July 18, 2013

Eksotisme Seribu Kunang-kunang di Manhattan

 A.    Eksotisme: Sebentuk Keterpesonaan

Ketika dan setelah membaca kumpulan cerpen Umar Kayam (selanjutnya: UK) Seribu Kunang-kunang di Manhattan[1]—khususnya enam cerpen berlatar AS—pikiran saya tidak bisa lepas dari film Waking Up in Reno[2] yang sebelumnya saya nikmati melalui media CD. Terasa ada benang merah yang menghubungkan keduanya. Subjektivitas penerimaan saya belakangan dapat menemukan benang merah itu: “pesona eksotis”. Pesona itu bukan pada gemerlap keglamoran yang melumuri kejumudan pada superioritas bangsa AS. Pesona itu memancar dari penggambaran kehidupan sehari-hari yang sederhana, akrab, dan manusiawi.
Saya selalu percaya, membaca karya sastra adalah proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif-artistik penulis dengan pemikiran dan imajinasi reseptif pembaca. Apakah pertemuan itu menghasilkan penerimaan yang sejalan atau justru kontradiktif , bukanlah persoalan. Sebab, proses dan hasil pembacaan suatu karya sastra adalah representasi dari suatu kenyataan relatif.
Keterpesonaan saya terhadap Seribu Kunang-kunang di Manhattan yang menimbulkan perasaan eksotisme yang mengakibatkan lompatan atensi ke Waking Up in Reno saya pahami sebagai representasi dari kenyataan relatif yang subjektif dan personal.  Sangat terbuka kemungkinan pembaca lain tidak merasakan eksotisme itu sekalipun ia—seperti saya—tidak pernah terlibat dalam interaksi dengan budaya AS. Hal itu karena adanya subjektivitas dan personalitas itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia[3] mengartikan kata eksotis dan eksotisme dengan redaksi yang sederhana saja. Eksotis ‘memiliki daya tarik yang khas karena belum dikenal umum’. Eksotisme ‘paham yang menonjolkan keeksotisan atau keistimewaan’. Dalam pemahaman saya, eksotisme adalah sebuah kata yang maknanya mendua, yakni dapat dilihat dari dua sudut: objek dan penerima objek. Dari sudut objek, eksotisme mengandung makna ‘pesona’; dari sudut penerima objek, ‘keterpesonaan’. Dengan mempertimbangkan dua sudut itu, eksotisme dalam tulisan ini dibatasi sebagai ‘pesona atau sebentuk keterpesonaan sebagai akibat membentangnya jarak yang jauh antara persepsi yang dibangun oleh kompleksitas pengetahuan dan pengalaman seseorang dengan pancaran citra sutau objek’. Objek yang dimaksudkan di sini merujuk kepada segala sesuatu yang dihasilkan oleh alam dan kebudayaan dalam arti luas yang mencakupi tujuh unsur universal kebudayaan yang disarankan oleh Koentjaraningrat, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian[4].
Dalam kasus saya, eksotisme kehidupan sehari-hari orang AS—dalam hal ini orang As di kawasan Manhattan—seperti yang tergambar di dalam Seribu Kunang-kunang di Manhattan dan Waking Up in Reno, tetap tinggal sebagai sebuah keterpesonaan yang disekat oleh kesadaran tentang adanya jarak kultural sebagai konsekuensi dari dua hal: (1) menginternalnya kompleksitas budaya sendiri ke dalam keseluruhan personalitas dan (2) keterbatasan pengetahuan dan pengalaman tentang kompleksitas budaya lokal AS.
Pertanyaannya adalah bagaimana UK memanfaatkan sarana-sarana literer-fiksional sehingga Seribu Kunang-kunang di Manhattan tampil demikian eksotis dalam penerimaan saya, dengan catatan bahwa struktur tematik dan struktur alur enam cerpen berlatar AS dalam kumpulan itu tidak terlalu mengesankan[5]. Pertanyaan inilah yang saya jadikan frame dalam meriwayatkan keterpesonaan saya setelah membaca cerpen-cerpen itu melalui tulisan ini. Enam cerpen tersebut adalah (1) “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, (2) “Istriku, Madame Schiltz, dan Sang Raksasa”, (3) “Sybil”, (4) “Secangkir Kopi dan Sepotong Donat”, (5) “Chief Sitting Bull”, dan (6) “There Goes Tatum”.[6] Sebagai ancangan awal, saya mengajukan asumsi bahwa paling tidak ada tiga sarana yang secara efektif dan kolaboratif  berhasil dimanfaatkan oleh Umar Kayam, yaitu (1) latar, (2) karakterisasi, dan (3) bahasa.

