A.
Eksotisme:
Sebentuk Keterpesonaan
Ketika dan setelah membaca kumpulan
cerpen Umar Kayam (selanjutnya: UK) Seribu Kunang-kunang di Manhattan[1]—khususnya enam cerpen
berlatar AS—pikiran saya tidak bisa lepas dari film Waking Up in Reno[2] yang sebelumnya saya nikmati
melalui media CD. Terasa ada benang merah yang
menghubungkan keduanya. Subjektivitas penerimaan saya belakangan dapat
menemukan benang merah itu: “pesona eksotis”. Pesona itu bukan pada gemerlap
keglamoran yang melumuri kejumudan pada superioritas bangsa AS. Pesona itu
memancar dari penggambaran kehidupan sehari-hari yang sederhana, akrab, dan
manusiawi.
Saya selalu percaya, membaca karya
sastra adalah proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi
kreatif-artistik penulis dengan pemikiran dan imajinasi reseptif pembaca.
Apakah pertemuan itu menghasilkan penerimaan yang sejalan atau justru
kontradiktif , bukanlah persoalan. Sebab, proses dan hasil pembacaan suatu
karya sastra adalah representasi dari suatu kenyataan relatif.
Keterpesonaan saya terhadap Seribu
Kunang-kunang di Manhattan yang menimbulkan perasaan eksotisme yang
mengakibatkan lompatan atensi ke Waking Up in Reno saya pahami sebagai
representasi dari kenyataan relatif yang subjektif dan personal. Sangat terbuka kemungkinan pembaca lain tidak
merasakan eksotisme itu sekalipun ia—seperti saya—tidak pernah terlibat dalam
interaksi dengan budaya AS. Hal itu karena adanya subjektivitas dan
personalitas itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia[3] mengartikan kata eksotis dan eksotisme
dengan redaksi yang sederhana saja. Eksotis ‘memiliki daya tarik yang
khas karena belum dikenal umum’. Eksotisme ‘paham yang menonjolkan
keeksotisan atau keistimewaan’. Dalam pemahaman saya, eksotisme adalah sebuah
kata yang maknanya mendua, yakni dapat dilihat dari dua sudut: objek dan
penerima objek. Dari sudut objek, eksotisme mengandung makna ‘pesona’; dari
sudut penerima objek, ‘keterpesonaan’. Dengan mempertimbangkan dua sudut itu,
eksotisme dalam tulisan ini dibatasi sebagai ‘pesona atau sebentuk
keterpesonaan sebagai akibat membentangnya jarak yang jauh antara persepsi yang
dibangun oleh kompleksitas pengetahuan dan pengalaman seseorang dengan pancaran
citra sutau objek’. Objek yang dimaksudkan di sini merujuk kepada segala
sesuatu yang dihasilkan oleh alam dan kebudayaan dalam arti luas yang mencakupi
tujuh unsur universal kebudayaan yang disarankan oleh Koentjaraningrat, yaitu
(1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan
hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan
(7) kesenian[4].
Dalam kasus saya, eksotisme kehidupan
sehari-hari orang AS—dalam hal ini orang As di kawasan Manhattan—seperti yang
tergambar di dalam Seribu Kunang-kunang di Manhattan dan Waking Up in
Reno, tetap tinggal sebagai sebuah keterpesonaan yang disekat oleh kesadaran
tentang adanya jarak kultural sebagai konsekuensi dari dua hal: (1)
menginternalnya kompleksitas budaya sendiri ke dalam keseluruhan personalitas
dan (2) keterbatasan pengetahuan dan pengalaman tentang kompleksitas budaya
lokal AS.
Pertanyaannya adalah bagaimana UK
memanfaatkan sarana-sarana literer-fiksional sehingga Seribu Kunang-kunang
di Manhattan tampil demikian eksotis dalam penerimaan saya, dengan catatan
bahwa struktur tematik dan struktur alur enam cerpen berlatar AS dalam kumpulan
itu tidak terlalu mengesankan[5]. Pertanyaan inilah yang saya jadikan frame dalam meriwayatkan
keterpesonaan saya setelah membaca cerpen-cerpen itu melalui tulisan ini. Enam
cerpen tersebut adalah (1) “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, (2) “Istriku,
Madame Schiltz, dan Sang Raksasa”, (3) “Sybil”, (4) “Secangkir Kopi dan
Sepotong Donat”, (5) “Chief Sitting Bull”, dan (6) “There Goes Tatum”.[6] Sebagai ancangan awal, saya mengajukan asumsi bahwa
paling tidak ada tiga sarana yang secara efektif dan kolaboratif berhasil dimanfaatkan oleh Umar Kayam, yaitu
(1) latar, (2) karakterisasi, dan (3) bahasa.
