July 30, 2013

Paradigma Baru Pengajaran Sastra di SMA

A. Pendahuluan: Beberapa Masalah Pengajaran Sastra di SMA

Judul tulisan ini menggunakan istilah “pengajaran sastra”, bukan “pembelajaran sastra”. Pertimbangannya adalah bahwa makalah ini berupaya menyajikan permasalah dan alternatif pemecahan masalah proses belajar mengajar sastra Indonesia secara strategis-metodologis ditinjau dari sudut pandang guru. Istilah “pengajaran sastra” sekaligus melokalisasi arah pembicaraan kepada performa guru dalam merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi sistem pembelajaran yang dikembangkannya sesuai tuntutan kurikulum yang kita gunakan sekarang, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP).

Pelajaran sastra Indonesia mulai jenjang sekolah dasar sampai dengan jenjang sekolah lanjutan tingkat atas merupakan bagian tidak terpisahkan dari mata pelajaran Bahasa Indonesia yang dikemas dalam empat subsistem sesuai dengan pendekatan komunikatif yang mengedepankan kompetensi komunikatif (communicative competences), yaitu (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Pendekatan ini dinilai jauh lebih tepat dibandingkan pendekatan sebelumnya yang masih bersifat teoretis. Standar Isi (SI) mata pelajaran Bahasa Indonesia dispesifikasi secara relatif lebih tepat dalam rumusan redaksional Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang lebih tepat dan mengarah kepada kemudahan operasionalisasinya oleh guru melalui rumusan indikator yang terukur. Kementerian Pendidikan Nasional (sebelumnya: Departemen Pendidikan Nasional) melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bahkan telah menerbitkan berbagai panduan perumusan indikator yang di antaranya menyajikan senarai kata-kata operasional untuk keperluan perumusan indikator yang tepat. Artinya, usaha pemerintah untuk membenahi pemahaman guru tentang substansi SI telah cukup memadai.

Sayangnya, upaya pemerintah ini tidak dengan serta-merta mampu memperbaiki keadaan. Pembelajaran sastra Indonesia masih dihadapkan pada persoalan-persoalan klasik yang mestinya telah lama terbenahi dan persoalan-persoalan baru yang mengemuka sebagai konsekuensi perubahan zaman. Persoalan-persoalan klasik dari sudut pandang guru berjalin-berkelindan, berkembang secara kausatif, dan relatif bertumpu—antara lain—pada gejala-gejala: 
  1. pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif dari pelajaran bahasa Indonesia,
  2. pengajaran bahasa Indonesia—juga mata pelajaran lain—cenderung berorientasi kepada hasil (result oriented) tinimbang kepada proses (process oriented),
  3. pelajaran sastra disajikan tidak secara menarik dan menyenangkan,
  4. pelajaran sastra kurang diarahkan kepada kreativitas sastra peserta didik,
  5. pemahaman guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang substansi kurikulum pelajaran sastra Indonesia kurang memadai,
  6. minat guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap sastra (Indonesia, daerah, dan dunia) masih rendah,
  7. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang mengikuti perkembangan sastra Indonesia,
  8. kemampuan apresiatif dan/atau kemampuan produktif—sastra guru mata pelajaran Bahasa Indonesia belum mamadai,
  9. kemampuan metodologis guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak komplit, lebih cenderung mampu mengajarkan tata bahasa dan gramatika, tetapi lemah dalam mengajarkan sastra,
  10. perpustakaan tidak menyediakan cukup bahan untuk pelajaran sastra, dan
  11. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang menguasai sistem penilaian karya sastra.
Adapun, persoalan-persoalan baru yang mengemuka sebagai konsekuensi perubahan zaman dari sudut pandang guru relatif bertumpu—antara lain—pada gejala-gejala: 
  1. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang responsif terhadap pembaruan kurikulum beserta pelbagai inovasinya yang memungkinkan pembelajaran sastra dapat dikembangkan secara lebih kreatif melalui penyajian berbagai panduan, tips and trick, diversifikasi prosedur dan dokumentasi hasil penilaian, dan sistem internal evaluasi diri, dan
  2. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang ”bersahabat” dengan teknologi informasi, padahal teknologi informasi menyediakan wahana yang tidak terbatas untuk untuk memperkaya bahan penyajian, menginovasi sistem pengajaran, dan memutakhirkan informasi pendukung pembelajaran sastra.
B. Konten Pembelajaran Sastra di dalam Kurikulum

