang meredup sayu. Jauh di lubuk hatinya, Arya mensyukuri kata-kata Desi yang hanya sebatas itu, tidak merambah pada ungkapan perasaan sesungguhnya yang pasti akan membuatnya tersungkur jatuh ke kubangan rasa sesal atas kelalaiannya dalam menjaga kemurnian hakikat kasih sayang seorang guru.
”Dan Bapak akan selalu mendoakan kesuksesan Desi; terus membimbing Desi agar berhasil menempuh Ebtanas yang waktunya tidak lama lagi; dan mengenang Desi sebagai murid paling baik yang Bapak sayangi. Maafkan Bapak ya, Des!” pinta Arya terbata-bata.
Arya merasakan anggukan Desi di dadanya; anggukan yang lebih dirasakannya sebagai kepasrahan yang pilu. Perlahan—perlahan sekali—lelaki itu melepaskan pelukan Desi ketika terdengar kerisik langkah-langkah kaki Udin di teras kantor. ■

March 23, 2014

Pengawas Sekolah dalam Perspektif Perundang-undangan: Beberapa Catatan Kritis

1. Pendahuluan
Pendidikan adalah sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, pendidikan mengimplikasikan sejumlah faktor penentu keberhasilannya. Di antara sejumlah faktor itu, faktor terpentingnya tentu saja manusia sebab manusialah yang menjadi subjek pendidikan itu sendiri. Sejalan dengan itu, Sagala (2013: 1), menegaskan bahwa pendidikan adalah karya bersama yang berlangsung dalam suatu pola kehidupan insani tertentu.
Penegasan di atas mengandung pengertian bahwa keberhasilan pendidikan ditinjau dari perspektif insani (manusia) mempersyaratkan terbangunnya sinergi di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, faktor atau komponen manusia yang terlibat dan diharapkan dapat bersinergi di dalam pendidikan itu meliputi (1) peserta didik, (2) pendidik dan tenaga kependidikan, (3) pemerintah, dan (4) masyarakat.
Salah satu unsur tenaga kependidikan yang sangat diharapkan mampu bersinergi sebagaimana dimaksud di atas adalah pengawas sekolah. Akan tetapi, pada kenyataannya peran pengawas sekolah belum optimal. Berbagai kendala krusial masih menyertai eksistensi pengawas sekolah. Kendala-kendala itu antara lain adalah (1) terjadinya disparitas kompetensi pengawas sekolah antarindividu, antarsatuan pendidikan, antarwilayah perkotaan dan pedesaan, serta antarkabupaten/kota; (2) rendahnya akses pengawas untuk meningkatkan kompetensinya, termasuk akses mendapatkan informasi mutakhir untuk mengembangkan profesi dan kariernya (Nur, 2010); dan (3) rendahnya kompetensi supervisi akademik dan evaluasi pendidikan (Sudjana sebagaimana dikutip oleh Nur, 2010).
Dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan di atas, tulisan ini diupayakan untuk mendeskripsikan kompleksitas persoalan pengawas sekolah ditinjau dari perspektif perundang-undangan dengan titik berat perhatian pada (1) posisi atau kedudukan, (2) wewenang, (4) prestasi, dan (5) sistem pelaporan. Pada bagian akhir tulisan ini—sebagai penutup—disertakan beberapa catatan kritis yang mengkonfrontasikan kondisi ideal berdasarkan perundangan-undangan tersebut dengan kondisi riil yang merepresentasikan kesenjangan di antara dua tataran tersebut.
Perundangan-undangan yang dimaksud meliputi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003), Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP 19/2005), Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah (Permendiknas 12/2007), dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya (Permenpan 21/2010). Selain itu, sumber tulisan ini juga diperluas dengan beberapa bahan dari Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional[1] 2010—2014 dan Buku Kerja Pengawas Sekolah (2012).
Dengan deskripsi berdasarkan titik berat sebagaimana telah dikemukakan tersebut diharapkan tergambar secara jelas dan relatif memadai tentang bagaimana sesungguhnya eksistensi pengawas sekolah sehingga terbangun pengertian yang lebih mendalam tentang jabatan fungsional yang menurut Dr. Abi Sujak, M.Sc.[2] memegang peranan yang signifikan dan strategis dalam meningkatkan profesionalisme guru dan mutu sekolah tersebut.