B.
Latar: Dimensi
Sosiologis-Antropologis
Sebagai budayawan terkemuka,
pengetahuan dan pemahaman budaya UK tidak perlu dipertanyakan lagi. Disertasinya “Aspects of Depertemental Coordination
Problems in Indonesia Community Development” (1965) dan esai-esai budayanya
dalam Seni, Tradisi, dan Masyarakat (1981), The Soul of Indonesia, A
Cultural Journey—diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Semangat Indonesia: Suatu
Perjalanan Budaya (1985)—, Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih
Tanpa Banda (1994), Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih (1998),
dan Satrio Piningit in Kampung Pingit (2000)[7] telah cukup memberi gambaran
tentang itu. Belum lagi rona-rona budaya yang
termanifestasikan dalam karya-karya fiksinya, yaitu Totok dan Toni
(1975), Para Priyayi (1992), Parta Krama (1997), Jalan
Menikung: Para Priyayi 2 (1999), dan tentu saja kumpulan cerpen yang
dibahas ini[8]. Persoalannya sekarang adalah bagaimana UK melibatkan pengetahuan dan
pemahaman sosiologis-antropologisnya itu secara fiksional ke dalam cerpen-cerpennya.
Dalam cerpen “Seribu Kunang-kunang di
Manhattan” , khazanah dan pemahaman sosiologis-antropologis disisipkan secara
halus. Petikan berikut ini memperlihatkan kemampuan UK dalam memperkaya cerita
dengan detail yang walaupun kecil, remeh, tetapi memberikan nuansa yang justru
efektif memperkuat realisme[9] cerita:
“Eh, maukah kau
membikinkan aku segelas … ah, kau tak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau
selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon?
Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….” (hlm. 2)
Berbeda dengan yang tergambar pada
petikan di atas, yang berikut ini memperlihatkan kekayaan pengetahuan
antropologis UK:
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di
Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah
mendengar orang eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu
pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu
betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab,
aku tak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.” (hlm.
3).
Cerpen “Istriku,
Madame Schiltz, dan Sang Raksasa” juga dipenuhi dengan pemanfaatan dimensi
seperti itu. Yang perlu digarisbawahi di sini, ada semacam hubungan eksotisme
yang resiprokal. Rasa ingin tahu sang istri distimulasi oleh pesona eksotis
Madame Schiltz. Di pihak lain, Madam Schiltz terjebak oleh eksotisme Timur yang
dalam pikirannya dimiliki oleh keluarga Kayyam. Bayang-bayang pesona
eksotisme Timur—Barat dipertemukan di sini. Petikan berikut barangkali dapat
mengilustrasikan resiprokalitas itu. Yang ini dari Madame Schiltz:
“Ini kamar yang
sangat menarik. Aku segera bisa mencium dunia Timur di kamar ini. Mmmmm, bau
setanggi, kelinting terdengar alon-alon, ting-ting-ting. Lalu aku lihat sebuah
gapura besar dengan pintu dari kayu yang besar-besar juga, tertutup
rapat-rapat. Pa da pintu kayu yang lebar itu ada jendela yang kecil saja, hanya
cukup untuk menampakkan dua belah mata. Lalu, ‘klik’ jendela itu terbuka dan
apa yang terlihat? Sepasang mata tampak untuk beberepa detik saja. Sudah itu
‘klik’ jendela besi itu tertutup lagi. Tapi mata itu, oh, belum pernah aku
melihat mata yang begitu aneh, sipit tapi juga begitu cantik. Oh, dunia Timur
yang penuh misteri ….” (hlm 17—18).
Dan ini memperlihatkan keeksotisan Madame Schiltz yang
ditangkap oleh sang istri:
“Jadi Nyonya bukan
orang Jerman atau Austria?”
“Bukan, bukan.