B.    Latar: Dimensi Sosiologis-Antropologis

Sebagai budayawan terkemuka, pengetahuan dan pemahaman budaya UK tidak perlu dipertanyakan lagi. Disertasinya “Aspects of Depertemental Coordination Problems in Indonesia Community Development” (1965) dan esai-esai budayanya dalam Seni, Tradisi, dan Masyarakat (1981), The Soul of Indonesia, A Cultural Journey—diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia  sebagai Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985)—, Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih (1998), dan Satrio Piningit in Kampung Pingit (2000)[7] telah cukup memberi gambaran tentang itu. Belum lagi rona-rona budaya yang termanifestasikan dalam karya-karya fiksinya, yaitu Totok dan Toni (1975), Para Priyayi (1992), Parta Krama (1997), Jalan Menikung: Para Priyayi 2 (1999), dan tentu saja kumpulan cerpen yang dibahas ini[8]. Persoalannya sekarang adalah bagaimana UK melibatkan pengetahuan dan pemahaman sosiologis-antropologisnya itu secara fiksional ke dalam cerpen-cerpennya.
Dalam cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” , khazanah dan pemahaman sosiologis-antropologis disisipkan secara halus. Petikan berikut ini memperlihatkan kemampuan UK dalam memperkaya cerita dengan detail yang walaupun kecil, remeh, tetapi memberikan nuansa yang justru efektif memperkuat realisme[9] cerita:

“Eh, maukah kau membikinkan aku segelas … ah, kau tak pernah bisa bikin martini.  Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….” (hlm. 2)

Berbeda dengan yang tergambar pada petikan di atas, yang berikut ini memperlihatkan kekayaan pengetahuan antropologis UK:

“Marno, Manisku.”

“Ya, Jane.”

“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”

“Ya, aku pernah mendengar orang eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”

“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”

“Kenapa?”

“Sebab, seee-bab, aku tak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.” (hlm. 3).

Cerpen “Istriku, Madame Schiltz, dan Sang Raksasa” juga dipenuhi dengan pemanfaatan dimensi seperti itu. Yang perlu digarisbawahi di sini, ada semacam hubungan eksotisme yang resiprokal. Rasa ingin tahu sang istri distimulasi oleh pesona eksotis Madame Schiltz. Di pihak lain, Madam Schiltz terjebak oleh eksotisme Timur yang dalam pikirannya dimiliki oleh keluarga Kayyam. Bayang-bayang pesona eksotisme Timur—Barat dipertemukan di sini. Petikan berikut barangkali dapat mengilustrasikan resiprokalitas itu. Yang ini dari Madame Schiltz:
 “Ini kamar yang sangat menarik. Aku segera bisa mencium dunia Timur di kamar ini. Mmmmm, bau setanggi, kelinting terdengar alon-alon, ting-ting-ting. Lalu aku lihat sebuah gapura besar dengan pintu dari kayu yang besar-besar juga, tertutup rapat-rapat. Pa da pintu kayu yang lebar itu ada jendela yang kecil saja, hanya cukup untuk menampakkan dua belah mata. Lalu, ‘klik’ jendela itu terbuka dan apa yang terlihat? Sepasang mata tampak untuk beberepa detik saja. Sudah itu ‘klik’ jendela besi itu tertutup lagi. Tapi mata itu, oh, belum pernah aku melihat mata yang begitu aneh, sipit tapi juga begitu cantik. Oh, dunia Timur yang penuh misteri ….” (hlm 17—18).

Dan ini memperlihatkan keeksotisan Madame Schiltz yang ditangkap oleh sang istri:
“Jadi Nyonya bukan orang Jerman atau Austria?”