2. Kedudukan Pengawas Sekolah dalam Struktur Kelembagaan Pendidikan
Tentang status dan kedudukan pengawas sekolah, Permenpan 21/2010 antara lain menegaskan hal-hal sebagai berikut. Pertama, jabatan pengawas sekolah adalah jabatan karier yang hanya diduduki oleh guru yang berstatus sebagai PNS (pasal 4 butir 2). Penegasan ini mengandung implikasi bahwa jabatan pengawas sekolah tidak bisa diduduki oleh seseorang yang sebelumnya tidak berprofesi sebagai seorang guru yang berstatus PNS. Implikasi lain dari pasal dan butir ini adalah untuk menjadi pengawas sekolah tidak ada keharusan guru berstatus PNS terlebih dahulu menjabat sebagai kepala sekolah. Persyaratan untuk menduduki jabatan pengawas sekolah diatur dalam pasal 31 butir 1 yaitu bahwa PNS yang diangkat dalam jabatan pengawas sekolah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. masih berstatus sebagai guru dan memiliki sertifikat pendidik dengan pengalaman mengajar paling sedikit delapan tahun atau guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah paling sedikit empat tahun sesuai dengan satuan pendidikannya masing-masing;
  2. berijazah paling rendah sarjana (S-1)/diploma IV bidang pendidikan;
  3. memiliki keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan bidang pengawasan;
  4. memiliki pangkat paling rendah Penata, golongan ruang III/c;
  5. usia paling tinggi 55 tahun;
  6. lulus seleksi calon pengawas sekolah;
  7. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan fungsional calon pengawas sekolah dan memperoleh STTPP; dan
  8. setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) paling rendah baik dalam dua tahun terakhir.
Kedua, pengawas sekolah berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang pengawasan akademik dan manajerial pada sejumlah satuan pendidikan yang ditetapkan (pasal 4 butir 1). Pasal dan butir ini menegaskan bahwa pengawas sekolah adalah (1) pelaksana teknis fungsional dan (2) bidang pengawasan yang menjadi tugasnya adalah pengawasan akademik dan pengawasan manajerial.
Pengawas sekolah dalam kedudukan sebagaimana disebutkan di atas memiliki peran yang signifikan dan strategis dalam proses dan hasil pendidikan yang bermutu di sekolah. Dalam konteks ini, peran pengawas sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut pengawas sekolah yang harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan (PP 19/2005, pasal 55).
Di dalam Buku Kerja Pengawas Sekolah (2012: 5) dikemukakan bahwa peran tersebut berkaitan dengan tugas pokok pengawas dalam melakukan supervisi manajerial dan akademik serta pembinaan peran pembinaan, pemantauan dan penilaian. Peran pengawas sekolah dalam pembinaan setidaknya sebagai teladan bagi sekolah dan sebagai rekan kerja yang serasi dengan pihak sekolah dalam memajukan sekolah binaannya. Peran  pengawasan  tersebut  dilaksanakan  dengan  pendekatan  supervisi yang  bersifat  ilmiah,  klinis,  manusiawi,  kolaboratif,  artistik,  interpretatif, dan  berbasis kondisi sosial budaya. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan mutu pembelajaran.
Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa seorang pengawas profesional dalam melakukan tugas pengawasan harus memiliki (1) kecermatan melihat kondisi sekolah, (2) ketajaman analisis dan sintesis, (3) ketepatan dan kreativitas dalam memberikan treatment yang diperlukan, serta (4) kemampuan berkomunikasi yang baik dengan setiap individu di sekolah. Karakteristik yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah yang profesional di antaranya:
  1. menampilkan kemampuan pengawasan dalam bentuk kinerja;
  2. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
  3. melaksanakan tugas kepengawasan secara efektif dan efisien;
  4. memberikan layanan prima untuk semua pemangku kepentingan;
  5. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan;
  6. mengembangkan  metode  dan  strategi  kerja  kepengawasan  secara terus menerus;
  7. memiliki kapasitas untuk bekerja secara mandiri;
  8. memiliki tanggung jawab profesi;
  9. mematuhi kode etik profesi pengawas; dan
  10. memiliki komitmen  dan menjadi anggota organisasi profesi kepengawasan sekolah (2012: 5—6).
