April 10, 2014

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto

Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan pemikiran dan imajinasi reseptif pembaca. Pertemuan itu hampir selalu menghasilkan representasi dari suatu kenyataan relatif. Nh. Dini, misalnya, menemukan suasana yang akrab meski tidak selalu sepakat ketika membaca dan kemudian menerjemahkan novel La Feste karya Albert Camus. Tetapi, siapa bisa menjamin orang lain akan menemukan suasana yang sama?
Membaca karya sastra adalah pengalaman subjektif dan personal. Proses dan hasil pembacaan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman dan keseluruhan personalitas pembaca. Oleh karena itu, sangat wajar apabila sebuah novel, misalnya, dipahami dan disikapi begini oleh seseorang tetapi begitu oleh orang lain.
Kalau saya menemukan suasana konfrontatif ketika membaca novel Ziarah karya Iwan Simatupang, itu tidak terlepas dari bagaimana pengalaman dan keseluruhan personalitas saya bermain dalam proses pembacaan itu. Kemudian, kalaupun saya menemukan titik perhatian yang justru bagi pembaca lain tidak menarik atau tidak penting; atau sebaliknya saya tidak tertarik pada suatu bagian yang justru bagi pembaca lain menarik dan penting, itu pun bagian dari relativitas dalam proses resepsi atas karya sastra. Walaupun tetap ada benang merah yang mungkin dipahami atau disikapi secara sama, tetapi hampir selalu tidak mungkin ada semacam blue print yang dapat dijadikan referensi.
Berangkat dari perspektif di atas tulisan ini saya maksudkan untuk sekadar mengungkapkan kembali pergulatan yang sala alami ketika membaca dan meresepsi novel Ziarah karya Iwan Simatupang.
Panorama Eksistensialisme
Ziarah bagi saya adalah novel yang berat dan menguras begitu banyak energi dan waktu. Perlu persiapan yang benar-benar matang sebelum memutuskan untuk membacanya dan untuk terus membacanya. Tekanan yang berat itu terutama disebabkan oleh pekatnya atmosfer pemikiran filsafat yang diusung di dalamnya, terutama filsafat eksistensialisme. Tekanan tersebut diperberat lagi dengan sulitnya memosisikan logika keseharian di hadapan teks yang didominasi oleh absurditas dan keliaran imajinasi pengarang. Tekanan semacam ini mungkin dapat dibandingkan dengan tekanan yang juga dapat dirasakan ketika membaca novel Olenka-nya Budi Darma atau novel-novel Iwan lainnya, terutama Kering dan Merahnya Merah, karya-karya yang juga mengusung kerumitan pemikiran eksistensialisme.
Cecep Syamsul Hari dalam Majalah Sastra Horison edisi Juli 2001 melansir bahwa cara berpikir Iwan memang dipengaruhi oleh pemikiran eksistensialisme, terutama dari Jean Paul Sartre, filsuf kelahiran Perancis yang bukunya L’etre et le neat (Ada dan Ketiadaan) menjadi dokumen penting aliran filsafat eksistensialisme. Informasi ini mungkin dapat dijadikan acuan awal untuk lebih memahami pemikiran Iwan dan karya-karyanya. Pengarang kelahiran Sibolga, 18 Januari 1928 yang bernama lengkap Iwan Martua Dongan Simatupang ini memang produktif melahirkan karya-karyanya yang dianggap beraliran eksistensialisme—suatu aliran filsafat Barat yang memang banyak dia baca dalam pengembaraannya di Eropa awal tahun ’50-an (Hoerip, 1982: 274).
Untuk lebih memahami posisi pemikiran Iwan dalam kerangka eksistensialisme mungkin perlu diuraikan serba sedikit epistemologi filsafat eksistensialisme yang saya rangkum dari berbagai sumber, terutama dari Titus dkk. (1984: 381 et seqq). Informasi dari sumber lain akan diberi notasi pengutipan tersendiri.
Eksistensialisme—dan juga fenomenologi—menyajikan sikap atau pandangan yang menekankan diri kepada eksistensi manusia. Artinya, kualitas-kualitas yang membedakan individu (perorangan) dan tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum. Secara radikal Walter Kaufmann (1956: 12) menyatakan bahwa penolakan mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan, semua itu pokok dari eksistensialisme. Eksistensialisme memandang bahwa masyarakat industri cenderung mendundukkan orang seorang kepada mesin; manusia dalam bahaya menjadi alat, komputer, atau objek. Eksistensialime juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, maupun yang lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke dalam kolektif atau massa.
