Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang
mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan pemikiran dan
imajinasi reseptif pembaca. Pertemuan itu hampir selalu menghasilkan
representasi dari suatu kenyataan relatif. Nh. Dini, misalnya, menemukan
suasana yang akrab meski tidak selalu sepakat ketika membaca dan kemudian
menerjemahkan novel La Feste karya Albert Camus. Tetapi, siapa bisa menjamin
orang lain akan menemukan suasana yang sama?
Membaca karya sastra adalah pengalaman subjektif dan
personal. Proses dan hasil pembacaan akan sangat dipengaruhi oleh latar
belakang pengalaman dan keseluruhan personalitas pembaca. Oleh karena itu, sangat
wajar apabila sebuah novel, misalnya, dipahami dan disikapi begini oleh
seseorang tetapi begitu oleh orang lain.
Kalau saya menemukan suasana konfrontatif ketika membaca
novel Ziarah karya Iwan Simatupang, itu tidak terlepas dari bagaimana
pengalaman dan keseluruhan personalitas saya bermain dalam proses pembacaan
itu. Kemudian, kalaupun saya menemukan titik perhatian yang justru bagi pembaca
lain tidak menarik atau tidak penting; atau sebaliknya saya tidak tertarik pada
suatu bagian yang justru bagi pembaca lain menarik dan penting, itu pun bagian
dari relativitas dalam proses resepsi atas karya sastra. Walaupun tetap ada
benang merah yang mungkin dipahami atau disikapi secara sama, tetapi hampir
selalu tidak mungkin ada semacam blue print yang dapat dijadikan
referensi.
Berangkat dari perspektif di atas tulisan ini saya
maksudkan untuk sekadar mengungkapkan kembali pergulatan yang sala alami ketika
membaca dan meresepsi novel Ziarah karya Iwan Simatupang.
Panorama Eksistensialisme
Ziarah bagi saya adalah novel yang berat dan menguras begitu
banyak energi dan waktu. Perlu persiapan yang benar-benar matang sebelum
memutuskan untuk membacanya dan untuk terus membacanya. Tekanan yang berat itu
terutama disebabkan oleh pekatnya atmosfer pemikiran filsafat yang diusung di
dalamnya, terutama filsafat eksistensialisme. Tekanan tersebut diperberat lagi
dengan sulitnya memosisikan logika keseharian di hadapan teks yang didominasi
oleh absurditas dan keliaran imajinasi pengarang. Tekanan semacam ini mungkin
dapat dibandingkan dengan tekanan yang juga dapat dirasakan ketika membaca
novel Olenka-nya Budi Darma atau novel-novel Iwan lainnya, terutama Kering
dan Merahnya Merah, karya-karya yang juga mengusung kerumitan
pemikiran eksistensialisme.
Cecep Syamsul Hari dalam Majalah Sastra Horison edisi
Juli 2001 melansir bahwa cara berpikir Iwan memang dipengaruhi oleh pemikiran
eksistensialisme, terutama dari Jean Paul Sartre, filsuf kelahiran Perancis
yang bukunya L’etre et le neat (Ada dan Ketiadaan) menjadi dokumen
penting aliran filsafat eksistensialisme. Informasi ini mungkin dapat dijadikan
acuan awal untuk lebih memahami pemikiran Iwan dan karya-karyanya. Pengarang
kelahiran Sibolga, 18 Januari 1928 yang bernama lengkap Iwan Martua Dongan
Simatupang ini memang produktif melahirkan karya-karyanya yang dianggap
beraliran eksistensialisme—suatu aliran filsafat Barat yang memang banyak dia
baca dalam pengembaraannya di Eropa awal tahun ’50-an (Hoerip, 1982: 274).
Untuk lebih memahami posisi pemikiran Iwan dalam kerangka
eksistensialisme mungkin perlu diuraikan serba sedikit epistemologi filsafat
eksistensialisme yang saya rangkum dari berbagai sumber, terutama dari Titus
dkk. (1984: 381 et seqq). Informasi dari sumber lain akan diberi notasi
pengutipan tersendiri.
