Pada tanggal 12 s.d. 18 Agustus
2003 saya mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi
Sastra (MMAS) bagi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMU se-Indonesia di
Cisarua, Bogor. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Bagian Proyek Peningkatan
Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Patut disayangkan, kedua
instruktur tadi dalam menyampaikan sesi tersebut tidak memberikan
istilah-istilah untuk tiap langkah metodenya. Oleh karena itu, saya
memberanikan diri untuk membuat istilah-istilah sendiri semata-mata untuk
menghindari kesulitan teknis pemaparan. Adapun, langkah-langkahnya sebagai
berikut.
Langkah 1:
Pengondisian (Conditioning)
Pertama-tama dilakukan
pengondisian (conditioning) berupa pembacaan puisi karya sastrawan terkenal.
Pembacaan puisi ini bisa oleh siswa, oleh guru, atau keduanya. Puisi yang
dibacakan sebaiknya mengandung imaji-imaji (citraan) yang mempresentasikan
kebebasan berfantasi, tetapi masih dalam frame psikologi dan pedagogi sesuai
perkembangan siswa SLTA. Ketika itu saya memilih puisi “Nyanyian Gerimis” karya
Soni Farid Maulana (Horison, edisi Agustus 2002). Di dalam puisi ini
terdapat imaji-imaji yang representatif seperti “jejak hujan”, “kuntum
kesepian”, dan “ekor cahaya berpantulan dalam matamu”. Imaji-imaji itu saya
pandang cukup mampu membuka ruang imajinasi siswa.
Langkah 2:
Sumbang Kata
Tahap berikutnya adalah meminta
sumbangan kata dari siswa. Mereka diminta untuk memberikan satu kata saja untuk
dituliskan di papan tulis oleh guru (atau siswa). Dalam hal ini guru perlu
menegaskan bahwa mereka tidak perlu memikirkan hubungan makna kata yang akan
disumbangkan dengan kata-kata yang telah disumbangkan sebelumnya. Spontan saja.
Hal ini bermanfaat untuk memberikan sugesti bahwa menulis puisi itu mudah.
Kata-kata dituliskan oleh guru (atau siswa) dalam susunan larik-larik yang
masing-masing terdiri atas empat sampai enam kata. Jumlah larik sebaiknya tidak
terlalu banyak. Cukup empat larik saja. Tentu saja susunan kata dalam
larik-larik itu belum memiliki nuansa puitik walaupun secara kebetulan mungkin
saja itu terjadi. Kata-kata itu kita jadikan bahan mentah atau “embrio” puisi.
Langkah 3:
Eksplorasi Kemungkinan Puitik
Kemudian, siswa dengan pengarahan
guru mendiskusikan (secara klasikal) kemungkinan puitik tiap larik susunan kata
yang ada. Sebelumnya guru menjelaskan bahwa setiap larik kata-kata itu dapat
memiliki hubungan makna yang utuh dan indah dengan cara:
·
membubuhkan atau menyisipkan imbuhan,
·
menyusun ulang urutan kata,
·
menambahkan atau menyisihkan kata, dan/atau
·
memanfaatkan kaidah ejaan.
Sebagai
ilustrasi, saya kemukakan contoh berikut yang saya ambil dari pembelajaran di
Kelas 3 IPA SMU Negeri 8 OKU (sekarang: SMA Negeri 1 Pulau Beringin), 6
September 2003:
gerimis angin nur
biru hati terakhir
menjadi:
angin dari gerimis terakhir, Nur, membirukan hati
Langkah 4:
Pengutuhan dan Pemadatan
Langkah berikutnya mengutuhkan
makna keseluruhan dari larik-larik yang telah tercipta. Caranya dengan
mempertimbangkan hubungan antarsemua yang ada sehingga tidak ada kata, frasa,
klausa, atau kalimat yang terlepas atau bertentangan dengan “benang merah” yang
menjalin keseluruhan puisi. Pada langkah ini, juga dapat dilakukan pemadatan,
yakni dengan mempertimbangkan apakah puisi itu benar-benar bersih dari dari
kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang secara puitik tidak benar-benar
diperlukan.
Langkah 5: Penjudulan
Berikutnya siswa dan guru
mendiskusikan kemungkinan judul puisi itu. Untuk menentukan judul, siswa dapat
diberi keleluasaan. Yang penting judul itu menarik dan sugestif. Bisa dengan
mengambil kata atau frasa bahkan mungkin juga klausa atau kalimat yang ada di
dalam puisi tersebut; bisa pula dengan mengambil kata lain di luar teks puisi
asalkan memiliki hubungan dengan konteks puisi tersebut.
Langkah 6:
Pemberian Tugas Menulis Puisi
“Skenario” di atas perlu
ditindaklanjuti dengan memberikan tugas menulis puisi. Dalam mendeskripsikan
tugas tersebut siswa diminta mengikuti tahap-tahap seperti telah dikemukakan.
Tetapi, perlu ditegaskan bahwa proses penyumbangan kata yang terlah terlatih
dapat berlangsung secara otomatis di dalam pikiran. Latihan ini diasumsikan
untuk memberikan gambaran konkret dari proses tersebut—dan yang
terpenting—untuk mengembangkan kemampuan berproses seperti itu.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa
siswa antusias mengikuti pembelajaran menulis puisi dengan metode ini. Hasilnya
pun dapat dirasakan sebagai sesuatu yang cukup memberi harapan. Metode ini
barangkali dapat dipandang sebagai satu terobosan untuk mematahkan mitos bahwa
mengajarkan puisi itu sulit.
Dimuat di dalam Sisipan
Kakilangit Majalah Sastra Horison edisi Februari 2004