Soren Kierkegaard (1813—1855), seorang pemikir yang dianggap sebagai pendiri eksistensialisme, pernah mengatakan bahwa usaha untuk menuangkan kenyataan ke dalam suatu sistem, ke dalam kotak-kotak atau kategori-kategori adalah perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu adalah konkret, individual, dan akhirnya manusia konkret itu hanya dapat dimengerti dalam hubungannya yang paling pribadi dengan Tuhan, dalam dialog dengan Tuhan (Hartoko, 1986: 66).
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Filsafat ini menakankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong utama adalah “untuk hidup” dan “untuk diakui” sebagai individu. Jika seorang manusia diakui seperti itu, ia akan memeroleh arti dan makna dalam kehidupan. Junus (1965: 38) menambahkan, eksistensialisme menginginkan manusia bertindak sebagai manusia dengan memberi reaksi terhadap sebagala sesuatu yang berlaku; manusia adalah sesuatu yang dalam bahasa Inggris dinyatakan sebagai being-for-itself.
Reaksi eksistensialistik itu bisa beragam bentuk dan spesifikasinya. Tidak mengherankan kalau Nh. Dini (1985: v) mencatat bahwa pada tahun 1952 dunia sastra diguncang oleh polemik mendidih antara dua raksasa eksistensialisme: Camus dan Sartre. “Aku memberontak, jadi aku ada,” kata Camus yang pada waktu itu berusia 39 tahun. Sartre (47 tahun) berpendapat, “Aku berpikir, jadi aku ada”. Tempat bertanya yang paling baik bagi manusia adalah kesadarannya yang langsung, dan kesadaran tersebut tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam abstraksi. Pemikiran yang abstrak cenderung menjadikan manusia impersonal dan menjauhkannya dari rasa manusia yang konkret dan rasa itu berada dalam situasi manusia.
Kelompok eksistensialisme membedakan eksistensi dari esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjalin dalam ruang dan waktu dan menunjuk kepada “suatu benda yang ada di sini dan sekarang”. Istilah esensi adalah sebalik dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara dua benda dan corak-corak benda yang lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu.
Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Sebaliknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalaman yang subjektif. Eksistensialisme mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman subjektif tentang hidup.
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawa penekanan terhadap pentingnya kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan bukan sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan; kebebasan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kebebasan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia memahaminya. Di atas itu semua, manusia harus menerima tanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang.
Sartre, misalnya, dalam kaitan ini memandang manusia harus bersandar kepada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. kebebasan, menueut Sartre, memberikan rasa kehormatan kepada dirinya dan menyelamatkannya dari “sekadar menjadi objek”.
Eksistensialisme telah dipujikan karena telah menarik perhatian kita kepada beberapa problem masa kini, tentang pengalaman dan eksistensi manusia secara jelas, dan karena telah merasakan adanya kepincangan antara pemikiran dan tindakan. Eksistensialis bertindak benar dan meminta para intelektual untuk mengambil sikap jika muncul persoalan mengenai mati atau hidup. Kita harus mengakui perlunya mengambil keputusan dan bertindak, serta perlunya pemikiran dan analisis.
Akan tetapi, itu tidak berarti eksistensialisme sepi dari kritik. Kritik utama terhadap filsafat ini adalah bahwa dalam menolak objektivitas ektrem dan palsu yang menjurus untuk mengingkari kualitas-kualitas khusus dari manusia, eksistensialisme tampaknya telah terlalu jauh menunju ke arah yang berlawanan dan menolak objektivitas. dengan begitu maka eksistensialisme telah menganggap kecil pentingnya sains, alam dan dunia di luar diri sendiri, akal dan beberapa pandangan yang berharga dari filsafat-filsafat lain. Lebih jauh para penentang eksistensialisme mengatakan bahwa eksistensialisme hanya dapat memberikan deskripsi yang tidak sepadan kepada pengalaman manusia yang menjadi tujuan mereka yang utama.