Eksistensialisme—dan juga fenomenologi—menyajikan sikap
atau pandangan yang menekankan diri kepada eksistensi manusia. Artinya,
kualitas-kualitas yang membedakan individu (perorangan) dan tidak membicarakan
manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum. Secara
radikal Walter Kaufmann (1956: 12) menyatakan bahwa penolakan mengikuti suatu
aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya
kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat
dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan, semua itu pokok dari
eksistensialisme. Eksistensialisme memandang bahwa masyarakat industri
cenderung mendundukkan orang seorang kepada mesin; manusia dalam bahaya menjadi
alat, komputer, atau objek. Eksistensialime juga merupakan protes terhadap
gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, maupun yang
lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke
dalam kolektif atau massa.
Soren Kierkegaard (1813—1855), seorang pemikir yang
dianggap sebagai pendiri eksistensialisme, pernah mengatakan bahwa usaha untuk
menuangkan kenyataan ke dalam suatu sistem, ke dalam kotak-kotak atau
kategori-kategori adalah perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu
adalah konkret, individual, dan akhirnya manusia konkret itu hanya dapat
dimengerti dalam hubungannya yang paling pribadi dengan Tuhan, dalam dialog
dengan Tuhan (Hartoko, 1986: 66).
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan
dan mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Filsafat ini menakankan keunikan
dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Desakan yang pokok atau pendorong utama adalah “untuk hidup” dan “untuk diakui”
sebagai individu. Jika seorang manusia diakui seperti itu, ia akan memeroleh
arti dan makna dalam kehidupan. Junus (1965: 38) menambahkan, eksistensialisme
menginginkan manusia bertindak sebagai manusia dengan memberi reaksi terhadap
sebagala sesuatu yang berlaku; manusia adalah sesuatu yang dalam bahasa Inggris
dinyatakan sebagai being-for-itself.
Reaksi eksistensialistik itu bisa beragam bentuk dan
spesifikasinya. Tidak mengherankan kalau Nh. Dini (1985: v) mencatat bahwa pada
tahun 1952 dunia sastra diguncang oleh polemik mendidih antara dua raksasa
eksistensialisme: Camus dan Sartre. “Aku memberontak, jadi aku ada,” kata Camus
yang pada waktu itu berusia 39 tahun. Sartre (47 tahun) berpendapat, “Aku
berpikir, jadi aku ada”. Tempat bertanya yang paling baik bagi manusia adalah
kesadarannya yang langsung, dan kesadaran tersebut tidak dapat dimuat dalam
sistem atau dalam abstraksi. Pemikiran yang abstrak cenderung menjadikan
manusia impersonal dan menjauhkannya dari rasa manusia yang konkret dan rasa
itu berada dalam situasi manusia.
Kelompok eksistensialisme membedakan eksistensi
dari esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang
terjalin dalam ruang dan waktu dan menunjuk kepada “suatu benda yang ada di
sini dan sekarang”. Istilah esensi adalah sebalik dari eksistensi,
yakni sesuatu yang membedakan antara dua benda dan corak-corak benda yang
lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya,
atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi
adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat berbicara tentang esensi
secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu.
Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan
impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas
cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Sebaliknya,
eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut
kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas
dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap
usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalaman yang
subjektif. Eksistensialisme mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman
subjektif tentang hidup.
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan
subjektivitas telah membawa penekanan terhadap pentingnya kebebasan dan
tanggung jawab. Kebebasan bukan sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan;
kebebasan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kebebasan
yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia memahaminya. Di atas itu
semua, manusia harus menerima tanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang
telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang.
Sartre, misalnya, dalam kaitan ini memandang manusia
harus bersandar kepada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab
sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. kebebasan, menueut Sartre, memberikan rasa
kehormatan kepada dirinya dan menyelamatkannya dari “sekadar menjadi objek”.
