A. Pendahuluan: Beberapa Masalah Pengajaran Sastra di SMA
Judul tulisan ini menggunakan istilah
“pengajaran sastra”, bukan “pembelajaran sastra”. Pertimbangannya adalah bahwa
makalah ini berupaya menyajikan permasalah dan alternatif pemecahan masalah proses
belajar mengajar sastra Indonesia secara strategis-metodologis ditinjau dari
sudut pandang guru. Istilah “pengajaran sastra” sekaligus melokalisasi arah
pembicaraan kepada performa guru dalam merencanakan, mengelola, dan
mengevaluasi sistem pembelajaran yang dikembangkannya sesuai tuntutan kurikulum
yang kita gunakan sekarang, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP).
Sayangnya, upaya pemerintah ini tidak
dengan serta-merta mampu memperbaiki keadaan. Pembelajaran sastra Indonesia
masih dihadapkan pada persoalan-persoalan klasik yang mestinya telah lama
terbenahi dan persoalan-persoalan baru yang mengemuka sebagai konsekuensi
perubahan zaman. Persoalan-persoalan klasik dari sudut pandang guru
berjalin-berkelindan, berkembang secara kausatif, dan relatif bertumpu—antara
lain—pada gejala-gejala:
- pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif dari pelajaran bahasa Indonesia,
- pengajaran bahasa Indonesia—juga mata pelajaran lain—cenderung berorientasi kepada hasil (result oriented) tinimbang kepada proses (process oriented),
- pelajaran sastra disajikan tidak secara menarik dan menyenangkan,
- pelajaran sastra kurang diarahkan kepada kreativitas sastra peserta didik,
- pemahaman guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang substansi kurikulum pelajaran sastra Indonesia kurang memadai,
- minat guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap sastra (Indonesia, daerah, dan dunia) masih rendah,
- guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang mengikuti perkembangan sastra Indonesia,
- kemampuan apresiatif dan/atau kemampuan produktif—sastra guru mata pelajaran Bahasa Indonesia belum mamadai,
- kemampuan metodologis guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak komplit, lebih cenderung mampu mengajarkan tata bahasa dan gramatika, tetapi lemah dalam mengajarkan sastra,
- perpustakaan tidak menyediakan cukup bahan untuk pelajaran sastra, dan
- guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang menguasai sistem penilaian karya sastra.
Adapun, persoalan-persoalan baru yang
mengemuka sebagai konsekuensi perubahan zaman dari sudut pandang guru relatif
bertumpu—antara lain—pada gejala-gejala:
- guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang responsif terhadap pembaruan kurikulum beserta pelbagai inovasinya yang memungkinkan pembelajaran sastra dapat dikembangkan secara lebih kreatif melalui penyajian berbagai panduan, tips and trick, diversifikasi prosedur dan dokumentasi hasil penilaian, dan sistem internal evaluasi diri, dan
- guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang ”bersahabat” dengan teknologi informasi, padahal teknologi informasi menyediakan wahana yang tidak terbatas untuk untuk memperkaya bahan penyajian, menginovasi sistem pengajaran, dan memutakhirkan informasi pendukung pembelajaran sastra.
B. Konten Pembelajaran
Sastra di dalam Kurikulum
Bahwa pelajaran sastra diposisikan
secara subordinatif dari pelajaran bahasa Indonesia telah merupakan stigma
klasik dalam pengajaran sastra Indonesia. Tidak kurang dari seorang Taufiq
Ismail mengatakan bahwa sekian lama pengajaran sastra di SMU tergusur ke
pinggir oleh pengajaran tata-bahasa dengan perbandingan 10—20 % berbanding
90—80 %.[1]
Sekarang, dengan gembira kita dapat
mematahkan asumsi ini. Konten pembelajaran sastra Indonesia SMA di dalam KTSP
dapat kita katakan memiliki rasio ± 50 : 50. Dalam satu program pendidikan
(kelas X s.d. kelas XII) untuk mata pelajaran Bahasa terdapat 48 SK yang
terbagi rata 16 SK tiap tahun pelajaran atau 8 SK tiap semester. Delapan SK
tiap semester tersebut terbagi rata pula dalam 2 unit yang terdiri atas 4
keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis). Unit pertama
bermuatan kebahasaan dan unit kedua bermuatan kesusastraan. Dengan
demikian, sebaran SK yang bermuatan kebahasaan dan yang bermuatan kebahasaan
jumlahnya sama.