Almarhum suamiku orang Austria. Tapi aku adalah orang Amerika tulen. Nenek
moyangku sudah sejak jaman Mayflower ada di sini.”
“Tapi Nyonya punya
aksen Austria yang tebal betul. Seharusnya think, Nyonya bilang ‘zink’.
Seharusnya are, Nyonya bilang ‘h-h-are’.”
Madame Schiltz
tersenyum. (hlm. 19)
Adegan Jim dalam “Secangkir Kopi dan Sepotong Donat” juga
bernuansa sosiologis-antroplogis. Bahkan keseluruhan cerpen ini pada hemat saya
bernuansa sosiologis-antropologis. Tetapi, amat menarik adegan Jim dalam cerpen
ini, terutama bagian ocehan Jim berikut ini.
“Peggy, Tuan-tuan.
Hari ini, hari penting. Pedang ‘lah kutarik. Dan syiir, aku putuskan tali
kelaziman yang mengekang kemajuan zaman. Tahukan kenapa Amerika makin merosot
sebagai negara besar? Karena rakyatnya tidak tahu lagi menjawab kenapa minum
kopi pada waktu ‘jam ngopi’. Tidak tahu kenapa orang Cuma bisa beli hot dog dan
hamburger sejak dari Bowery sampai Upper-Bronx. Orang-orang mengunyah hot dog
karena orang di kirinya mengunyah hot dog. Orang memamah hamburger karena orang
di kanannya memamah hamburger. Beo, Peggy, beo! Monyet, Tuan-tuan, di mana-mana
monyet! Tapi hari ini pedang ‘leh kutarik. Good bye hot dog, farewell
hamburger! Aku mau makan codsteak atau halibut buat makan siangku, meskipun
hari ini hari Senin. Aku, aku, aku, a-a-a-a…ku, oh, oh
….” (hlm. 51).
Jim menangis. Lalu pergi dari kafe setelah menitip pesan
kepada temannya bahwa ia tidak akan masuk kantor lagi hari itu. Tidak seorang
pun tahu mengapa lelaki periang itu tiba-tiba menangis. Tetapi, kepergiannya
segara saja melepaskan kafe itu dari suasana muram. Kafe hidup kembali,
termasuk komunikasi media tisu antara Peggy dan pacarnya. Adegan Jim dalam
pemahaman saya adalah eksotis. Bukanlah suasana yang lazim keseharian kita
adegan teatrikal seperti yang diperlihatkan Jim.
C.
Karakterisasi:
Dimensi Psikologis
Menarik untuk dicermati pendapat Arif Budiman tentang
cerpen-cerpen UK “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, “Chief Sitting Bull”,
“Sybil”, dan “Istriku, Madame Schiltz, dan Sang Raksasa” dalam majalah Horison,
Maret 1967. Arif sampai pada simpulan bahwa
cerita-cerita UK tidak menampilkan gerak fisik atau kontroversi-kontroversi
yang membagi “daerah sini” dan “daerah sana”. Cerita-ceritanya lebih merupakan
undangan untuk menghayati suatu suasana manusia. Tidak ada tokoh-tokoh
ceritanya yang dijagokan (protagonis) atau dibanditkan (semacam tokoh
antagonis). Semua tokoh dibiarkan hidup dalam dunianya sendiri-sendiri dan UK
mencintainya dengan kemesraan yang sama. Tidak dujumpai pemaksaan suatu
konsepsi; cerita-cerita UK benar-benar merupakan “seni meniru alam”[10].
Saya ingin menggarisbawahi pernyataan Arif:
“Cerita-ceritanya lebih merupakan undangan untuk menghayati suatu suasana
manusia”. Saya ingin menambahkan bahwa undangan itu disampaikan dengan cara
yang amat simpatik. Siapa yang tega mengabaikan undangan seperti itu?
Dalam “Chief Sitting Bull” undangan untuk
menghayati suasana kejiwaan tokoh Charlie—seorang lelaki renta yang sudah mulai
pikun—demikian memikat. Karakterisasi tokoh Charlie—dan juga tokoh
Martha—membawa pikiran saya pada suatu fenomena psikologis yang disebut regresi,
yakni proses berbalik pada tahap perkembangan perilaku sebelumnya yang dialami
orang karena prustasi[11] yang melibatkan sebentuk gejala infantilisme yang oleh Bertens[12] diartikan sebagai adanya pola kelakuan kekanak-kanakan
pada orang yang telah dewasa.