Eksistensialisme telah dipujikan karena telah menarik
perhatian kita kepada beberapa problem masa kini, tentang pengalaman dan
eksistensi manusia secara jelas, dan karena telah merasakan adanya kepincangan
antara pemikiran dan tindakan. Eksistensialis bertindak benar dan meminta para
intelektual untuk mengambil sikap jika muncul persoalan mengenai mati atau
hidup. Kita harus mengakui perlunya mengambil keputusan dan bertindak, serta
perlunya pemikiran dan analisis.
Akan tetapi, itu tidak berarti eksistensialisme sepi dari
kritik. Kritik utama terhadap filsafat ini adalah bahwa dalam menolak
objektivitas ektrem dan palsu yang menjurus untuk mengingkari kualitas-kualitas
khusus dari manusia, eksistensialisme tampaknya telah terlalu jauh menunju ke arah
yang berlawanan dan menolak objektivitas. dengan begitu maka eksistensialisme
telah menganggap kecil pentingnya sains, alam dan dunia di luar diri sendiri,
akal dan beberapa pandangan yang berharga dari filsafat-filsafat lain. Lebih
jauh para penentang eksistensialisme mengatakan bahwa eksistensialisme hanya
dapat memberikan deskripsi yang tidak sepadan kepada pengalaman manusia yang
menjadi tujuan mereka yang utama.
Konfrontasi Itu
Iwan adalah satu dari sedikit nama dalam khazanah kesusastraan
kita yang telah memberikan sumbangan sangat berarti bagi suatu kecenderungan
baru dalam penulisan prosa, dengan bentuk yang padat, mengandung bahasa puitis
yang kuat dengan simbol-simbol yang mempresentasikan sebuah dunia surealis dan
absurd (Hari, 2001). Ziarah dapat dikatakan sebagai puncak pencapaian
estetika Iwan yang mempresentasikan kekuatan imajinasi yang begitu kaya dengan
kesegaran ekspresi dan improvisasi. Akan tetapi, karya seperti ini selalu
memberikan risiko yang tidak ringan bagi pembacanya ketika ia meresepsinya.
Salah satu kemungkinan risiko itu adalah timbulnya semacam konfrontasi yang mengharuskan
pembaca berada pada posisi frontal di hadapan teks. Dan inilah yang saya alami,
tetapi sekaligus saya nikmati.
Suasana konfrontatif
bahkan sudah mulai terasa pada ketika saya membaca bagian-bagian awal
teks Ziarah. Ini sesuatu yang saya anggap sebagai pressure yang
mengejutkan karena sebelumnya tidak ada persiapan ke arah itu. Iwan, misalnya,
menggambarkan apa yang dialami “tokoh kita”—demikian ia menyebut tokoh utama
cerita—sebagai berikut.
Sudah berapa lama
dia tidak ziarah? Belum pernah. Istrinya mati, kata orang. Telah terkubur, kata
orang. Tapi, dia sendiri tidak mau melihat istrinya yang sudah mayat itu. Dia,
suami si mayat, tak tampak. Dia lari tunggang langgang ke kakilima jalan raya,
dan bersama khalayak ramai menonton iring-iringan mayat istrinya lewat dari
situ. (hlm. 1—2)
Pertanyaannya bagi saya: sudah atau dalam proses
menjadi gilakah lelaki itu? Ya, gila dalam pengertian skizofrenia! Tidak
ada jawaban yang memastikannya dari Iwan. Saya dibuatnya terlunta-lunta dalam
ketidakpastian. Ini menenggelamkan saya kepada pemikiran apakah lelaki itu
termasuk ke dalam jenis manusia yang digambarkan oleh Hari (2001) sebagai
“karakter yang asing, ‘hilang’, misterius, tersesat dalam rimba labirin
filosofis dan/atau terasing dari realitas kehidupan”. Maka berlangsunglah
konfrontasi awal yang berakhir deadlock tetapi dengan satu harapan
jawabannya akan ditemukan dalam proses pembacaan lebih lanjut.