“Bukan, bukan. Almarhum suamiku orang Austria. Tapi aku adalah orang Amerika tulen. Nenek moyangku sudah sejak jaman Mayflower ada di sini.”

“Tapi Nyonya punya aksen Austria yang tebal betul. Seharusnya think, Nyonya bilang ‘zink’. Seharusnya are, Nyonya bilang ‘h-h-are’.”

Madame Schiltz tersenyum. (hlm. 19)

Adegan Jim dalam “Secangkir Kopi dan Sepotong Donat” juga bernuansa sosiologis-antroplogis. Bahkan keseluruhan cerpen ini pada hemat saya bernuansa sosiologis-antropologis. Tetapi, amat menarik adegan Jim dalam cerpen ini, terutama bagian ocehan Jim berikut ini.
“Peggy, Tuan-tuan. Hari ini, hari penting. Pedang ‘lah kutarik. Dan syiir, aku putuskan tali kelaziman yang mengekang kemajuan zaman. Tahukan kenapa Amerika makin merosot sebagai negara besar? Karena rakyatnya tidak tahu lagi menjawab kenapa minum kopi pada waktu ‘jam ngopi’. Tidak tahu kenapa orang Cuma bisa beli hot dog dan hamburger sejak dari Bowery sampai Upper-Bronx. Orang-orang mengunyah hot dog karena orang di kirinya mengunyah hot dog. Orang memamah hamburger karena orang di kanannya memamah hamburger. Beo, Peggy, beo! Monyet, Tuan-tuan, di mana-mana monyet! Tapi hari ini pedang ‘leh kutarik. Good bye hot dog, farewell hamburger! Aku mau makan codsteak atau halibut buat makan siangku, meskipun hari ini hari Senin. Aku, aku, aku, a-a-a-a…ku, oh, oh ….” (hlm. 51).

Jim menangis. Lalu pergi dari kafe setelah menitip pesan kepada temannya bahwa ia tidak akan masuk kantor lagi hari itu. Tidak seorang pun tahu mengapa lelaki periang itu tiba-tiba menangis. Tetapi, kepergiannya segara saja melepaskan kafe itu dari suasana muram. Kafe hidup kembali, termasuk komunikasi media tisu antara Peggy dan pacarnya. Adegan Jim dalam pemahaman saya adalah eksotis. Bukanlah suasana yang lazim keseharian kita adegan teatrikal seperti yang diperlihatkan Jim.
C.    Karakterisasi: Dimensi Psikologis
Menarik untuk dicermati pendapat Arif Budiman tentang cerpen-cerpen UK “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, “Chief Sitting Bull”, “Sybil”, dan “Istriku, Madame Schiltz, dan Sang Raksasa” dalam majalah Horison, Maret 1967. Arif sampai pada simpulan bahwa cerita-cerita UK tidak menampilkan gerak fisik atau kontroversi-kontroversi yang membagi “daerah sini” dan “daerah sana”. Cerita-ceritanya lebih merupakan undangan untuk menghayati suatu suasana manusia. Tidak ada tokoh-tokoh ceritanya yang dijagokan (protagonis) atau dibanditkan (semacam tokoh antagonis). Semua tokoh dibiarkan hidup dalam dunianya sendiri-sendiri dan UK mencintainya dengan kemesraan yang sama. Tidak dujumpai pemaksaan suatu konsepsi; cerita-cerita UK benar-benar merupakan “seni meniru alam”[10].
Saya ingin menggarisbawahi pernyataan Arif: “Cerita-ceritanya lebih merupakan undangan untuk menghayati suatu suasana manusia”. Saya ingin menambahkan bahwa undangan itu disampaikan dengan cara yang amat simpatik. Siapa yang tega mengabaikan undangan seperti itu?
Dalam “Chief Sitting Bull” undangan untuk menghayati suasana kejiwaan tokoh Charlie—seorang lelaki renta yang sudah mulai pikun—demikian memikat. Karakterisasi tokoh Charlie—dan juga tokoh Martha—membawa pikiran saya pada suatu fenomena psikologis yang disebut regresi, yakni proses berbalik pada tahap perkembangan perilaku sebelumnya yang dialami orang karena prustasi[11] yang melibatkan sebentuk gejala infantilisme yang oleh Bertens[12] diartikan sebagai adanya pola kelakuan kekanak-kanakan pada orang yang telah dewasa.
Cerita dibuka dengan adegan yang memikat. Charlie yang kesepian di usia senja setiap pagi melewatkan waktu dengan menunggang kuda-kudaan putih di carousel Central Park. Tetapi, pagi itu dia terlambat. Kuda putih kesayangannya telah diambil oleh Tommy, seorang anak kecil. Charlie segera saja merayu anak itu agar menyerahkan kuda putihnya, dan menggantikannya dengan kuda merah.
“Howdy, Bill.”