Konfrontasi Itu
Iwan adalah satu dari sedikit nama dalam khazanah kesusastraan kita yang telah memberikan sumbangan sangat berarti bagi suatu kecenderungan baru dalam penulisan prosa, dengan bentuk yang padat, mengandung bahasa puitis yang kuat dengan simbol-simbol yang mempresentasikan sebuah dunia surealis dan absurd (Hari, 2001). Ziarah dapat dikatakan sebagai puncak pencapaian estetika Iwan yang mempresentasikan kekuatan imajinasi yang begitu kaya dengan kesegaran ekspresi dan improvisasi. Akan tetapi, karya seperti ini selalu memberikan risiko yang tidak ringan bagi pembacanya ketika ia meresepsinya. Salah satu kemungkinan risiko itu adalah timbulnya semacam konfrontasi yang mengharuskan pembaca berada pada posisi frontal di hadapan teks. Dan inilah yang saya alami, tetapi sekaligus saya nikmati.
Suasana konfrontatif  bahkan sudah mulai terasa pada ketika saya membaca bagian-bagian awal teks Ziarah. Ini sesuatu yang saya anggap sebagai pressure yang mengejutkan karena sebelumnya tidak ada persiapan ke arah itu. Iwan, misalnya, menggambarkan apa yang dialami “tokoh kita”—demikian ia menyebut tokoh utama cerita—sebagai berikut.
Sudah berapa lama dia tidak ziarah? Belum pernah. Istrinya mati, kata orang. Telah terkubur, kata orang. Tapi, dia sendiri tidak mau melihat istrinya yang sudah mayat itu. Dia, suami si mayat, tak tampak. Dia lari tunggang langgang ke kakilima jalan raya, dan bersama khalayak ramai menonton iring-iringan mayat istrinya lewat dari situ. (hlm. 1—2)
Pertanyaannya bagi saya: sudah atau dalam proses menjadi gilakah lelaki itu? Ya, gila dalam pengertian skizofrenia! Tidak ada jawaban yang memastikannya dari Iwan. Saya dibuatnya terlunta-lunta dalam ketidakpastian. Ini menenggelamkan saya kepada pemikiran apakah lelaki itu termasuk ke dalam jenis manusia yang digambarkan oleh Hari (2001) sebagai “karakter yang asing, ‘hilang’, misterius, tersesat dalam rimba labirin filosofis dan/atau terasing dari realitas kehidupan”. Maka berlangsunglah konfrontasi awal yang berakhir deadlock tetapi dengan satu harapan jawabannya akan ditemukan dalam proses pembacaan lebih lanjut.
Keliaran Iwan dalam melukiskan “tokoh kita” ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada bagian-bagian berikutnya ia melukiskan tokoh tersebut dengan keliaran yang semakin menjadi-jadi. Misalnya ini:
Ketika istrinya belum mati, kata orang dan ini dibenarkan oleh kritikus-kritikus terkemuka, dia seorang pelukis berbakat sekali dan mempunyai masa depan yang baik. Tapi, begitu istrinya selesai dikubur, seluruh lukisannya dan alat lukisnya dilempar dalam laut. Kepada para kritikus yang tercengang ia berkata mereka selama ini salah semuanya, sebab sesungguhnya ia tidak punya bakat, apalagi masa depan baik. Sejak itu dia menjadi semacam buruh freelance. Itu pun ia hanya sedia kerja paling banyak lima jam berturut-turut sehari, tak lebih (…) Kerja apa saja yang diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang orang tuanya perlu bepergian, membersihkan pekarangan rumah, menjadi kacung bola tenis, dan seterusnya. (hlm. 5—6)
Lalu, apakah maksud Iwan dengan menggambarkan tingkah laku tokoh “opseter pekuburan” yang terobsesi untuk menikmati siksaan yang dialami “tokoh kita” yang begitu fobia untuk berdekatan dengan makam istrinya, sehingga opseter itu memutuskan untuk memberikan order mengapur tembok-tembok pekuburan yang belum waktunya dikapur dan dengan biaya sendiri? Iwan hanya mengatakan: “Demi kenikmatan yang belum pernah dirasakannya selama ini, dan yang kini benar-benar ingin dirasakannya”.
Apakah itu disebabkan oleh semacam trauma psikologis masa lalu yang direpresi oleh alam bawah-sadarnya sehingga ia memerlukan momentum pelepasan? Ataukah ini semacam infantilisme? (Bertens dalam glosarium buku Sigmund Freud (1986: 142) Sekelumit Sejarah Psikoanalisa mendefinisikan infantilisme sebagai adanya pola-pola kelakuan kekanak-kanakan pada orang yang telah dewasa.) Lagi-lagi Iwan bungkam.