Cerita dibuka dengan adegan yang memikat. Charlie yang
kesepian di usia senja setiap pagi melewatkan waktu dengan menunggang
kuda-kudaan putih di carousel Central Park. Tetapi, pagi itu dia
terlambat. Kuda putih kesayangannya telah diambil oleh Tommy, seorang anak
kecil. Charlie segera saja merayu anak itu agar menyerahkan kuda putihnya, dan
menggantikannya dengan kuda merah.
“Howdy, Bill.”
Anak itu agak terkejut
disapa seorang kakek.
“Namaku bukan
Bill.”
“Tetapi bukankah
kau Buffalo Bill? Bill Cody?”
Si anak
tertawa.
“Ya, ya, betul.
Aku Buffalo Bill. Dan kau siapa?”
“Aku Sitting
Bull.”
“Chief Sitting
Bull?” (hlm.58)
Sebuah awal yang baik bagi Charlie. Tetapi, Tommy
tidak mau begitu saja menyerahkan kuda putihnya ketika Charlie mulai
memintanya. Kakek itu tidak mau menyerah. Ia terus mengejar Tommy dengan
memanipulasi cerita Buffalo Bill untuk kepentingannya.
“Ayolah,
Buffalo Bill naik kuda merah mengejar Sitting Bull yang naik kuda putih. Kalau
nanti lonceng berbunyi aku akan mulai dengan wu-wu-wu-wu-wu begini dan kau,
Bill, akan mulai menembak aku dari belakang tam-tam-tam-tam.”
“Tapi Buffalo Bill
tidak pernah mau menembak dari belakang.”
“Siapa bilang?
Melawan Indian dia harus menembak dari belakang. Bukankah Indian selalu lari
tiap ketemu Buffalo Bill? Dan Buffalo Bill bukankah harus mengejar dan menembak
dia? Ayolah! Sebentar lagi lonceng berbunyi, ‘tu.”
“Baiklah, Chief.”
(hlm. 59)
Apa yang dilakukan Charlie merupakan bentuk regresi ke
masa kanak-kanak. Perilaku seperti itu merepresentasikan gejala infantilisme,
sekaligus mengantarkan saya pada pemikiran tentang dominasi orang tua terhadap
anak. Kapan sih orang tua mau dikalahkan oleh seorang anak?
Regresi Charlie juga bergerak ke arah masa remajanya.
Setiap hari, setelah menikmati permainan di carousel, dia akan menemui
seorang perempuan sebayanya, Martha, sekadar menghabiskan waktu di bagian lain park
itu sambil mengobrol, memberi makan burung-burung dara, mengeluhkan
menantu-menantu, dan berbagi makanan lunch mereka. Bila hari beranjak
petang, mereka akan berpisah dengan sebuah ciuman dan berjanji bertemu lagi
keesokan harinya di tempat yang sama, di bangku yang sama. Kita bisa melihat
betapa mesra dan mengesankan percakapan mereka:
“Kau lambat hari
ini, Charlie.”
“Ya, maaf,
Martha.”
“Burung-burung
resah menunggumu. Tentulah mereka mengira tidak mendapat jagung dan jail hari
ini.”
“Oh, mereka akan
mendapat. Aku tidak akan lupa. Sebabnya aku terlambat karena Mary, menantuku.”
“Kenapa dia?”
“Oh, seperti
biasa. Menantu-menantu bukankah selalu mencoba menyabot mertua-mertua mereka
tiap kali ada kesempatan. Apalagi mertua yang sudah tua-tua seperti aku dan
aku. Tidak pernahkah kau disabot menantumu?” (hlm. 61—62)
Demikian pula halnya dengan tokoh Sybil dalam “Sybil”.
Ini cerita tentang beratnya hidup sebagai perempuan single parent yang harus
membesarkan seorang anak perempuan beranjak remaja seperti Sybil, 15 tahun.