Keliaran Iwan dalam melukiskan “tokoh kita” ternyata
tidak berhenti sampai di situ. Pada bagian-bagian berikutnya ia melukiskan
tokoh tersebut dengan keliaran yang semakin menjadi-jadi. Misalnya ini:
Ketika istrinya
belum mati, kata orang dan ini dibenarkan oleh kritikus-kritikus terkemuka, dia
seorang pelukis berbakat sekali dan mempunyai masa depan yang baik. Tapi,
begitu istrinya selesai dikubur, seluruh lukisannya dan alat lukisnya dilempar
dalam laut. Kepada para kritikus yang tercengang ia berkata mereka selama ini
salah semuanya, sebab sesungguhnya ia tidak punya bakat, apalagi masa depan
baik. Sejak itu dia menjadi semacam buruh freelance. Itu pun ia hanya
sedia kerja paling banyak lima jam berturut-turut sehari, tak lebih (…) Kerja
apa saja yang diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang
orang tuanya perlu bepergian, membersihkan pekarangan rumah, menjadi kacung
bola tenis, dan seterusnya. (hlm. 5—6)
Lalu, apakah maksud Iwan dengan menggambarkan tingkah
laku tokoh “opseter pekuburan” yang terobsesi untuk menikmati siksaan yang
dialami “tokoh kita” yang begitu fobia untuk berdekatan dengan makam istrinya,
sehingga opseter itu memutuskan untuk memberikan order mengapur tembok-tembok
pekuburan yang belum waktunya dikapur dan dengan biaya sendiri? Iwan hanya
mengatakan: “Demi kenikmatan yang belum pernah dirasakannya selama ini, dan
yang kini benar-benar ingin dirasakannya”.
Apakah itu disebabkan oleh semacam trauma psikologis masa
lalu yang direpresi oleh alam bawah-sadarnya sehingga ia memerlukan momentum
pelepasan? Ataukah ini semacam infantilisme? (Bertens dalam glosarium
buku Sigmund Freud (1986: 142) Sekelumit Sejarah Psikoanalisa
mendefinisikan infantilisme sebagai adanya pola-pola kelakuan kekanak-kanakan
pada orang yang telah dewasa.) Lagi-lagi Iwan bungkam.
Kebungkaman seperti ini bagi saya justru memperuncing
konfrontasi subjektif saya di hadapan teks Ziarah. Konfrontasi semacam
ini kemudian membawa saya pada pikiran jangan-jangan Iwan memang sengaja
menyediakan jebakan untuk pembaca agar si pembaca itu tergiring pada
ketidakpastian yang nantinya di akhir cerita Iwan membuat manuver yang akan
memperdayai pembaca tersebut.
Kebungkaman seperti itu membuat saya bertanya-tanya
mengapa setelah penolakan yang histeris, tiba-tiba saja ”tokoh kita” menyatakan
kesediaannya menerima orderan itu. Apakah telah terjadi semacam stream of conciousness
dalam waktu sesingkat itu?
Ziarah adalah novel yang pekat dengan absurditas. Itu
mesti diakui. Meskipun demikian, tetap masih ada frame yang membingkai
pertangungjawaban pengarang kepada pembaca atas absurditas itu. Ini disadari
betul oleh Iwan. Itu terbukti dari uraian Iwan pada bagian menjelang akhir
cerita yang mengungkapkan alasan mengapa ”tokoh kita” menerima tawaran itu,
yaitu bahwa ia telah tahu segalanya: tentang kebencian opseter kepalanya yang
membenci yang membenci pekuburan sebagai tempat umat manusia memboroskan
sentimen dan harta bendanya; tentang itikad buruk opseter yang terobsesi untuk
membalas dendam dengan cara menyaksikan penderitaannya dipaksa dekat dengan
kuburan istrinya. Keputusan itu juga didukung oleh pandangannya bahwa:
Yang di dalam tanah
itu bukanlah istri saya lagi. Sedikit pun dia tak punya sangkut-paut apa-apa
dengan saya, dengan orang yang dulu jadi istri saya. Istri saya telah mati,
kata orang. Ini saya terima sejauh mati berarti tak-ada, tiada. Yang
sendiri berarti ada. Yaitu adanya tiada itu. (hlm. 136)
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa benar ”tokoh
kita” telah mengalami stream of conciousness dalam waktu yang sekelebat
itu. Fanatisme kita kepada logika mungkin tidak bisa menerima arus kesadaran
bisa berlangsung secepat itu. Tetapi, dalam hal ini saya bisa berkompromi
karena bahkan dalam kehidupan keseharian pun bisa saja terjadi seseorang
mengalami semacam kilasan kesadaran intuitif yang spontan yang justru kemudian
disadari telah menyelamatkannya dari situasi yang kritis. Secara psikologis ini
mungkin dapat disebut sebagai gejala kompulsif, yaitu fenomena yang
berkenaan dengan pikiran-pikiran atau perbuatan-perbuatan yang karena suatu
paksaan tak sadar harus orang pikirkan atau lakukan di luar kemampuannya
(Bertens dalam Freud, 1986: 143).
