July 30, 2013

Pembelajaran Menulis Puisi dengan Metode Sumbang Kata


Pada tanggal 12 s.d. 18 Agustus 2003 saya mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) bagi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMU se-Indonesia di Cisarua, Bogor. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Salah satu sesi yang amat menarik dari diklat ini adalah pembelajaran menulis puisi yang di antaranya menggunakan metode sumbang kata yang dibawakan secara impresif oleh Jamal D. Rahman dan Agus R. Sarjono dari Majalah Sastra Horison. Terdorong oleh ketertarikan itu, saya telah mencoba menerapkan metode tersebut dalam pembelajaran menulis puisi di kelas asuh saya dengan tentu saja diserta penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Hasilnya cukup memberi harapan.

Patut disayangkan, kedua instruktur tadi dalam menyampaikan sesi tersebut tidak memberikan istilah-istilah untuk tiap langkah metodenya. Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk membuat istilah-istilah sendiri semata-mata untuk menghindari kesulitan teknis pemaparan. Adapun, langkah-langkahnya sebagai berikut.


Langkah 1: Pengondisian (Conditioning)


Pertama-tama dilakukan pengondisian (conditioning) berupa pembacaan puisi karya sastrawan terkenal. Pembacaan puisi ini bisa oleh siswa, oleh guru, atau keduanya. Puisi yang dibacakan sebaiknya mengandung imaji-imaji (citraan) yang mempresentasikan kebebasan berfantasi, tetapi masih dalam frame psikologi dan pedagogi sesuai perkembangan siswa SLTA. Ketika itu saya memilih puisi “Nyanyian Gerimis” karya Soni Farid Maulana (Horison, edisi Agustus 2002). Di dalam puisi ini terdapat imaji-imaji yang representatif seperti “jejak hujan”, “kuntum kesepian”, dan “ekor cahaya berpantulan dalam matamu”. Imaji-imaji itu saya pandang cukup mampu membuka ruang imajinasi siswa.


Langkah 2: Sumbang Kata


Tahap berikutnya adalah meminta sumbangan kata dari siswa. Mereka diminta untuk memberikan satu kata saja untuk dituliskan di papan tulis oleh guru (atau siswa). Dalam hal ini guru perlu menegaskan bahwa mereka tidak perlu memikirkan hubungan makna kata yang akan disumbangkan dengan kata-kata yang telah disumbangkan sebelumnya. Spontan saja. Hal ini bermanfaat untuk memberikan sugesti bahwa menulis puisi itu mudah. Kata-kata dituliskan oleh guru (atau siswa) dalam susunan larik-larik yang masing-masing terdiri atas empat sampai enam kata. Jumlah larik sebaiknya tidak terlalu banyak. Cukup empat larik saja. Tentu saja susunan kata dalam larik-larik itu belum memiliki nuansa puitik walaupun secara kebetulan mungkin saja itu terjadi. Kata-kata itu kita jadikan bahan mentah atau “embrio” puisi.


Langkah 3: Eksplorasi Kemungkinan Puitik


Kemudian, siswa dengan pengarahan guru mendiskusikan (secara klasikal) kemungkinan puitik tiap larik susunan kata yang ada. Sebelumnya guru menjelaskan bahwa setiap larik kata-kata itu dapat memiliki hubungan makna yang utuh dan indah dengan cara:

·      membubuhkan atau menyisipkan imbuhan,

·      menyusun ulang urutan kata,

·      menambahkan atau menyisihkan kata, dan/atau

·      memanfaatkan kaidah ejaan.

Sebagai ilustrasi, saya kemukakan contoh berikut yang saya ambil dari pembelajaran di Kelas 3 IPA SMU Negeri 8 OKU (sekarang: SMA Negeri 1 Pulau Beringin), 6 September 2003:

             gerimis    angin    nur    biru    hati    terakhir

             menjadi:

             angin dari gerimis terakhir, Nur, membirukan hati

  

Langkah 4: Pengutuhan dan Pemadatan


Langkah berikutnya mengutuhkan makna keseluruhan dari larik-larik yang telah tercipta. Caranya dengan mempertimbangkan hubungan antarsemua yang ada sehingga tidak ada kata, frasa, klausa, atau kalimat yang terlepas atau bertentangan dengan “benang merah” yang menjalin keseluruhan puisi. Pada langkah ini, juga dapat dilakukan pemadatan, yakni dengan mempertimbangkan apakah puisi itu benar-benar bersih dari dari kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang secara puitik tidak benar-benar diperlukan.


 Langkah 5: Penjudulan


Berikutnya siswa dan guru mendiskusikan kemungkinan judul puisi itu. Untuk menentukan judul, siswa dapat diberi keleluasaan. Yang penting judul itu menarik dan sugestif. Bisa dengan mengambil kata atau frasa bahkan mungkin juga klausa atau kalimat yang ada di dalam puisi tersebut; bisa pula dengan mengambil kata lain di luar teks puisi asalkan memiliki hubungan dengan konteks puisi tersebut.


Langkah 6: Pemberian Tugas Menulis Puisi


“Skenario” di atas perlu ditindaklanjuti dengan memberikan tugas menulis puisi. Dalam mendeskripsikan tugas tersebut siswa diminta mengikuti tahap-tahap seperti telah dikemukakan. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa proses penyumbangan kata yang terlah terlatih dapat berlangsung secara otomatis di dalam pikiran. Latihan ini diasumsikan untuk memberikan gambaran konkret dari proses tersebut—dan yang terpenting—untuk mengembangkan kemampuan berproses seperti itu.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa siswa antusias mengikuti pembelajaran menulis puisi dengan metode ini. Hasilnya pun dapat dirasakan sebagai sesuatu yang cukup memberi harapan. Metode ini barangkali dapat dipandang sebagai satu terobosan untuk mematahkan mitos bahwa mengajarkan puisi itu sulit.





Dimuat di dalam Sisipan Kakilangit Majalah Sastra Horison edisi Februari 2004











Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...