Kebungkaman seperti ini bagi saya justru memperuncing konfrontasi subjektif saya di hadapan teks Ziarah. Konfrontasi semacam ini kemudian membawa saya pada pikiran jangan-jangan Iwan memang sengaja menyediakan jebakan untuk pembaca agar si pembaca itu tergiring pada ketidakpastian yang nantinya di akhir cerita Iwan membuat manuver yang akan memperdayai pembaca tersebut.
Kebungkaman seperti itu membuat saya bertanya-tanya mengapa setelah penolakan yang histeris, tiba-tiba saja ”tokoh kita” menyatakan kesediaannya menerima orderan itu. Apakah telah terjadi semacam stream of conciousness dalam waktu sesingkat itu?
Ziarah adalah novel yang pekat dengan absurditas. Itu mesti diakui. Meskipun demikian, tetap masih ada frame yang membingkai pertangungjawaban pengarang kepada pembaca atas absurditas itu. Ini disadari betul oleh Iwan. Itu terbukti dari uraian Iwan pada bagian menjelang akhir cerita yang mengungkapkan alasan mengapa ”tokoh kita” menerima tawaran itu, yaitu bahwa ia telah tahu segalanya: tentang kebencian opseter kepalanya yang membenci yang membenci pekuburan sebagai tempat umat manusia memboroskan sentimen dan harta bendanya; tentang itikad buruk opseter yang terobsesi untuk membalas dendam dengan cara menyaksikan penderitaannya dipaksa dekat dengan kuburan istrinya. Keputusan itu juga didukung oleh pandangannya bahwa:
Yang di dalam tanah itu bukanlah istri saya lagi. Sedikit pun dia tak punya sangkut-paut apa-apa dengan saya, dengan orang yang dulu jadi istri saya. Istri saya telah mati, kata orang. Ini saya terima sejauh mati berarti tak-ada, tiada. Yang sendiri berarti ada. Yaitu adanya tiada itu. (hlm. 136)
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa benar ”tokoh kita” telah mengalami stream of conciousness dalam waktu yang sekelebat itu. Fanatisme kita kepada logika mungkin tidak bisa menerima arus kesadaran bisa berlangsung secepat itu. Tetapi, dalam hal ini saya bisa berkompromi karena bahkan dalam kehidupan keseharian pun bisa saja terjadi seseorang mengalami semacam kilasan kesadaran intuitif yang spontan yang justru kemudian disadari telah menyelamatkannya dari situasi yang kritis. Secara psikologis ini mungkin dapat disebut sebagai gejala kompulsif, yaitu fenomena yang berkenaan dengan pikiran-pikiran atau perbuatan-perbuatan yang karena suatu paksaan tak sadar harus orang pikirkan atau lakukan di luar kemampuannya (Bertens dalam Freud, 1986: 143).
Konfrontasi berikutnya—dalam fokus yang berbeda—timbul akibat keputusan pengarang yang memosisikan dirinya di luar dilematika dan perbenturan pikiran dan sikap dari tokoh-tokoh cerita. Iwan dengan cerdik sekali bersikap netral dan membiarkan tokoh-tokohnya menggulati kerumitan pikiran sendiri, dan menggulati kerumitan konflik-konfliknya dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga kesannya Iwan bersih dari tendensi untuk menintervensi pemikiran dan sikap tokoh-tokoh tersebut. Bagi saya ini adalah salah satu keistimewaan Iwan, sekaligus merupakan tantangan yang mau tidak mau menghadapkan saya kepada medan konfrontasi baru yang celakanya kembali menguras energi. Kutipan berikut merepresentasikan netralitas Iwan yang saya maksud di atas.
....
              - Yang saya minta dari saudara adalah jenis kepatuhan yang tercantum dalam undang-undang dasar negara kita. Kepatuhan yang diminta tiap pemimpin dari tiap warganya.
              - Tetapi undang-undang dasar itu juga menjamin hak saya mengetahui alasan-alasan mengapa saya diminta patuh. Dalam hal ini: mengetahui mengapa saya dinonaktifkan dari jabatan saya.
              - Itu telah saya simpulkan tadi dengan ”demi kesejahteraan umum”. Seperti tiap gagasan lainnya. Ini tidak harus diperinci lagi.