Konfrontasi berikutnya—dalam fokus yang berbeda—timbul
akibat keputusan pengarang yang memosisikan dirinya di luar dilematika dan
perbenturan pikiran dan sikap dari tokoh-tokoh cerita. Iwan dengan cerdik
sekali bersikap netral dan membiarkan tokoh-tokohnya menggulati kerumitan
pikiran sendiri, dan menggulati kerumitan konflik-konfliknya dengan tokoh-tokoh
lainnya, sehingga kesannya Iwan bersih dari tendensi untuk menintervensi
pemikiran dan sikap tokoh-tokoh tersebut. Bagi saya ini adalah salah satu
keistimewaan Iwan, sekaligus merupakan tantangan yang mau tidak mau
menghadapkan saya kepada medan konfrontasi baru yang celakanya kembali menguras
energi. Kutipan berikut merepresentasikan netralitas Iwan yang saya maksud di
atas.
....
- Yang saya minta
dari saudara adalah jenis kepatuhan yang tercantum dalam undang-undang dasar
negara kita. Kepatuhan yang diminta tiap pemimpin dari tiap warganya.
- Tetapi
undang-undang dasar itu juga menjamin hak saya mengetahui alasan-alasan mengapa
saya diminta patuh. Dalam hal ini: mengetahui mengapa saya dinonaktifkan dari
jabatan saya.
- Itu telah saya
simpulkan tadi dengan ”demi kesejahteraan umum”. Seperti tiap gagasan lainnya.
Ini tidak harus diperinci lagi.
- Alasannya?
- Dia berhenti jadi
gagasan.
- Apakah keadikaraan
dari gagasan ini tidak justru menindas kesejahteraan saya?
- Diri saudara,
berikut seluruh persoalan saudara, sudah tercakup dalam apa yang saya sebut
sebagai ”umum” tadi.
- Tapi bagaimana
dengan pikiran, perasaan dan pengalaman pribadi saya?
- ”Umum” adalah lebih
besar dari pribadi, dari sekian pribadi.
- Apa bukan
sebaliknya, Pak Walikota yang terhormat? Apa yang mudah kita cap sebagai ”umum”
itu adalah, dan hanyalah, terdiri dari pribadi-pribadi, yakni manusia-manusia,
warga-warga bebas.
(hlm. 17—18)
Perbantahan argumentatif ini berlangsung antara tokoh
opseter dan walikota pada saat sang walikota mengantarkan sendiri (!) resolusi
pemecatan opseter dari tugasnya dan penghentian pengecatan tembok-tembok
pekuburan. Percakapan itu tidak berhenti sampai di situ. Walikota menemukan
momentum yang tepat untuk melumpuhkan opseter dengan berpegang pada kata
”bebas” yang diucapkan oleh opseter. Dia memukul balik dengan mengatakan bahwa
sang opseter telah ketinggalan zaman dalam mendefinisikan kata ”bebas”. Dia
divonisnya telah ketinggalan zaman karena telah terlalu lama bercokol di
pekuburan itu. ”Dari segi ini saja, saudara telah seharusnya pergi dari sini.