Bahwa pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif dari pelajaran bahasa Indonesia telah merupakan stigma klasik dalam pengajaran sastra Indonesia. Tidak kurang dari seorang Taufiq Ismail mengatakan bahwa sekian lama pengajaran sastra di SMU tergusur ke pinggir oleh pengajaran tata-bahasa dengan perbandingan 10—20 % berbanding 90—80 %.[1]

Sekarang, dengan gembira kita dapat mematahkan asumsi ini. Konten pembelajaran sastra Indonesia SMA di dalam KTSP dapat kita katakan memiliki rasio ± 50 : 50. Dalam satu program pendidikan (kelas X s.d. kelas XII) untuk mata pelajaran Bahasa terdapat 48 SK yang terbagi rata 16 SK tiap tahun pelajaran atau 8 SK tiap semester. Delapan SK tiap semester tersebut terbagi rata pula dalam 2 unit yang terdiri atas 4 keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis). Unit pertama bermuatan kebahasaan dan unit kedua bermuatan kesusastraan. Dengan demikian, sebaran SK yang bermuatan kebahasaan dan yang bermuatan kebahasaan jumlahnya sama.

Adapun, muatan pelajaran sastra dalam SI mata pelajaran bahasa Indonesia SMA meliputi:

Kelas
Smt
Aspek Kompetensi/Standar Kompetensi
Mendengarkan
Berbicara
Membaca
Menulis
X
1
Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/tidak langsung
Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi

Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen

Mengungkapkan pikiran, dan perasaan  melalui kegiatan menulis  puisi

2
Memahami cerita rakyat yang dituturkan

Mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi

Memahami sastra Melayu klasik

Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam  cerpen

XI
1
Memahami pementasan drama

Memerankan tokoh dalam pementasan drama

Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
Mengungkapkan infomasi   melalui  penulisan  resensi

2
Memahami pembacaan  cerpen

Mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan drama
Memahami buku biografi, novel, dan hikayat
Menulis naskah  drama

XII
1
Memahami pembacaan novel

Mengungkapkan pendapat tentang  pembacaan  puisi

Memahami  wacana sastra puisi dan cerpen

Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen
2
Memahami pembacaan teks drama

Mengungkapkan tanggapan terhadap pembacaan puisi lama

Memahami buku kumpulan puisi kontemporer dan  karya sastra yang dianggap penting pada tiap periode

Mengungkapkan pendapat dalam bentuk  kritik dan esai


SK-SK sebagaimana terdaftar pada tabel di atas dijabarkan lagi ke dalam KD-KD dengan jumlah disesuaikan dengan keluasan ruang lingkupnya.  KD-KD tersebut kemudian dikembangkan ke dalam indikator-indikator yang dikembangkan secara mandiri oleh guru mata pelajaran Bahasa Indonesia bersangkutan. Sebagai contoh:

Kompetensi Dasar
Indikator
5.1   Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman  

   Mengidentifikasi (majas, rima, kata-kata berkonotasi dan bermakna lambang)
   Menanggapi unsur-unsur puisi yang ditemukan
   Mengartikan kata-kata berkonotasi dan makna lambang
5.2  Mengungkapkan isi suatu       puisi yang disampaikan  secara langsung ataupun melalui rekaman 
   Menyebutkan  tema puisi yang didengar
   Menyebutkan jenis puisi yang didengar (balada, elegi, roman, ode, himne, satire, dll.)
   Menjelaskan maksud puisi
   Mengungkapkan isi puisi dengan kata-kata sendiri

Uraian di atas, secara substansial memperlihatkan bahwa konten pembelajaran sastra Indonesia dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan KTSP telah cukup memadai dan memberikan peluang kepada guru untuk mengembangkannya menjadi satu paket pengajaran sastra Indonesia yang refresentatif dalam mengimplikasikan tuntutan pengajaran sastra Indonesia yang tidak hanya sebatas apresiatif, tetapi juga sampai kepada pengajaran sastra Indonesia yang produktif. Dengan demikian, asumsi bahwa pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif dari pelajaran bahasa Indonesia saat ini secara tegas dapat kita tolak, setidaknya pada tataran substansi kurikulum.