              - Alasannya?
              - Dia berhenti jadi gagasan.
              - Apakah keadikaraan dari gagasan ini tidak justru menindas kesejahteraan saya?
              - Diri saudara, berikut seluruh persoalan saudara, sudah tercakup dalam apa yang saya sebut sebagai ”umum” tadi.
              - Tapi bagaimana dengan pikiran, perasaan dan pengalaman pribadi saya?
              - ”Umum” adalah lebih besar dari pribadi, dari sekian pribadi.
              - Apa bukan sebaliknya, Pak Walikota yang terhormat? Apa yang mudah kita cap sebagai ”umum” itu adalah, dan hanyalah, terdiri dari pribadi-pribadi, yakni manusia-manusia, warga-warga bebas.
(hlm. 17—18)
Perbantahan argumentatif ini berlangsung antara tokoh opseter dan walikota pada saat sang walikota mengantarkan sendiri (!) resolusi pemecatan opseter dari tugasnya dan penghentian pengecatan tembok-tembok pekuburan. Percakapan itu tidak berhenti sampai di situ. Walikota menemukan momentum yang tepat untuk melumpuhkan opseter dengan berpegang pada kata ”bebas” yang diucapkan oleh opseter. Dia memukul balik dengan mengatakan bahwa sang opseter telah ketinggalan zaman dalam mendefinisikan kata ”bebas”. Dia divonisnya telah ketinggalan zaman karena telah terlalu lama bercokol di pekuburan itu. ”Dari segi ini saja, saudara telah seharusnya pergi dari sini. Saudara telah memberikan gambaran tentang diri saudara sebagai manusia prasejarah” (hlm. 18). Demikian hardik walikota.
Opseter terdiam dan dalam hati mengakui kebenaran kata-kata walikota. Tetapi, nanti dulu! Kebenaran tersebut justru membangkitkan keberatan sebagaimana dia juga keberatan terhadap kebenaran-kebenaran lainnya yang dianggap terlalu tandas dan tidak memperhitungkan kebenaran dari jenis subtil, yakni yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Dan demi nuans itulah akhirnya opseter memutuskan untuk membangkang.
Bagaimana peliknya konflik di atas bagi saya memperlihatkan betapa tidak mudahnya menginterpretasikan di mana kedudukan Iwan sesungguhnya. Okelah, kita memperkirakan Iwan dalam posisi netral. Tetapi, pertanyaannya adalah secara ekstrinsik tidakkah iwan mendukung gagasan tertentu sebagai representasi sikapnya terhadap persoalan konkret masyarakat? Jika memang benar Iwan mempunyai tendensi mendukung filsafat eksistensialisme melalui novel Ziarah ini, saya mungkin sampai pada simpulan bahwa Iwan melalui dilematika konflik di atas ingin memperlihatkan bagaimana eksistensialisme memandang kebenaran sebagai suatu hal yang sangat subjektif dan personal, dalam perspektif manusia yang menolak dari ”sekadar menjadi objek”.
Jika benar demikian halnya maka posisi Iwan meski masih samar-samar sudah mulai kelihatan. Iwan mendukung tokoh opseter sebagai protagonis dalam konflik itu. Logikanya, walikota dalam konflik tersebut tampil sebagai birokrat yang membawa misi menegakkan ”kepatuhan” atas kebenaran yang telah distandardisasikan dalam suatu sistem yang bernama undang-undang dasar. Padahal, seperti dikatakan Kierkegaard di depan, ”setiap usaha untuk menuangkan kenyataan dalam suatu sistem ke dalam kotak-kotak atau kategori-kategori adalah perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu adalah konkret, individual”. Tetapi, tafsiran ini tentu saja masih dapat dikonfrontasikan.
Sekarang kita lihat posisi Iwan dalam novel Ziarah secara keseluruhan, dalam arti secara tematis. Junus (1982: 197) menyatakan bahwa Ziarah berhubungan dengan kehidupan sosial-budaya-politik Indonesia yang dikuasai hal-hal irasional. Tema ini bagi saya sangat kontekstual jika dikaitkan dengan kondisi negara kita saat pertama kali novel ini terbit (1969). Bahkan kontekstualitas itu dalam kondisi sekarang pun masih benar-benar terasa.