Saudara telah memberikan gambaran tentang diri saudara sebagai manusia
prasejarah” (hlm. 18). Demikian hardik walikota.
Opseter terdiam dan dalam hati mengakui kebenaran
kata-kata walikota. Tetapi, nanti dulu! Kebenaran tersebut justru membangkitkan
keberatan sebagaimana dia juga keberatan terhadap kebenaran-kebenaran lainnya
yang dianggap terlalu tandas dan tidak memperhitungkan kebenaran dari jenis
subtil, yakni yang memperhitungkan apa yang disebut nuans. Dan demi
nuans itulah akhirnya opseter memutuskan untuk membangkang.
Bagaimana peliknya konflik di atas bagi saya
memperlihatkan betapa tidak mudahnya menginterpretasikan di mana kedudukan Iwan
sesungguhnya. Okelah, kita memperkirakan Iwan dalam posisi netral.
Tetapi, pertanyaannya adalah secara ekstrinsik tidakkah iwan mendukung gagasan
tertentu sebagai representasi sikapnya terhadap persoalan konkret masyarakat?
Jika memang benar Iwan mempunyai tendensi mendukung filsafat eksistensialisme
melalui novel Ziarah ini, saya mungkin sampai pada simpulan bahwa Iwan melalui
dilematika konflik di atas ingin memperlihatkan bagaimana eksistensialisme
memandang kebenaran sebagai suatu hal yang sangat subjektif dan
personal, dalam perspektif manusia yang menolak dari ”sekadar menjadi objek”.
Jika benar demikian halnya maka posisi Iwan meski masih
samar-samar sudah mulai kelihatan. Iwan mendukung tokoh opseter sebagai
protagonis dalam konflik itu. Logikanya, walikota dalam konflik tersebut tampil
sebagai birokrat yang membawa misi menegakkan ”kepatuhan” atas kebenaran yang
telah distandardisasikan dalam suatu sistem yang bernama undang-undang dasar.
Padahal, seperti dikatakan Kierkegaard di depan, ”setiap usaha untuk menuangkan
kenyataan dalam suatu sistem ke dalam kotak-kotak atau kategori-kategori adalah
perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu adalah konkret, individual”.
Tetapi, tafsiran ini tentu saja masih dapat dikonfrontasikan.
Sekarang kita lihat posisi Iwan dalam novel Ziarah
secara keseluruhan, dalam arti secara tematis. Junus (1982: 197) menyatakan
bahwa Ziarah berhubungan dengan kehidupan sosial-budaya-politik Indonesia yang
dikuasai hal-hal irasional. Tema ini bagi saya sangat kontekstual jika
dikaitkan dengan kondisi negara kita saat pertama kali novel ini terbit (1969).
Bahkan kontekstualitas itu dalam kondisi sekarang pun masih benar-benar terasa.
Kita bisa melihat betapa irasionalnya perilaku dan sepak
terjang para politikus dan birokrat yang sadar atau tidak sadar telah mengambil
jarak yang begitu jauh dengan kepentingan rakyat dikamuflasekan untuk meraup
kepentingan pribadi dan golongan dengan praktik-praktik menyebalkan semacam
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), money politik, atau berbagai
bentuk kejahatan kerah-putih (white-color crime). Irasionalitas itu
bahkan menerpa kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya dipelintir
sesuai keinginan dan tendensi orang yang mengucapkannya.
Dalam dimensi ini pun konfrontasi antara saya dan teks
(baca: Iwan) tidak terhindarkan. Bukan pada esensinya, melainkan pada cara Iwan
mengungkapkannya. Benarlah apa yang dikatakan Junus (1982: 197—198) tentang
cara pengungkapan Iwan:
... ia tak
mengucapkannya dalam pernyataan yang jelas. Ia terselubung dalam keseluruhan
jaringan yang ada di dalamnya, sehingga tak kan mungkin kalau ia tak dianalisa
lebih dulu secara dialektik. Tak ada hubungan langsung satu demi satu (= one
to one correspondence) antara satu peristiwa dalam novel itu dengan satu
peristiwa di dalam kehidupan nyata.