Anak itu agak terkejut disapa seorang kakek.

“Namaku bukan Bill.”

“Tetapi bukankah kau Buffalo Bill? Bill Cody?”

Si anak tertawa.

“Ya, ya, betul. Aku Buffalo Bill. Dan kau siapa?”

“Aku Sitting Bull.”

“Chief Sitting Bull?” (hlm.58)

Sebuah awal yang baik bagi Charlie. Tetapi, Tommy tidak mau begitu saja menyerahkan kuda putihnya ketika Charlie mulai memintanya. Kakek itu tidak mau menyerah. Ia terus mengejar Tommy dengan memanipulasi cerita Buffalo Bill untuk kepentingannya.
“Ayolah, Buffalo Bill naik kuda merah mengejar Sitting Bull yang naik kuda putih. Kalau nanti lonceng berbunyi aku akan mulai dengan wu-wu-wu-wu-wu begini dan kau, Bill, akan mulai menembak aku dari belakang tam-tam-tam-tam.”

“Tapi Buffalo Bill tidak pernah mau menembak dari belakang.”

“Siapa bilang? Melawan Indian dia harus menembak dari belakang. Bukankah Indian selalu lari tiap ketemu Buffalo Bill? Dan Buffalo Bill bukankah harus mengejar dan menembak dia? Ayolah! Sebentar lagi lonceng berbunyi, ‘tu.”

“Baiklah, Chief.” (hlm. 59)                                                        

Apa yang dilakukan Charlie merupakan bentuk regresi ke masa kanak-kanak. Perilaku seperti itu merepresentasikan gejala infantilisme, sekaligus mengantarkan saya pada pemikiran tentang dominasi orang tua terhadap anak. Kapan sih orang tua mau dikalahkan oleh seorang anak?
Regresi Charlie juga bergerak ke arah masa remajanya. Setiap hari, setelah menikmati permainan di carousel, dia akan menemui seorang perempuan sebayanya, Martha, sekadar menghabiskan waktu di bagian lain park itu sambil mengobrol, memberi makan burung-burung dara, mengeluhkan menantu-menantu, dan berbagi makanan lunch mereka. Bila hari beranjak petang, mereka akan berpisah dengan sebuah ciuman dan berjanji bertemu lagi keesokan harinya di tempat yang sama, di bangku yang sama. Kita bisa melihat betapa mesra dan mengesankan percakapan mereka:
“Kau lambat hari ini, Charlie.”

“Ya, maaf, Martha.”

“Burung-burung resah menunggumu. Tentulah mereka mengira tidak mendapat jagung dan jail hari ini.”

“Oh, mereka akan mendapat. Aku tidak akan lupa. Sebabnya aku terlambat karena Mary, menantuku.”

“Kenapa dia?”

“Oh, seperti biasa. Menantu-menantu bukankah selalu mencoba menyabot mertua-mertua mereka tiap kali ada kesempatan. Apalagi mertua yang sudah tua-tua seperti aku dan aku. Tidak pernahkah kau disabot menantumu?” (hlm. 61—62)


Demikian pula halnya dengan tokoh Sybil dalam “Sybil”. Ini cerita tentang beratnya hidup sebagai perempuan single parent yang harus membesarkan seorang anak perempuan beranjak remaja seperti Sybil, 15 tahun. Tampaknya Sybil lahir di luar nikah. Hal ini terungkap ketika sang ibu menghardik:
“Kau minum Whisky-ku lagi. Aku tahu isinya berkurang semalam. Ayo, mengaku kau, anak har …!” (hlm. 33)