Adapun, muatan pelajaran sastra dalam
SI mata pelajaran bahasa Indonesia SMA meliputi:
Kelas
|
Smt
|
Aspek Kompetensi/Standar
Kompetensi
|
|||
Mendengarkan
|
Berbicara
|
Membaca
|
Menulis
|
||
X
|
1
|
Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/tidak
langsung
|
Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi
|
Memahami
wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen
|
Mengungkapkan
pikiran, dan perasaan melalui kegiatan
menulis puisi
|
2
|
Memahami cerita
rakyat yang dituturkan
|
Mengungkapkan
pendapat terhadap puisi melalui diskusi
|
Memahami sastra Melayu klasik
|
Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan
orang lain ke dalam cerpen
|
|
XI
|
1
|
Memahami pementasan drama
|
Memerankan tokoh dalam pementasan drama
|
Memahami
berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
|
Mengungkapkan infomasi melalui
penulisan resensi
|
2
|
Memahami pembacaan
cerpen
|
Mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan
drama
|
Memahami buku biografi, novel, dan hikayat
|
Menulis naskah drama
|
|
XII
|
1
|
Memahami
pembacaan novel
|
Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan
puisi
|
Memahami wacana
sastra puisi dan cerpen
|
Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman
dalam bentuk resensi dan cerpen
|
2
|
Memahami pembacaan teks drama
|
Mengungkapkan tanggapan terhadap pembacaan puisi lama
|
Memahami buku kumpulan puisi kontemporer dan karya sastra yang dianggap penting pada
tiap periode
|
Mengungkapkan pendapat dalam bentuk kritik dan esai
|
SK-SK sebagaimana terdaftar pada tabel
di atas dijabarkan lagi ke dalam KD-KD dengan jumlah disesuaikan dengan
keluasan ruang lingkupnya. KD-KD
tersebut kemudian dikembangkan ke dalam indikator-indikator yang dikembangkan
secara mandiri oleh guru mata pelajaran Bahasa Indonesia bersangkutan. Sebagai
contoh:
Kompetensi
Dasar
|
Indikator
|
5.1 Mengidentifikasi
unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun
melalui rekaman
|
• Mengidentifikasi
(majas, rima, kata-kata berkonotasi dan bermakna lambang)
• Menanggapi unsur-unsur puisi
yang ditemukan
• Mengartikan
kata-kata berkonotasi dan makna lambang
|
5.2 Mengungkapkan isi
suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui
rekaman
|
• Menyebutkan tema puisi yang didengar
• Menyebutkan
jenis puisi yang didengar (balada, elegi, roman, ode, himne, satire, dll.)
• Menjelaskan maksud puisi
• Mengungkapkan
isi puisi dengan kata-kata sendiri
|
Uraian di atas, secara substansial
memperlihatkan bahwa konten pembelajaran sastra Indonesia dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia berdasarkan KTSP telah cukup memadai dan memberikan peluang
kepada guru untuk mengembangkannya menjadi satu paket pengajaran sastra
Indonesia yang refresentatif dalam mengimplikasikan tuntutan pengajaran sastra
Indonesia yang tidak hanya sebatas apresiatif, tetapi juga sampai kepada
pengajaran sastra Indonesia yang produktif. Dengan demikian, asumsi bahwa
pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif dari pelajaran bahasa Indonesia
saat ini secara tegas dapat kita tolak,
setidaknya pada tataran substansi kurikulum.