 3. Wewenang dan Ruang Lingkup Wewenang Pengawas Sekolah
3.1 Wewenang Pengawas Sekolah
Wewenang berkaitan dengan tugas pokok. Pasal 5 Permenpan 21/2010 menegaskan bahwa tugas pokok pengawas sekolah adalah melaksanakan tugas pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan yang meliputi penyusunan program pengawasan, pelaksanaan pembinaan, pemantauan pelaksanaan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP), penilaian, pembimbingan dan pelatihan profesional guru, evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan pelaksanaan tugas kepengawasan di daerah khusus. Rincian tugas pokok di atas sesuai dengan jabatan pengawas sekolah berdasarkan pasal 14 Permenpan ini adalah sebagai berikut.
3.1.1 Pengawas Sekolah Muda:
Pengawas Sekolah Muda memiliki rincian tugas pokok sebagai berikut:
  1. menyusun program pengawasan;
  2. melaksanakan pembinaan guru;
  3. memantau pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar penilaian;
  4. melaksanakan penilaian kinerja guru;
  5. melaksanakan evaluasi hasil  pelaksanaan  program  pengawasan pada sekolah binaan;
  6. menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional guru di KKG/ MGMP/MGP dan sejenisnya;
  7. melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru; dan
  8. mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional guru.
 3.1.2 Pengawas Sekolah Madya:
Pengawas Sekolah Madya memiliki rincian tugas pokok sebagai berikut:
  1. menyusun program pengawasan;
  2. melaksanakan pembinaan guru dan/atau kepala sekolah;
  3. memantau pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan;
  4. melaksanakan penilaian kinerja guru dan/atau kepala sekolah;
  5. melaksanakan evaluasi  hasil  pelaksanaan  program  pengawasan pada sekolah binaan;
  6. menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan/atau kepala sekolah di KKG/MGMP/MGP dan/atau KKKS/MKKS dan sejenisnya;
  7. melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan/atau kepala sekolah;
  8. melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem   informasi   dan manajemen;
  9. mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan/atau kepala sekolah; dan
  10. membimbing pengawas sekolah muda dalam melaksanakan tugas pokok.
3.1.3 Pengawas Sekolah Utama
Pengawas Sekolah Utama memiliki rincian tugas pokok sebagai berikut:
  1. menyusun program pengawasan;
  2. melaksanakan pembinaan guru dan kepala sekolah;
  3. memantau pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan;
  4. melaksanakan penilaian kinerja guru dan kepala sekolah;
  5. melaksanakan evaluasi hasil  pelaksanaan  program  pengawasan pada sekolah binaan;
  6. mengevaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan tingkat kabupaten/kota atau provinsi;
  7. menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan kepala sekolah di KKG/MGMP/MGP dan/atau KKKS/MKKS dan sejenisnya;
  8. melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan kepala sekolah;
  9. melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem   informasi dan manajemen;
  10. mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan kepala sekolah;
  11. membimbing pengawas sekolah muda dan pengawas sekolah madya dalam melaksanakan tugas pokok; dan
  12. melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan kepala sekolah dalam pelaksanaan penelitian tindakan.
3.2 Ruang Lingkup Wewenang Pengawas Sekolah
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diuraikan di atas, pasal 9 Permenpan 21/2010 menegaskan bahwa pengawas sekolah berwenang memilih dan menentukan metode kerja, menilai kinerja guru dan kepala sekolah, menentukan dan/atau mengusulkan program pembinaan serta melakukan pembinaan.