Sybil sebenarnya menghadapi perkembangan kepribadian yang gawat. Hal tersebut dusebabkan oleh perasaan tertekan karena ketidakjelasan siapa bapaknya, suasana rumah di tengah kesulitan ekonomi (ibunya seorang perokok dan pemabuk yang bekerja sebagai pelayan restoran), dan terutama karena hubungan ibunya dengan seorang lelaki bernama Harry Robertson. Dalam hidup penuh tekanan seperti itu, tampaknya sang ibu bukanlah orang tua yang bijaksana, apa lagi mengerti persoalan psikis seorang gadis beranjak remaja. Sybil benar-benar kesepian. Lain halnya dengan sang ibu yang punya sedikit obat pelepas kesumpekan hidup, yaitu percintaannya dengan Harry yang justru menimbulkan tekanan baru bagi si gadis. Petikan berikut memperlihatkan hal itu:
“Ha, jangan kau kira aku tidak tahu cerutuku hilang satu. Ayo, siapa? Chip, Chuck, Jimmy, siapa?”

“Aku.”

“Kau Sybil, Sybil. Anak perempuan apa kau ini?”

“Tapi aku ingin selalu mengisap cerutu. Tiap kali Harry ….”

“Mr. Robertson.”

“Maaf. Tiap kali Mr. Robertson mengisap cerutu malam-malam sebelum tidur di kamarmu ….”

“He, he, tutup mulutmu, Setan!”

“Tapi, Mommy, bukankah dia selalu tidur di kamarmu tiap kali dia kemari?”

“Sudah, sudah. Aku harus kerja sekarang. Ini satu dolar untuk lunch dan jajanmu.” (hlm. 34)

Cerpen ini juga membawa kita pada persinggungan sosiologis dan religius. Secara umum dapat dikatakan, pergaulan yang melibatkan hubungan perkelaminan tanpa ikatan perkawinan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam rumah—dalam bahasa kita, maaf, ‘kumpul kebo’—sangat bersentuhan langsung dengan keyakinan akan nilai atau norma sosial dan norma agama. Moral kemasyarakatan kita sampai saat ini relatif tidak atau belum bisa menerima hubungan semacam itu. Pragmatisme Amerika yang dalam pengertian tertentu bersubstitusi dengan longgarnya moralitas memandang hubungan seperti itu sebagai hal yang lumrah, tidak terlalu perlu untuk diperdebatkan lagi, pada gilirannya menciptakan jarak tertentu dengan nilai-nilai yang kita yakini. Dengan kata lain, di sini muncul eksotisme terhadap nilai-nilai sosial yang berkembang di sana.
Tanpa mengabaikan sublimasi karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerpen lainnya, tampak ulasan tentang dua tokoh di atas cukup mewakili deskripsi karakterisasi enam cerpen berlatar AS dalam kumpulan ini.
D.   Bahasa: Dimensi Sosiolinguistik

Ulasan tentang pemanfaatan sarana bahasa ini akan dikhususkan pada pemakaian unsur bahasa Inggris-Amerika (American-English) yang pada penerimaan saya terasa wajar, alamiah, dan artistik. Pemanfaatan bahasa ini tidak terkesan sebagai suatu kekenesan artifisial belaka. Keseluruhan enam cerita yang dibahas memang di sana-sini bertaburan kata, frasa, bahkan kalimat berbahasa Inggris-Amerika, tetap masih dalam pertimbangan literer yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kecermatan dalam memanfaatkan dimensi sosiolinguistik terlihat jelas, misalnya, dalam “There Goes Tatum”. Kita lihat kutipan ini:
“Fifty cents, Mistuh.”

Aku jadi tersenyum juga melihat cara mengemis yang enak itu.

“Fifty cents, Bung?”

“Yes, fifty cents.”

“Bukankah itu agak lebih tinggi daripada tarif biasa?”