Keadaan begini terjadi karena Iwan telah mengambil jarak
dengan kenyataan yang ingin dilukiskannya. Kenyataan itu tidak dilihat sebagai
suatu fenomena an sich, tetapi sebagai realisasi dari suatu konsep filsafat.
Bukan main besarnya rasa terima kasih saya kepada Junus atas kutipan di atas.
Ia telah menyelamatkan saya dari ketersesatan memosisikan Iwan dalam paradigma
tematis itu. Dengan itu pula saya sampai kepada simpulan bahwa pengungkapan
Iwan harus dipahami sebagai simbolisasi yang bersifat dialektis. Iwan menggunakan
pengungkapan yang irasional untuk menggambarkan kenyataan yang irasional dalam
upaya menumbuhkan sikap dan pemahaman rasional pembaca. Hal ini mengingatkan
kita kepada silogisme matematis: negatif x negatif = positif.
Karakter Tokoh-Tokoh Ziarah: Estrangement, Emptiness,
Solitariness
Absurditas novel Ziarah pada hemat saya adalah
keniscayaan bagi Iwan untuk secara leluasa menjelajahi kerumitan pemikiran
eksistensialisme. Perangkat instrinsik yang benar-benar efektik dimanfaatkan
Iwan untuk kepentingan ini terutama adalah karakterisasi. Iwan seolah-olah
meniupkan roh kepada tokoh-tokohnya untuk merepresentasikan sikap dan
pemikirannya yang dilatari oleh pemahaman dan penghayatan terhadap filsafat
eksistensialisme. Di sinilah letak keistimewaan pengarang yang wafat pada 4
Agustus 1970 ini. Ia berhasil mengambil jarak dengan tokoh-tokohnya secara
fiksional walaupun pada hakikatnya mereka adalah hasil—meminjam istilah Hari
(2001)—interiorisasi yang intensif dari pengarang.
Tokoh-tokoh dalam Ziarah adalah manusia-manusia
yang menurut Hari adalah manusia-manusia yang terlempar ke dalam kegelisahan
psikologis, kegelisahan filosofis, dan pergulatan eksistensial tang tak
usai-usai dan kerap tak terjawab. Pada gilirannya, mereka gagal menjalin
hubungan dengan realitas kehidupan sosial tempat mereka sehari-hari hidup, dan
menyebabkan mereka tenggelam dalam keterasingan (estrangement),
kehampaan (emptiness), dan kesunyian (solitariness). Lebih jauh,
mereka tidak mampu menjawab kemungkinan ultim (kemungkinan terakhir dari
kehidupan) mereka sendiri.
Ya, tokoh-tokoh dalam Ziarah adalah manusia-manusia yang
terasing, hampa, dan sunyi. Tokoh Opseter, misalnya, adalah manusia yang
gelisah di dalam keterasingannya dengan lingkungan sosialnya sehingga ia
memilih hidup yang hampa dan sunyi di rumah dinas pekuburan dan mengekalkan
hidupnya dalam pilihan selera yang absurd; pilihan yang mengantarkannya kepada
keputusan yang tidak kalah absurdnya: bunuh diri! Demikian juga dengan
tokoh Walikota. Sebagai walikota berarti ia hidup dalam kapasitas sebagai
aparat birokrasi yang menuntut intensitas hubungan sosial yang tinggi dalam
menangani persoalan-persoalan masyarakat dan wilayah. Akan tetapi, sebagai
individu ia adalah orang yang gelisah dalam keterasingan, kehampaan, dan
kesunyian. Ini menimbulkan kegamangan juga, yaitu tatkala ia tidak dapat
melepaskan diri dari kegelisahan eksistensial ketika seharusnya bertindak dan
mengambil keputusan untuk kepentingan publik. Kasus ini menenggelamkannya ke
dalam kegelisahan, dan itu merupakan puncak kegelisahan eksistensialnya sebelum
akhirnya ia mati dalam kegelisahan itu.