Buku Kerja Pengawas Sekolah yang telah disebutkan di atas menguraikan pula ruang lingkup kepengawasan sebagaimana dideskripsikan berikut ini (2012: 19—24). Ruang lingkup kepengawasan meliputi (1) kepengawasan akademik dan (2) kepengawasan manajerial. Kepengawasan akademik dan manajerial tersebut tercakup dalam kegiatan (1) penyusunan program pengawasan; (2) pelaksanaan program pengawasan; (3) evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan; dan (4) membimbing dan melatih profesional guru dan/atau kepala sekolah.
Penyusunan program pengawasan difokuskan pada peningkatan pemenuhan standar nasional pendidikan. Pelaksanaan program pengawasan meliputi (1) melaksanakan pembinaan guru dan atau kepala sekolah, (2) memantau delapan standar nasional pendidikan, dan (3) melaksanakan penilaian kinerja guru dan/atau kepala sekolah. Evaluasi hasil program pengawasan dimulai dari tingkat sekolah binaan dan tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi untuk pengawas pendidikan luar biasa.
3.2.1 Pengawasan Akademik
Supervisi akademik atau pengawasan akademik adalah fungsi pengawas yang berkaitan dengan aspek pelaksanaan tugas pembinaan, pemantauan, penilaian dan pelatihan profesional guru dalam (1) merencanakan pembelajaran; (2) melaksanakan pembelajaran; (3) menilai hasil pembelajaran; (4) membimbing dan melatih peserta didik; dan (5) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru (PP 74/2008). Hal tersebut dapat dilaksanakan melalui kegiatan tatap muka atau nontatap muka.
Pembinaan bertujuan (1) meningkatkan pemaham kompetensi guru terutama kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional (tupoksi guru, kompetensi guru, pemahaman KTSP), (2) meningkatkan kemampuan guru dalam pengimplementasian Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, dan Standar Penilaian (pola pembelajaran KTSP, pengembangan silabus dan RPP, pengembangan penilaian, pengembangan bahan ajar dan penulisan butir soal), dan (3) meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun penelitian tindakan kelas (PTK).
Adapun ruang lingkup pembinaan dimaksud meliputi (1) melakukan pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru menyusun administrasi perencanaan pembelajaran/ program bimbingan, (2) melakukan pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru dalam proses pelaksanaan pembelajaran/bimbingan, (3) melakukan pendampingan membimbing guru dalam meningkatkan kemampuan melaksanakan penilaian hasil belajar peserta didik, (4) melakukan pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru menggunakan media dan sumber belajar, (5) memberikan masukan kepada guru dalam memanfaatkan lingkungan dan sumber belajar, (6) memberikan rekomendasi kepada guru mengenai tugas membimbing dan melatih peserta didik, (7) memberi bimbingan kepada guru dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran, (8) memberi bimbingan kepada guru dalam pemanfaatan hasil penilaian untuk perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran/pembimbingan, dan (9) memberikan bimbingan kepada guru untuk melakukan refleksi atas hasil-hasil yang dicapainya.
Pemantauan dilakukan terhadap pelaksanaan standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, dan standar penilaian. Sementara itu, aspek penilaian kinerja guru meliputi (1) merencanakan pembelajaran, (2) melaksanakan pembelajaran, (3) menilai hasil pembelajaran, (4) membimbing dan melatih peserta didik, dan (5) melaksanakan   tugas   tambahan   yang   melekat   pada   pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru.
Untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugasnya ditindaklanjuti dengan kegiatan bimbingan dan pelatihan guru dengan tahapan sebagai berikut: (1) menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional   guru   di KKG/MGMP/MGP dan sejenisnya; (2) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru; (3) mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional guru; dan (4) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas.
Bidang peningkatan kemampuan profesional guru difokuskan pada pelaksanaan standar nasional pendidikan, yang meliputi (1) kemampuan guru dalam melaksanakan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan/standar tingkat pencapaian perkembangan (bagi TK), dalam kerangka pengembangan KTSP, (2) pembelajaran  yang  pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) termasuk penggunaan media yang relevan, (3) pengembangan bahan ajar, (4) penilaian proses dan hasil belajar, dan (5) penelitian tindakan kelas untuk perbaikan/pengembangan metode pembelajaran.