Tampaknya Sybil lahir di luar nikah. Hal ini terungkap ketika sang ibu
menghardik:
“Kau minum
Whisky-ku lagi. Aku tahu isinya berkurang semalam. Ayo, mengaku kau, anak har
…!” (hlm. 33)
Sybil sebenarnya menghadapi perkembangan kepribadian yang
gawat. Hal tersebut dusebabkan oleh perasaan tertekan karena ketidakjelasan
siapa bapaknya, suasana rumah di tengah kesulitan ekonomi (ibunya seorang
perokok dan pemabuk yang bekerja sebagai pelayan restoran), dan terutama karena
hubungan ibunya dengan seorang lelaki bernama Harry Robertson. Dalam hidup
penuh tekanan seperti itu, tampaknya sang ibu bukanlah orang tua yang
bijaksana, apa lagi mengerti persoalan psikis seorang gadis beranjak remaja.
Sybil benar-benar kesepian. Lain halnya dengan sang ibu yang punya sedikit obat
pelepas kesumpekan hidup, yaitu percintaannya dengan Harry yang justru
menimbulkan tekanan baru bagi si gadis. Petikan berikut memperlihatkan hal itu:
“Ha, jangan kau
kira aku tidak tahu cerutuku hilang satu. Ayo, siapa?
Chip, Chuck, Jimmy, siapa?”
“Aku.”
“Kau Sybil, Sybil.
Anak perempuan apa kau ini?”
“Tapi aku ingin
selalu mengisap cerutu. Tiap kali Harry ….”
“Mr.
Robertson.”
“Maaf. Tiap kali
Mr. Robertson mengisap cerutu malam-malam sebelum tidur di kamarmu ….”
“He, he, tutup
mulutmu, Setan!”
“Tapi, Mommy,
bukankah dia selalu tidur di kamarmu tiap kali dia kemari?”
“Sudah, sudah. Aku
harus kerja sekarang. Ini satu dolar untuk lunch dan jajanmu.” (hlm. 34)
Cerpen ini juga membawa kita pada persinggungan
sosiologis dan religius. Secara umum dapat dikatakan, pergaulan yang melibatkan
hubungan perkelaminan tanpa ikatan perkawinan antara seorang lelaki dan seorang
perempuan di dalam rumah—dalam bahasa kita, maaf, ‘kumpul kebo’—sangat
bersentuhan langsung dengan keyakinan akan nilai atau norma sosial dan norma
agama. Moral kemasyarakatan kita sampai saat ini relatif tidak atau belum bisa
menerima hubungan semacam itu. Pragmatisme Amerika yang dalam pengertian
tertentu bersubstitusi dengan longgarnya moralitas memandang hubungan seperti
itu sebagai hal yang lumrah, tidak terlalu perlu untuk diperdebatkan lagi, pada
gilirannya menciptakan jarak tertentu dengan nilai-nilai yang kita yakini.
Dengan kata lain, di sini muncul eksotisme terhadap nilai-nilai sosial yang
berkembang di sana.
Tanpa mengabaikan sublimasi karakterisasi tokoh-tokoh
dalam cerpen lainnya, tampak ulasan tentang dua tokoh di atas cukup mewakili
deskripsi karakterisasi enam cerpen berlatar AS dalam kumpulan ini.
D.
Bahasa: Dimensi
Sosiolinguistik
Ulasan tentang pemanfaatan sarana bahasa ini akan
dikhususkan pada pemakaian unsur bahasa Inggris-Amerika (American-English) yang
pada penerimaan saya terasa wajar, alamiah, dan artistik. Pemanfaatan bahasa
ini tidak terkesan sebagai suatu kekenesan artifisial belaka. Keseluruhan enam
cerita yang dibahas memang di sana-sini bertaburan kata, frasa, bahkan kalimat
berbahasa Inggris-Amerika, tetap masih dalam pertimbangan literer yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kecermatan dalam memanfaatkan dimensi sosiolinguistik
terlihat jelas, misalnya, dalam “There Goes Tatum”. Kita lihat kutipan ini:
“Fifty cents,
Mistuh.”
Aku jadi tersenyum
juga melihat cara mengemis yang enak itu.
“Fifty cents,
Bung?”
“Yes, fifty
cents.”
“Bukankah itu agak
lebih tinggi daripada tarif biasa?”
Dia hanya
tersenyum dan tangannya masih terus diulurkan. (hlm. 67)
UK menggunakan kata “mistuh” pada baris pertama kutipan
di atas; bukan “mister”. Lafal “mistuh” ini merupakan contoh tipikal dialek
sosial kalangan orang negro AS. Pemilihan lafal itu saya kira memberikan efek
pada pembangunan realisme cerita.