Lalu bagaimana dengan ”tokoh kita”? Di sini Iwan kembali
menantang untuk berkonfrontasi. Melihat ”nasib” yang dialami tokoh Opseter dan
Walikota—manusia-manusia dari jenis yang sama dengan ”tokoh kita”—saya
memprediksi ia akan ”dimatikan” juga. Tetapi, nyatanya tidak. Di akhir cerita
Iwan justru menawarkan harapan seperti tergambar dalam tiga paragraf terakhir novel
ini:
Pelukis, bekas
pelukis, bekas pengapur, dan yang bakal jadi opseter pekuburan, melambaikan
tangannya dari jauh. Matahari tajam-tajam melukis langkah-langkahnya di atas
aspal jalan yang mengambangkan uap pagi dari keakanan.
Tiap langkahnya menginjak
pekuburan tertentu dari mayat-mayat tertentu di bumi yang bersejarah telah
jutaan tahun. Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya
sendiri.
(hlm. 151)
Tiga paragraf terakhir ini bagi saya merupakan pernyataan
sikap Iwan bahwa kehidupan—seirasional apa pun itu—tetap masih menyisakan
harapan perbaikan. Tetapi, Iwan tetaplah Iwan. Ia tidak pernah sudi menyatakan
sikapnya secara eksplisit. Ia tetap menghadirkannya dalam suasana dialektik.
Misalnya, apakah memang benar nantinya ”tokoh kita” menjadi opseter pekuburan.
Iwan hanya mengatakan ” yang bakal jadi opseter pekuburan”. Belum tentu jadi.
Lalu, apakah yang mendasari keputusan ”tokoh kita” untuk melamar pekerjaan
menjadi opseter pekuburan? Tampaknya itu merupakan simbolisasi dari sikap Iwan
bahwa kehidupan perlu terus ”diziarahi” dengan segala potensi kemanusiaan kita.
Bagi saya, pekuburan dalam hal ini adalah simbolisasi yang dipilih Iwan untuk
menyatakan ruang sunyi yang memungkinkan kontemplasi berlangsung optimal dan sublim.
Pengakhiran (ending) cerita yang dipilih Iwan
sedemikian itu sangat efektif untuk membuka ruang dialektik bagi pembaca untuk
menghadirkan sendiri konfrontasi demi konfrontasi pemikiran sehingga pembaca
”dipaksa” merenung dan membalik-balik kembali halaman-halaman novel ini;
mengorek-ngorek dimensi pemikiran yang kaya dialektika di dalamnya.
Demikianlah, dengan segala kemampuan dan potensi
intelektualitasnya, dengan segala imajinasi kreatifnya, melalui novel ini Iwan
menggiring kita untuk berkonfrontasi. Dan, konfrontasi itu adalah konfrontasi
yang sangat terbuka bagi penghayatan kita tentang makna hakiki kemanusiaan yang
perlu terus-menerus diziarahi. ∎
Pustaka Rujukan
Camus,
Albert. 1985. Sampar, Cet. I. (Alih bahasa oleh Nh. Dini dari La Peste).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Freud,
Sigmund. 1986. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. (Alih bahasa oleh K.
Bertens). Jakarta: Gramedia.
Hari, Cecep
Syamsul. 2001. ”Tentang Endapan Biografis Sang Eksistensialis”. Majalah
Sastra Horison, Edisi Juli 2001.
Hartoko,
Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Hoerip,
Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra, Cet. II (Rev.). Jakarta: Sinar
Harapan.
Junus, Umar.
1982. ”Karya Sastra sebagai Suatu Renungan” dalam Sejumlah Masalah Sastra
(Satyagraha Hoerip [Ed.]). Jakarta: Sinar Harapan.
_____. 1985.
Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.
Simatupang,
Iwan. 1983. Ziarah, Cet. III. Jakarta: Djambatan.
Titus,
Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan
Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in
Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.
Dimuat dalam 23 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2003
(Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra
Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen
Pendidikan Nasional, 2004)