3.2.2 Pengawasan Manajerial
Supervisi manajerial atau pengawasan manajerial merupakan fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumber daya tenaga pendidik dan kependidikan. Dalam melaksanakan fungsi manajerial, pengawas sekolah berperan sebagai: (1) fasilitator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen sekolah, (2) asesor dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan serta menganalisis potensi sekolah, (3) informan pengembangan mutu sekolah, dan  (4) evaluator terhadap hasil pengawasan.
Tujuan pembinaan kepala sekolah yaitu peningkatan pemahaman dan pengimplementasian kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan (SNP). Adapun, ruang lingkupnya adalah (1) pengelolaan sekolah yang meliputi penyusunan program sekolah berdasarkan SNP, baik rencana kerja tahunan maupun rencana kerja empat tahunan, pelaksanaan program, pengawasan dan evaluasi internal, kepemimpinan sekolah dan Sistem Informasi Manajemen (SIM), (2) membantu kepala sekolah melakukan evaluasi diri sekolah (EDS) dan merefleksikan hasil-hasilnya dalam upaya penjaminan mutu pendidikan, (3) mengembangkan perpustakaan dan laboratorium serta sumber-sumber belajar lainnya, (4) kemampuan kepala sekolah dalam membimbing pengembangan program bimbingan konseling di sekolah, dan (5) melakukan pendampingan terhadap kepala sekolah dalam pengelolaan dan administrasi sekolah (supervisi manajerial) yang meliputi (1) memberikan masukan dalam pengelolaan dan administrasi kepala sekolah berdasarkan manajemen peningkatan mutu pendidikan di sekolah, (2) melakukan pendampingan dalam melaksanakan bimbingan konseling di sekolah, dan (3) memberikan bimbingan kepada kepala sekolah untuk melakukan refleksi atas hasil-hasil yang dicapainya.
Pemantauan dilaksanakan terhadap pelaksanaan standar nasional pendidikan di sekolah dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk membantu kepala sekolah mempersiapkan akreditasi sekolah. Adapun, penilaian kinerja kepala sekolah berkaitan dengan pengelolaan sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan. Metode kerja yang dilakukan pengawas sekolah antara lain observasi, kunjungan atau pemantauan, pengecekan/klarifikasi data, kunjungan kelas, serta rapat dengan kepala sekolah dan guru-guru dalam pembinaan.
Peningkatan profesionalisme kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya ditinjaklanjuti dengan kegiatan bimbingan dan pelatihan kepala sekolah dengan tahapan: (1) menyusun program pembimbingan dan pelatihan profesional kepala sekolah di KKKS/MKKS dan sejenisnya, (2) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional kepala sekolah, (3) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan kepala sekolah dalam menyusun program sekolah, rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan sistem informasi dan manajemen, (4) mengevaluasi hasil pembimbingan dan pelatihan profesional kepala sekolah, dan (5) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional kepala sekolah dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas/sekolah
Kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan/atau kepala sekolah oleh setiap pengawas sekolah dilaksanakan paling sedikit tiga kali dalam satu semester secara berkelompok dalam kegiatan di sekolah binaan KKG/MGMP/MGP/KKKS/MKKS/K3SK. Kegiatan ini dilaksanakan terjadwal baik waktu maupun jumlah jam yang diperlukan untuk setiap kegiatan sesuai dengan tema  atau  jenis  keterampilan  dan  kompetensi  guru  yang akan ditingkatkan. Dalam  pelatihan  ini  diperkenalkan  kepada  guru  hal-hal  yang inovatif sesuai dengan tugas pokok guru dalam pembelajaran/pembimbingan.
Kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesionalisme guru ini dapat berupa bimbingan  teknis,  pendampingan,  workshop,  seminar,  dan  group conference, yang ditindaklanjuti dengan kunjungan kelas melalui supervisi akademik.