Kita bisa melihat betapa irasionalnya perilaku dan sepak terjang para politikus dan birokrat yang sadar atau tidak sadar telah mengambil jarak yang begitu jauh dengan kepentingan rakyat dikamuflasekan untuk meraup kepentingan pribadi dan golongan dengan praktik-praktik menyebalkan semacam korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), money politik, atau berbagai bentuk kejahatan kerah-putih (white-color crime). Irasionalitas itu bahkan menerpa kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya dipelintir sesuai keinginan dan tendensi orang yang mengucapkannya.
Dalam dimensi ini pun konfrontasi antara saya dan teks (baca: Iwan) tidak terhindarkan. Bukan pada esensinya, melainkan pada cara Iwan mengungkapkannya. Benarlah apa yang dikatakan Junus (1982: 197—198) tentang cara pengungkapan Iwan:
... ia tak mengucapkannya dalam pernyataan yang jelas. Ia terselubung dalam keseluruhan jaringan yang ada di dalamnya, sehingga tak kan mungkin kalau ia tak dianalisa lebih dulu secara dialektik. Tak ada hubungan langsung satu demi satu (= one to one correspondence) antara satu peristiwa dalam novel itu dengan satu peristiwa di dalam kehidupan nyata.
Keadaan begini terjadi karena Iwan telah mengambil jarak dengan kenyataan yang ingin dilukiskannya. Kenyataan itu tidak dilihat sebagai suatu fenomena an sich, tetapi sebagai realisasi dari suatu konsep filsafat. Bukan main besarnya rasa terima kasih saya kepada Junus atas kutipan di atas. Ia telah menyelamatkan saya dari ketersesatan memosisikan Iwan dalam paradigma tematis itu. Dengan itu pula saya sampai kepada simpulan bahwa pengungkapan Iwan harus dipahami sebagai simbolisasi yang bersifat dialektis. Iwan menggunakan pengungkapan yang irasional untuk menggambarkan kenyataan yang irasional dalam upaya menumbuhkan sikap dan pemahaman rasional pembaca. Hal ini mengingatkan kita kepada silogisme matematis: negatif x negatif = positif.
Karakter Tokoh-Tokoh Ziarah: Estrangement, Emptiness, Solitariness
Absurditas novel Ziarah pada hemat saya adalah keniscayaan bagi Iwan untuk secara leluasa menjelajahi kerumitan pemikiran eksistensialisme. Perangkat instrinsik yang benar-benar efektik dimanfaatkan Iwan untuk kepentingan ini terutama adalah karakterisasi. Iwan seolah-olah meniupkan roh kepada tokoh-tokohnya untuk merepresentasikan sikap dan pemikirannya yang dilatari oleh pemahaman dan penghayatan terhadap filsafat eksistensialisme. Di sinilah letak keistimewaan pengarang yang wafat pada 4 Agustus 1970 ini. Ia berhasil mengambil jarak dengan tokoh-tokohnya secara fiksional walaupun pada hakikatnya mereka adalah hasil—meminjam istilah Hari (2001)—interiorisasi yang intensif dari pengarang.
Tokoh-tokoh dalam Ziarah adalah manusia-manusia yang menurut Hari adalah manusia-manusia yang terlempar ke dalam kegelisahan psikologis, kegelisahan filosofis, dan pergulatan eksistensial tang tak usai-usai dan kerap tak terjawab. Pada gilirannya, mereka gagal menjalin hubungan dengan realitas kehidupan sosial tempat mereka sehari-hari hidup, dan menyebabkan mereka tenggelam dalam keterasingan (estrangement), kehampaan (emptiness), dan kesunyian (solitariness). Lebih jauh, mereka tidak mampu menjawab kemungkinan ultim (kemungkinan terakhir dari kehidupan) mereka sendiri.
Ya, tokoh-tokoh dalam Ziarah adalah manusia-manusia yang terasing, hampa, dan sunyi. Tokoh Opseter, misalnya, adalah manusia yang gelisah di dalam keterasingannya dengan lingkungan sosialnya sehingga ia memilih hidup yang hampa dan sunyi di rumah dinas pekuburan dan mengekalkan hidupnya dalam pilihan selera yang absurd; pilihan yang mengantarkannya kepada keputusan yang tidak kalah absurdnya: bunuh diri! Demikian juga dengan tokoh Walikota. Sebagai walikota berarti ia hidup dalam kapasitas sebagai aparat birokrasi yang menuntut intensitas hubungan sosial yang tinggi dalam menangani persoalan-persoalan masyarakat dan wilayah. Akan tetapi, sebagai individu ia adalah orang yang gelisah dalam keterasingan, kehampaan, dan kesunyian. Ini menimbulkan kegamangan juga, yaitu tatkala ia tidak dapat melepaskan diri dari kegelisahan eksistensial ketika seharusnya bertindak dan mengambil keputusan untuk kepentingan publik. Kasus ini menenggelamkannya ke dalam kegelisahan, dan itu merupakan puncak kegelisahan eksistensialnya sebelum akhirnya ia mati dalam kegelisahan itu.