Pemahaman sosiolinguistik UK juga tercermin dalam kutipan
berikut:
“Jadi Nyonya bukan
orang Jerman atau Austria?”
“Bukan, bukan.
Almarhum suamiku orang Austria. Tapi aku adalah orang Amerika tulen. Nenek
moyangku sudah sejak jaman Mayflower ada di sini.”
“Tapi Nyonya punya
aksen Austria yang tebal betul. Seharusnya think, Nyonya bilang ‘zink’.
Seharusnya are, Nyonya bilang ‘h-h-are’.”
Madam Schiltz
tersenyum. (hlm. 19)
Kutipan di atas bagi saya menggambarkan
kecermatan seorang UK dalam mengimplementasikan pemahaman sosiolinguistik untuk
kepentingan literer.
E.
Penutup
Ada tigaa poin yang pada hemat saya
yang dapat disimpulkan berdasarkan uraian di atas. Pertama, UK secara
mengesankan berhasil memanfaatkan dimensi-dimensi sosiologis-antropologis,
psikologis, dan sosiolinguistik dalam mengoptimalkan pemanfaatan sarana-sarana
literer latar, karakterisasi, dan bahasa. Kedua, pemanfaatan
sarana-sarana itu dirangkai dalam satu jalinan yang kolaboratif dan artistik
dalam bingkai literer-fiksional. Ketiga, keberhasilan mengolaborasikan
sarana-sarana itu berimplikasi pada penciptaan realisme yang memikat tentang
kehidupan sehari-hari orang-orang AS sehingga menimbulkan eksotisme dalam
keseluruhan cerpen-cerpen berlatan AS dalam kumpulan cerpen Seribu
Kunang-kunang di Manhattan. ■
Dimuat dalam 25 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2005 (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
[1] Cetakan II (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 2003). Kumpulan cerpen ini sebelumnya berjudul Sri Sumarah dan
Cerita Pendek Lainnya, diterbitkan oleh Pustaka Jaya (1986) yang merupakan
penggabungan dari dua kumpulan cerpen: Seribu Kunang-kunang di Manhattan
(1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
[2] Produksi Miramax, tanpa keterangan tahun,
sutradara Jordan Brady, skenario oleh Brent Briscoe dan Mark Fauser; dibintangi
oleh Billy Bob Thornton, Charlize Theron, Patrik Swayze, dan Natasha
Richardson.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 cetakan II (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
h. 289.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi
I (Jakarta: Rineka Cipta, 1999) h. 80—81.
[5] Lihat tanggapan Arif Budiman (1967), Faruk
(2002), Korie Layun Rampan (1982), Jakob Sumarjo (1984), dan Ignas Kleden
(1998) dalam B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya (Jakarta:
Grasindo, 2004) h. 16—17.
[6] Empat cerpen lainnya yang tidak dibahas
dalam tulisan ini: “Musim Gugur Kembali di Connecticut”, “Bawuk”, “Kimono Biru
buat Istri” dan “Sri Sumarah”. B. Rahmanto menyayangkan digabungkannya empat
cerpen ini (lihat B. Rahmanto, ibid. h. 14).
[7] Ibid. h. 4 dan 6.
[8] Ibid. h. 5—6. Kumpulan Cerpen Sri Sumarah dan Bawuk
(1976) dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan (versi 1972) tidak
disebutkan di sini karena kemudian disatukan dalam kumpulan cerpen yang dibahas
ini (lihat catatan 1). Selain
itu masih ada antologi From Surabaya to Armagedon (1976) dan Sri
Sumarah and other stories. Keduanya dieditori oleh Harry Aveling; yang
terakhir terbit di Singapura.
[9] Faruk mengategorikan Umar Kayam sebagai
seorang realis yang bukan realisme borjuis dan juga bukan realisme sosialis,
tetapi disebutnya sebagai realisme kultural yang sangat peka dalam menangkap
dan teliti dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia yang bersifat
keseharian. Lihat B.
Rahmanto, ibid. h. 17.
[10]
Ibid. h. 16.
[11]
Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, op. cit. h. 940.
[12]
Dalam Sigmun Freud, Sekelumit
Sejarah Psikoanalisa (Jakarta: Gramedia, 1986) h. 142.