C. Paradigma Baru Pembelajaran Sastra

Pertanyaannya sekarang adalah: “Dapatkah konten yang relatif ideal ini kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk menciptakan pembelajaran sastra Indonesia yang relatif ideal pula?”  Ini adalah pertanyaan klasik, tetapi tetap relevan dan tetap krusial. Jawaban atas pertanyaan ini secara filosofis barangkali adalah “tinggalkan paradigma lama dan mulailah dengan paradigma baru dalam melaksanakan pengajaran sastra Indonesia”. Akan tetapi, implementasi filosofi ini tentu saja tidak mudah. Di hadapannya membentang “sekeranjang” persoalan yang kompleks dan saling memengaruhi. Namun demikian, kita tetap berkeyakinan bahwa selalu ada jalan untuk keluar dari kompleksitas persoalan ini.

Pertama, pengajaran bahasa Indonesia—juga mata pelajaran lain, sebenarnya—cenderung berorientasi kepada hasil (result oriented) tinimbang kepada proses (process oriented). Hal ini mengakibatkan pelajaran sastra disajikan tidak secara menarik dan menyenangkan dan kurang diarahkan kepada kreativitas sastra peserta didik. Idealnya, kedua orientasi ini mendapat perhatian yang seimbang. Pengajaran sastra yang hanya mengejar target nominal nilai akhir akan menghasilkan sistem pengajaran yang kering dari kreativitas imajinasi. Padahal, imajinasi kreatif harus diberi ruang luas dalam pengajaran sastra. Dalam kaitannya dengan persoalan ini, Taufiq Ismail[2] menyarankan paradigma baru sebagai acuan dalam memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi sastra di SMA:
  1. siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira,
  2. siswa membaca langsung karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai, bukan melalui ringkasan,
  3. kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru,
  4. ketika membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai,
  5. pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra di SMA, cukup tersambil saja sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra, dan
  6. pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa, yang membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di masyarakat.
Pada bagian ini saya ingin menambahkan:
7. Selain karya sastra yang sudah menjadi mainstream, gunakan pula karya sastra populer agar siswa memulai mengapresiasi karya sastra dengan karangan ringan yang menjadi kesukaan mereka[3].

Kedua, pemahaman guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang substansi kurikulum pelajaran sastra Indonesia perlu dibina dan dikembangkan secara berkelanjutan. Pengajaran sastra memiliki karakteristik yang berbeda dengan pengajaran sastra. Karakteristik itu terkait dengan hakikat karya sastra yang sesungguhnya lebih cenderung bersifat seni. Penekanannya lebih mengarah kepada pendekatan apresiatif-produktif.

Ketiga, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu meningkatkan minatnya terhadap sastra, baik terhadap sastra Indonesia, karya sastra daerah, maupun karya sastra dunia, baik yang klasik maupun modern. Kurangnya minat guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap karya sastra akan berpengaruh negatif secara langsung terhadap suasana pembelajaran sastra.

Keempat, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu terus mengikuti perkembangan sastra Indonesia. Ada gejala yang nyata bahwa perhatian guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhenti pada literatur sastra yang selama ini dianggap standar, yaitu dari karya sastra melayu klasik sampai pada karya sastra Angkatan ’66. Kenyataannya, dalam periode tahun 1970-an sampai sekarang karya sastra Indonesia memperlihatkan perkembangan yang tidak terbayangkan. Perkembangan ini, sesungguhnya, telah terakomodasi bahkan dalam soal-soal sastra di dalam naskah soal Ujian Nasional, misalnya dengan tampilnya nukilan-nukilan karya Nenden Elis, Abidah El-Khalieky, Dewi Lestari (Dee), dan Ayu Utami, yang tidak ditemukan di dalam buku-buku teks pelajaran Bahasa Indonesia.