Selain melaksanakan tugas kepengawasan sesuai dengan ruang lingkup di atas, setiap pengawas harus melakukan pengembangan profesi yang meliputi: (1) pembuatan karya tulis dan/atau karya ilmiah di bidang pendidikan formal/pengawasan, (2) penerjemahan/ penyaduran buku dan/atau karya ilmiah di bidang pendidikan formal/pengawasan, dan (3) pembuatan karya inovatif.
Kegiatan penunjang tugas pengawas sekolah dapat dilakukan melalui: (1) peran serta dalam seminar/lokakarya di bidang pendidikan formal/kepengawasan sekolah, (2) keanggotaan dalam organisasi profesi, dan (3) keanggotaan  dalam  tim  penilai  angka  kredit  jabatan fungsional  pengawas sekolah.
4. Prestasi Pengawas Sekolah
Pasal 37 Permenpan 21/2010 mengatur tentang Ketentuan Peralihan yang di antaranya diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan prestasi kerja pengawas sekolah. Prestasi kerja yang telah dilakukan pengawas sekolah sampai dengan ditetapkannya petunjuk pelaksanaan Permenpan 21/2010 tersebut dinilai berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 91/KEP/M.PAN/10/2001.
Prestasi pengawas sekolah dinilai berdasarkan pelaksanaan tugas dengan rincian kegiatan sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu sesuai dengan jenjang pangkat dan jabatannya. Unsur kegiatan yang dinilai dalam memberikan angka kredit terdiri atas unsur utama dan unsur penunjang.
Unsur utama terdiri atas (1) pendidikan, (2)pengawasan akademik dan manajerial, dan (3) pengembangan profesi. Sementara unsur penunjang adalah kegiatan yang mendukung pelaksanaan tugas pengawas sekolah, yakni (1) peran serta dalam seminar/lokakarya di bidang pendidikan formal/kepengawasan sekolah, (2) keanggotaan dalam organisasi profesi, (3) keanggotaan dalam tim penilai angka kredit jabatan fungsional pengawas sekolah, (4) melaksanakan kegiatan pendukung pengawasan sekolah, (5) mendapatkan penghargaan/tanda jasa, dan (6) memperoleh gelar/ijazah yang tidak sesuai dengan bidang yang diampunya.
5.  Sistem Pelaporan Hasil Pengawasan
5.1 Tujuan Penyusunan Laporan Hasil Pengawasan
Penyusunan laporan oleh setiap pengawas sekolah bertujuan untuk: (1) memberikan gambaran mengenai keterlaksanaan setiap butir kegiatan yang menjadi tugas pokok pengawas sekolah, (2) memberikan gambaran mengenai kondisi sekolah binaan berdasarkan hasil pengawasan akademik maupun manajerial berupa hasil pembinaan, pemantauan, dan penilaian, dan (3) menginformasikan berbagai faktor pendukung dan penghambat/kendala dalam pelaksanaan setiap butir kegiatan pengawasan sekolah.
5.2  Tahapan Pelaporan
Tahapan pelaporan meliputi kegitan-kegiatan (1) mengompilasi dan mengklasifikasi data   hasil pemantauan dan pembinaan, (2) menganalisis data hasil pemantauan dan pembinaan, (3) menyusun laporan hasil pengawasan sesuai sistematika yang ditetapkan, dan (4) menyampaikan Laporan Semester dan Laporan Tahunan kepada Dinas Pendidikan Provinsi atau Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, serta sekolah yang dibinanya.
5.3  Sistematika Pelaporan Hasil Kepengawasan
Sistematika pelaporan pelaksanaan program pembinaan, pemantauan  dan penilaian, serta pembimbingan dan pelatihan profesional guru dan/atau kepala sekolah adalah sebagai berikut:

HALAMAN JUDUL (SAMPUL)