Dia hanya tersenyum dan tangannya masih terus diulurkan. (hlm. 67)

UK menggunakan kata “mistuh” pada baris pertama kutipan di atas; bukan “mister”. Lafal “mistuh” ini merupakan contoh tipikal dialek sosial kalangan orang negro AS. Pemilihan lafal itu saya kira memberikan efek pada pembangunan realisme cerita.
Pemahaman sosiolinguistik UK juga tercermin dalam kutipan berikut:
“Jadi Nyonya bukan orang Jerman atau Austria?”

“Bukan, bukan. Almarhum suamiku orang Austria. Tapi aku adalah orang Amerika tulen. Nenek moyangku sudah sejak jaman Mayflower ada di sini.”

“Tapi Nyonya punya aksen Austria yang tebal betul. Seharusnya think, Nyonya bilang ‘zink’. Seharusnya are, Nyonya bilang ‘h-h-are’.”

Madam Schiltz tersenyum. (hlm. 19)

Kutipan di atas bagi saya menggambarkan kecermatan seorang UK dalam mengimplementasikan pemahaman sosiolinguistik untuk kepentingan literer.

E.    Penutup

Ada tigaa poin yang pada hemat saya yang dapat disimpulkan berdasarkan uraian di atas. Pertama, UK secara mengesankan berhasil memanfaatkan dimensi-dimensi sosiologis-antropologis, psikologis, dan sosiolinguistik dalam mengoptimalkan pemanfaatan sarana-sarana literer latar, karakterisasi, dan bahasa. Kedua, pemanfaatan sarana-sarana itu dirangkai dalam satu jalinan yang kolaboratif dan artistik dalam bingkai literer-fiksional. Ketiga, keberhasilan mengolaborasikan sarana-sarana itu berimplikasi pada penciptaan realisme yang memikat tentang kehidupan sehari-hari orang-orang AS sehingga menimbulkan eksotisme dalam keseluruhan cerpen-cerpen berlatan AS dalam kumpulan cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan.


Dimuat dalam 25 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2005 (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).





[1] Cetakan II (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003). Kumpulan cerpen ini sebelumnya berjudul Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya, diterbitkan oleh Pustaka Jaya (1986) yang merupakan penggabungan dari dua kumpulan cerpen: Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).

[2] Produksi Miramax, tanpa keterangan tahun, sutradara Jordan Brady, skenario oleh Brent Briscoe dan Mark Fauser; dibintangi oleh Billy Bob Thornton, Charlize Theron, Patrik Swayze, dan Natasha Richardson.

[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 cetakan II (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) h. 289.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I (Jakarta: Rineka Cipta, 1999) h. 80—81.

[5] Lihat tanggapan Arif Budiman (1967), Faruk (2002), Korie Layun Rampan (1982), Jakob Sumarjo (1984), dan Ignas Kleden (1998) dalam B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya (Jakarta: Grasindo, 2004) h. 16—17.

[6] Empat cerpen lainnya yang tidak dibahas dalam tulisan ini: “Musim Gugur Kembali di Connecticut”, “Bawuk”, “Kimono Biru buat Istri” dan “Sri Sumarah”. B. Rahmanto menyayangkan digabungkannya empat cerpen ini (lihat B. Rahmanto, ibid. h. 14).
[7] Ibid. h. 4 dan 6.

[8] Ibid. h. 5—6. Kumpulan Cerpen Sri Sumarah dan Bawuk (1976) dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan (versi 1972) tidak disebutkan di sini karena kemudian disatukan dalam kumpulan cerpen yang dibahas ini (lihat catatan 1). Selain itu masih ada antologi From Surabaya to Armagedon (1976) dan Sri Sumarah and other stories. Keduanya dieditori oleh Harry Aveling; yang terakhir terbit di Singapura.

[9] Faruk mengategorikan Umar Kayam sebagai seorang realis yang bukan realisme borjuis dan juga bukan realisme sosialis, tetapi disebutnya sebagai realisme kultural yang sangat peka dalam menangkap dan teliti dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia yang bersifat keseharian. Lihat B. Rahmanto, ibid. h. 17.
[10] Ibid. h. 16.
[11] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit. h. 940.
[12] Dalam Sigmun Freud, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa (Jakarta: Gramedia, 1986) h. 142.

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...