C. Paradigma Baru
Pembelajaran Sastra
Pertanyaannya sekarang adalah: “Dapatkah konten yang relatif ideal ini kita
manfaatkan sebaik-baiknya untuk menciptakan pembelajaran sastra Indonesia yang
relatif ideal pula?” Ini adalah
pertanyaan klasik, tetapi tetap relevan dan tetap krusial. Jawaban atas
pertanyaan ini secara filosofis barangkali adalah “tinggalkan paradigma lama
dan mulailah dengan paradigma baru dalam melaksanakan pengajaran sastra
Indonesia”. Akan tetapi, implementasi filosofi ini tentu saja tidak mudah. Di
hadapannya membentang “sekeranjang” persoalan yang kompleks dan saling
memengaruhi. Namun demikian, kita tetap berkeyakinan bahwa selalu ada jalan
untuk keluar dari kompleksitas persoalan ini.
Pertama, pengajaran bahasa Indonesia—juga mata pelajaran lain,
sebenarnya—cenderung berorientasi kepada hasil (result oriented) tinimbang kepada proses (process oriented). Hal ini mengakibatkan pelajaran sastra disajikan
tidak secara menarik dan menyenangkan dan kurang diarahkan kepada kreativitas
sastra peserta didik. Idealnya, kedua orientasi ini mendapat perhatian yang
seimbang. Pengajaran sastra yang hanya mengejar target nominal nilai akhir akan
menghasilkan sistem pengajaran yang kering dari kreativitas imajinasi. Padahal,
imajinasi kreatif harus diberi ruang luas dalam pengajaran sastra. Dalam
kaitannya dengan persoalan ini, Taufiq Ismail[2] menyarankan paradigma baru
sebagai acuan dalam memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi
sastra di SMA:
- siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira,
- siswa membaca langsung karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai, bukan melalui ringkasan,
- kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru,
- ketika membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai,
- pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra di SMA, cukup tersambil saja sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra, dan
- pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa, yang membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di masyarakat.
Pada bagian ini saya ingin menambahkan:
7. Selain karya
sastra yang sudah menjadi mainstream,
gunakan pula karya sastra populer agar siswa memulai mengapresiasi karya sastra
dengan karangan ringan yang menjadi kesukaan mereka[3].
Kedua, pemahaman guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang
substansi kurikulum pelajaran sastra Indonesia perlu dibina dan dikembangkan
secara berkelanjutan. Pengajaran sastra memiliki karakteristik yang berbeda
dengan pengajaran sastra. Karakteristik itu terkait dengan hakikat karya sastra
yang sesungguhnya lebih cenderung bersifat seni. Penekanannya lebih mengarah
kepada pendekatan apresiatif-produktif.
Ketiga, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu meningkatkan
minatnya terhadap sastra, baik terhadap sastra Indonesia, karya sastra daerah, maupun
karya sastra dunia, baik yang klasik maupun modern. Kurangnya minat guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia terhadap karya sastra akan berpengaruh negatif
secara langsung terhadap suasana pembelajaran sastra.
Keempat, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu terus
mengikuti perkembangan sastra Indonesia. Ada gejala yang nyata bahwa perhatian
guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhenti pada literatur sastra yang selama
ini dianggap standar, yaitu dari karya sastra melayu klasik sampai pada karya
sastra Angkatan ’66. Kenyataannya, dalam periode tahun 1970-an sampai sekarang
karya sastra Indonesia memperlihatkan perkembangan yang tidak terbayangkan.
Perkembangan ini, sesungguhnya, telah terakomodasi bahkan dalam soal-soal
sastra di dalam naskah soal Ujian Nasional, misalnya dengan tampilnya
nukilan-nukilan karya Nenden Elis, Abidah El-Khalieky, Dewi Lestari (Dee), dan
Ayu Utami, yang tidak ditemukan di dalam buku-buku teks pelajaran Bahasa
Indonesia.
Kelima, kemampuan apresiatif dan/atau kemampuan
produktif—sastra guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu ditingkatkan.