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
 DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Fokus Masalah Pengawasan
C. Tujuan dan Sasaran Pengawasan
D. Tugas Pokok /Ruang Lingkup Pengawasan
BAB II KERANGKA PIKIR PEMECAHAN MASALAH
BAB III  PENDEKATAN DAN METODE
BAB IV HASIL PENGAWASAN PADA SEKOLAH BINAAN
A. Hasil Pelaksanaan Pembinaan Guru dan/atau kepala sekolah
B. Hasil Pemantauan Pelaksanaan 8 SNP
C. Hasil Penilaian Kinerja Guru dan/atau Kepala Sekolah
D. Hasil Pembimbingan dan Pelatihan Profesional Guru.
E. Pembahasan Hasil Pengawasan
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
B. Rekomendasi
LAMPIRAN:
  1. Surat Tugas Pengawasan
  2. Surat   Keterangan   telah   melaksanakan   tugas   pembinaan,   pemantauan, penilaian kinerja, pembimbingan dan pelatihan profesional guru dari sekolah binaan
  3. Daftar Hadir guru atau kepala sekolah pada saat pembinaan/pemantauan/penilaian kinerja
  4. Contoh-contoh instrumen pengawasan yang telah diisi/diolah.
  5. dan lain-lain.
6. Penutup: Beberapa Catatan Kritis
Dengan menelaah secara saksama eksistensi pengawas sekolah dewasa ini dalam perspektif perundang-undangan, dapat dikatakan bahwa Pemerintah telah menyediakan landasan yuridis yang cukup memadai dan akomodatif untuk mendukung pengembangan profesi pengawas sekolah yang profesional. Sistem perundang-undangan tentang pengawas sekolah telah memberikan ruang yang cukup prospektif untuk mendorong pengawas sekolah tampil dan mengambil peran yang signifikan dan strategis dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Persoalannya adalah apakah muatan yang relatif ideal yang tergambar dalam konten perundang-undangan itu telah dan/atau dapat dilaksanakan secara optimal. Persoalan ini merupakan wacana krusial yang harus dengan sesegera mungkin mendapatkan jalan keluarnya. Berkaitan dengan persoalan ini dapat diajukan beberapa catatan kritis sebagai berikut.
  1. Masih terdapat disparitas kompetensi pengawas sekolah antarindividu, antarsatuan pendidikan, antarwilayah perkotaan dan pedesaan, serta antarkabupaten/kota. Kondisi ini berpotensi menimbulkan berbagai kesulitan dalam pelaksanaan tugas kepengawasan sekolah. Kesulitan yang mungkin terjadi antara lain adalah (1) terjadinya miskomunikasi dan miss-understanding di antara pengawas-pengawas sekolah yang memiliki kompetensi yang berbeda sehingga menimbulkan ketidakefektivan dalam pelaksanaan kerja tim, (2) terjadinya hambatan dalam mengoordinasikan suatu kegiatan atau dalam mengatasi suatu masalah yang melibatkan pengawas-pengawas sekolah pada satuan-satuan pendidikan dan wilayah-wilayah yang memiliki karakteristik yang berbeda, dan (3) terhambatnya kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan dalam menyelesaikan suatu masalah kepengawasan.
  2. Rendahnya akses pengawas untuk meningkatkan kompetensinya, termasuk akses mendapatkan informasi mutakhir untuk mengembangkan profesi dan kariernya. Masalah ini berkaitan dengan kesenjangan dan kesulitan pengawas sekolah untuk mendapatkan kesempatan meningkatkan kompetensi melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan.
  3. Rendahnya kompetensi supervisi akademik dan evaluasi pendidikan. Kondisi seperti ini berkaitan dengan kesenjangan kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan supervisi klinis terhadap guru-guru yang menjadi binaannya. Akibatnya, pengawas sekolah tidak mampu secara efektif memberikan jalan pemecahan bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik di sekolah tempat mereka bekerja.
  4. Masih berkembang stigma bahwa jabatan pengawas sekolah merupakan “jabatan buangan”. Masalah ini berkaitan dengan stigma bahwa jabatan pengawas sekolah adalah jabatan yang “kurang menjanjikan” dari segi karier dan kesejahteraan material. Jabatan pengawas sekolah dianggap tidak memiliki “power” karena secara struktural tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis di lingkungan kelembagaan pendidikan.