Kelima, kemampuan apresiatif dan/atau kemampuan produktif—sastra guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu ditingkatkan. Selain mampu mengapresiasi karya sastra dengan reseptif, guru perlu bisa mengarang karya sastra, setidaknya dimulai dari karya sastra yang cenderung lebih mudah ditulis, misalnya puisi dan cerita pendek. Karya sastra ciptaan sendiri ini sesekali perlu disajikan kepada siswa untuk memotivasi mereka berkreasi sastra.

Keenam, kemampuan metodologis guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu dielaborasi, sehingga ia tidak mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia secara tidak seimbang, tidak komplit, lebih cenderung mampu mengajarkan tata bahasa dan gramatika, tetapi lemah dalam mengajarkan sastra. Bagaimanapun, pengajaran sastra merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengajaran Bahasa Indonesia secara umum, sesuai tuntutan substansial kurikulum.

Ketujuh, perlu ada upaya dari sekolah untuk memerkaya koleksi bahan bacaan sastra di perpustakaan sekolah. Pemerkayaan ini diharapkan tidak hanya pada kuantitas judul dan eksemplar, tetapi juga pada diversifikasi jenis, periode, dan genre karya sastra. Gambaran umum koleksi bahan bacaan sastra pada perpustakaan kita lebih banyak berupa kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, novel/roman, teori dan sejarah sastra, sedangkan esai, kritik, resensi, dan leksikon sastra jarang ditemukan, kalaupun ada sangat sedikit. Kondisi semacam ini tentu kurang mendukung pengembangan pengajaran sastra di sekolah.

Kedelapan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu meningkatkan penguasaan terhadap sistem penilaian karya sastra, khususnya karangan hasil karya siswa. Perlu ada upaya untuk memerkaya dan mengembangkan sistem penilaian karya yang dihasilkan oleh siswa melalui penciptaan berbagai format penilaian yang dilandasi oleh pemahaman terhadap karakteristik karya sastra sebagai hasil kreasi seni.

Kesembilan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu mengembangkan sikap responsif terhadap pembaruan kurikulum beserta pelbagai inovasinya yang memungkinkan pembelajaran sastra dapat dikembangkan secara lebih kreatif melalui penyajian berbagai panduan, tips and trick, diversifikasi prosedur dan dokumentasi hasil penilaian, dan sistem internal evaluasi diri.

Kesepuluh, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia harus bersikap ”bersahabat” dengan teknologi informasi. Teknologi informasi dalam kenyataannya menyediakan wahana yang tidak terbatas untuk untuk memperkaya bahan penyajian, menginovasi sistem pengajaran, dan memutakhirkan informasi pendukung pembelajaran sastra. Teknologi informasi juga memungkinkan pembelajaran sastra dapat diselenggarakan secara interaktif dan menghilangkan/mengurangi hambatan yang disebabkan oleh keterbatasan ruang dan waktu.

D. Penutup

Telah tiba saatnya bagi kita—guru mata pelajaran Bahasa Indonesia—untuk memulai pengajaran sastra Indonesia dengan menyandarkan diri pada paradigma baru pengajaran sastra. Dari segi konten kurikulum, paradigma baru ini sangat terbuka untuk dikembangkan karena kita memiliki SI yang relatif dapat dikatakan ideal.

Permasalahan terbesar yang dihadapi dalam pengajaran sastra Indonesia, di samping serangkaian permasalahan lain, sesungguhnya ada pada kita sendiri sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan kita keluar dari paradigma lama, dan memulai paradigma baru pengajaran sastra Indonesia, harapan bahwa pengajaran sastra dilaksanakan sesuai tuntutan idealnya dapat diwujudkan.




[1] Taufiq Ismail, Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2003), h. 7.
[2] Ibid., hal. 24—26.
[3] Ismail Marahimin dalam bukunya Menulis Secara Populer (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002) malah menghindari pembedaan karya sastra dengan karya sastra populer. Baginya, semuanya adalah karya sastra.

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...