Selain mampu mengapresiasi karya sastra dengan reseptif, guru perlu bisa
mengarang karya sastra, setidaknya dimulai dari karya sastra yang cenderung
lebih mudah ditulis, misalnya puisi dan cerita pendek. Karya sastra ciptaan
sendiri ini sesekali perlu disajikan kepada siswa untuk memotivasi mereka
berkreasi sastra.
Keenam, kemampuan metodologis guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia perlu dielaborasi, sehingga ia tidak mengajarkan mata pelajaran
Bahasa Indonesia secara tidak seimbang, tidak komplit, lebih cenderung mampu
mengajarkan tata bahasa dan gramatika, tetapi lemah dalam mengajarkan sastra.
Bagaimanapun, pengajaran sastra merupakan bagian tidak terpisahkan dari
pengajaran Bahasa Indonesia secara umum, sesuai tuntutan substansial kurikulum.
Ketujuh, perlu ada upaya dari sekolah untuk memerkaya koleksi
bahan bacaan sastra di perpustakaan sekolah. Pemerkayaan ini diharapkan tidak
hanya pada kuantitas judul dan eksemplar, tetapi juga pada diversifikasi jenis,
periode, dan genre karya sastra. Gambaran umum koleksi bahan bacaan sastra pada
perpustakaan kita lebih banyak berupa kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek,
novel/roman, teori dan sejarah sastra, sedangkan esai, kritik, resensi, dan
leksikon sastra jarang ditemukan, kalaupun ada sangat sedikit. Kondisi semacam
ini tentu kurang mendukung pengembangan pengajaran sastra di sekolah.
Kedelapan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu meningkatkan
penguasaan terhadap sistem penilaian karya sastra, khususnya karangan hasil
karya siswa. Perlu ada upaya untuk memerkaya dan mengembangkan sistem penilaian
karya yang dihasilkan oleh siswa melalui penciptaan berbagai format penilaian
yang dilandasi oleh pemahaman terhadap karakteristik karya sastra sebagai hasil
kreasi seni.
Kesembilan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu
mengembangkan sikap responsif terhadap pembaruan kurikulum beserta pelbagai
inovasinya yang memungkinkan pembelajaran sastra dapat dikembangkan secara
lebih kreatif melalui penyajian berbagai panduan, tips and trick, diversifikasi prosedur dan dokumentasi hasil
penilaian, dan sistem internal evaluasi diri.
Kesepuluh, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia harus bersikap
”bersahabat” dengan teknologi informasi. Teknologi informasi dalam kenyataannya
menyediakan wahana yang tidak terbatas untuk untuk memperkaya bahan penyajian,
menginovasi sistem pengajaran, dan memutakhirkan informasi pendukung
pembelajaran sastra. Teknologi informasi juga memungkinkan pembelajaran sastra
dapat diselenggarakan secara interaktif dan menghilangkan/mengurangi hambatan
yang disebabkan oleh keterbatasan ruang dan waktu.
D. Penutup
Telah tiba saatnya bagi kita—guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia—untuk memulai pengajaran sastra Indonesia dengan
menyandarkan diri pada paradigma baru pengajaran sastra. Dari segi konten
kurikulum, paradigma baru ini sangat terbuka untuk dikembangkan karena kita
memiliki SI yang relatif dapat dikatakan ideal.
Permasalahan terbesar yang dihadapi
dalam pengajaran sastra Indonesia, di samping serangkaian permasalahan lain,
sesungguhnya ada pada kita sendiri sebagai guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Dengan kita keluar dari paradigma lama, dan memulai paradigma baru
pengajaran sastra Indonesia, harapan bahwa pengajaran sastra dilaksanakan
sesuai tuntutan idealnya dapat diwujudkan.
[1] Taufiq Ismail, Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang
(Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2003), h. 7.
[2] Ibid., hal. 24—26.
[3] Ismail Marahimin dalam bukunya Menulis Secara Populer (Jakarta: Pustaka
Jaya, 2002) malah menghindari pembedaan karya sastra dengan karya sastra
populer. Baginya, semuanya adalah karya sastra.