Lalu bagaimana dengan ”tokoh kita”? Di sini Iwan kembali menantang untuk berkonfrontasi. Melihat ”nasib” yang dialami tokoh Opseter dan Walikota—manusia-manusia dari jenis yang sama dengan ”tokoh kita”—saya memprediksi ia akan ”dimatikan” juga. Tetapi, nyatanya tidak. Di akhir cerita Iwan justru menawarkan harapan seperti tergambar dalam tiga paragraf terakhir novel ini:
Pelukis, bekas pelukis, bekas pengapur, dan yang bakal jadi opseter pekuburan, melambaikan tangannya dari jauh. Matahari tajam-tajam melukis langkah-langkahnya di atas aspal jalan yang mengambangkan uap pagi dari keakanan.
Tiap langkahnya menginjak pekuburan tertentu dari mayat-mayat tertentu di bumi yang bersejarah telah jutaan tahun. Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.
(hlm. 151)
Tiga paragraf terakhir ini bagi saya merupakan pernyataan sikap Iwan bahwa kehidupan—seirasional apa pun itu—tetap masih menyisakan harapan perbaikan. Tetapi, Iwan tetaplah Iwan. Ia tidak pernah sudi menyatakan sikapnya secara eksplisit. Ia tetap menghadirkannya dalam suasana dialektik. Misalnya, apakah memang benar nantinya ”tokoh kita” menjadi opseter pekuburan. Iwan hanya mengatakan ” yang bakal jadi opseter pekuburan”. Belum tentu jadi. Lalu, apakah yang mendasari keputusan ”tokoh kita” untuk melamar pekerjaan menjadi opseter pekuburan? Tampaknya itu merupakan simbolisasi dari sikap Iwan bahwa kehidupan perlu terus ”diziarahi” dengan segala potensi kemanusiaan kita. Bagi saya, pekuburan dalam hal ini adalah simbolisasi yang dipilih Iwan untuk menyatakan ruang sunyi yang memungkinkan kontemplasi berlangsung optimal dan sublim.
Pengakhiran (ending) cerita yang dipilih Iwan sedemikian itu sangat efektif untuk membuka ruang dialektik bagi pembaca untuk menghadirkan sendiri konfrontasi demi konfrontasi pemikiran sehingga pembaca ”dipaksa” merenung dan membalik-balik kembali halaman-halaman novel ini; mengorek-ngorek dimensi pemikiran yang kaya dialektika di dalamnya.
Demikianlah, dengan segala kemampuan dan potensi intelektualitasnya, dengan segala imajinasi kreatifnya, melalui novel ini Iwan menggiring kita untuk berkonfrontasi. Dan, konfrontasi itu adalah konfrontasi yang sangat terbuka bagi penghayatan kita tentang makna hakiki kemanusiaan yang perlu terus-menerus diziarahi. 

Pustaka Rujukan
Camus, Albert. 1985. Sampar, Cet. I. (Alih bahasa oleh Nh. Dini dari La Peste). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Freud, Sigmund. 1986. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. (Alih bahasa oleh K. Bertens). Jakarta: Gramedia.
Hari, Cecep Syamsul. 2001. ”Tentang Endapan Biografis Sang Eksistensialis”. Majalah Sastra Horison, Edisi Juli 2001.
Hartoko, Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra, Cet. II (Rev.). Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1982. ”Karya Sastra sebagai Suatu Renungan” dalam Sejumlah Masalah Sastra (Satyagraha Hoerip [Ed.]). Jakarta: Sinar Harapan.
_____. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.
Simatupang, Iwan. 1983. Ziarah, Cet. III. Jakarta: Djambatan.
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.


Dimuat dalam 23 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2003 (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2004)



Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...