  5. Pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota tidak menempatkan pengawas sekolah pada posisi yang seharusnya. Masalah ini berhubungan dengan stigma sebagaimana diungkapkan pada butir (4) di atas. Pengawas sekolah tidak dilibatkan dalam sistem rekrutmen jabatan tertentu di lingkungan kelembagaan pendidikan, seperti jabatan kepala sekolah.
  6. Kurangnya kesadaran internal dari pengawas sekolah sendiri untuk bekerja dan bersikap profesional sebagai bentuk tanggung jawab profesi. Masalah ini terkait langsung dengan kompetensi pengawas sekolah dalam kaitannya dengan sikap dan kinerja. Masih banyak pengawas yang menganggap jabatan yang dimilikinya merupakan jabatan tidak penting sehingga tidak termotivasi untuk melakukan pengembangan karier yang semestinya.
Untuk menghadapi kendala-kendala di atas, diperlukan kesungguhan semua pihak, baik secara internal dari pengawas sekolah itu sendiri, maupun secara eksternal dari pemerintah, lingkungan kelembagaan, lingkungan kerja, bahkan dari masyarakat. Beberapa upaya berikut mungkin dapat dipertimbangkan.
  1. Perlu ada upaya untuk memperkecil—kalau tidak bisa menghilangkan—disparitas kompetensi pengawas sekolah. Berbagai upaya pembinaan secara struktural perlu diperbanyak kuantitasnya dan dipertinggi kualitasnya. Pengawas sekolah juga perlu diberi kesempatan yang luas untuk dipertemukan dalam suatu kesempatan yang memungkinkan kerja tim dapat berlangsung secara optimal. Kesempatan ini akan memberi peluang untuk saling mengisi dan berbagi sehingga para pengawas bisa mengasah kompetensinya dalam suatu jalinan kebersamaan yang saling menguntungkan dan mengeliminasi berbagai perbedaan perspektif yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas mereka.
  2. Pengawas sekolah perlu diberi akses yang seluas-luasnya untuk meningkatkan kompetensinya, termasuk akses untuk memperoleh informasi mutakhir yang berkaitan dengan kemampuan dan kerja kepengasannya. Sistem sosialisasi informasi perlu dikembangkan untuk memungkinkan pengawas sekolah tidak ketinggalan dalam mendapatkan informasi mutakhir yang diperlukannya. Pendidikan-pendidikan dan pelatihan-pelatihan profesional perlu terus diselenggarakan; bukan hanya yang bersifat teknis melainkan juga yang bersifat pendukung seperti kemampuan memanfaatkan teknologi informasi.
  3. Kompetensi supervisi akademik dan evaluasi pendidikan merupakan kompetensi mendasar yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah ketika berhadapan dengan guru yang dibinanya. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan dua kompetensi tersebut.
  4. Stigma pengawas adalah “jabatan buangan” merupakan konsekuensi sosiologis yang terbentuk oleh kondisi yang memarjinalkan pengawas sekolah dalam aspek kekuasaan (power). Untuk menghilangkan stigma itu perlu dibangun upaya pemulihan citra dengan cara merevitalisasi jabatan pengawas sekolah. Pengawas perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis yang berkaitan dengan pola kebijakan kelembagaan, rekutmen jabatan tertentu, dan dalam hal monitoring pelaksanaan manajemen sekolah.
  5. Upaya pembangunan kembali (rebuilding) citra pengawas sebagaimana diungkapkan pada butir (4) di atas akan lebih efektif jika pengawas sekolah itu sendiri membangung komitmen yang positif terkait pelaksanaan tugas-tugas dan peningkatan kompetensi, kinerja, dan sikap profesional.

    Kepustakaan 


    Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.

    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

    Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2010—2014.

    Sagala, H. Syaiful. 2013. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan: Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi, dan Pemberdayaan Potensi Sekolah dalam Sistem Otonomi Sekolah, Cet. VI. Bandung: Alfabeta.

    Tim Penyusun Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan. 2011. Buku Kerja Pengawas Sekolah, Cet. II. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDM dan PMP Kementerian Pendidikan Nasional. 

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.




[1] Sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
[2] Sekretaris Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam sambutannya untuk Buku Kerja Pengawas Sekolah (2012).

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...