March 23, 2014

Filsafat dan Kebenaran

Pengertian Filsafat
Secara etimologis, kata ”filsafat” berasal dari kata dalam bahasa Yunani philia atau philein yang berarti ’cinta’ atau ’mencintai’, dan sophos yang berarti ”kearifan” atau ”kebijaksanaan”. Kata ini juga bisa dirunut secara etimologis ke bahasa Inggris: phylosophy yang dibentuk dari kata philos dan shopia yang berarti ’mencintai kebijaksanaan’.

Prof. Dr. Belferik Manullang
Menurut Prof. Dr. Belferik Manullang (selanjutnya disingkat: BM), filsafat dapat dibatasi sebagai pengetahuan tentang hakikat ilmu pengetahuan, atau sari, inti, esensi segala sesuatu untuk menemukan kebenaran hakiki. Lebih lanjut dikatakan BM bahwa filsafat merupakan regina sientrum (ratu segala ilmu) yang mencakup alam semesta dengan segala isinya (dunia makrokosmos) sampai kepada hal-hal kecil yang melibatkan proses mental manusia (dunia mikrokosmos), bahkan juga mencakup berbagai persoalan dan pemikiran praktis sampai kepada hal-hal pemikiran yang bersifat jenius. Batasan ini mengimplikasikan sejumlah dimensi yang cakupannya luas, komprehensif, dan sekaligus esensial tentang filsafat, termasuk di dalamnya hakikat kebenaran. Dimensi hakikat kebenaran inilah yang menjadi pokok persoalan yang dikembangkan secara mendalam dan menarik oleh BM dalam pembicaraannya. Fokus pada dimensi ini pulalah yang direfleksikan penulis dalam artikel sederhana yang lebih merupakan refleksi pribadi atas keterpesonaan ketika mengikuti pembicaraan BM.
Hakikat Kebenaran
Bagaimanakah pandangan filsafat tentang kebenaran? Kebenaran adalah sikap persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide-ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti apa adanya. Akan tetapi, karena kita tidak selalu dapat membandingkan pertimbangan kita dengan situasi yang sebenarnya, maka kita uji pertimbangan tersebut dengan konsistensinya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap salah dan benar, atau kita uji dengan faedahnya dan akibat-akibatnya yang praktis[2]. Definisi dan uraian Titus, Smith, dan Nolan ini amat relevan dengan realitas bahwa kecenderungan manusia mengkonstruksi pemahaman tentang kebenaran dengan pendekatan mekanistik—suatu pendekatan yang tidak dianjurkan dan justru menurut BM idealnya pendekatan vitalistiklah yang dipilih untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran yang hakiki.
BM menggambarkan alur pendekatan mekanistik sebagai berikut. Pertama, realita memperlihatkan kecenderungan manusia masa kini pada umumnya mendekati kebenaran dengan mengonstruksi kebenaran itu dalam fase ilmiah-praktis. Inilah yang menjadi akar segala ketidakselarasan kehidupan manusia modern. Dengan persepsi semacam ini kebenaran hanya tampak dalam wujudnya yang empiris, bersandar hanya kepada akal sehat (logika), sehingga parameter kebenaran adalah ”benar karena biasa” sebab itulah yang menjadi persepsi umum atau common sense di lingkungan masyarakat. Menggejalanya praktik-praktik korupsi, demikian dicontohkan BM, antara lain disebabkan oleh implikasi cara pandang ilmiah-praktis ini.
Pada fase kedua, manusia mendekati kebenaran dari perspektif ilmiah-teoretis. Kebenaran didekati tidak hanya sebatas mengandalkan logika empiris yang bersandar kepasa common sense, tetapi sudah menggunakan perspektif rasional-objektif; pemahaman atas fenomena empiris telah disistematisasi dengan metodologi yang analitis; dan melalui proses bernalar yang verifikatif dengan pengujian-pengujian yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian, jika manusia mempersepsikan kebenaran hanya sebatas fase ini, maka kualitas hidup manusia belum sampai pada taraf yang diharapkan. Kebenaran yang ditemukan hanya menjadi kebenaran yang ”kering”, kebenaran yang belum menyentuh esensi.
Pada fase ketiga adalah fase ilmiah-esensi. Di wilayah fase inilah filsafat berada. Pada fase ini manusia telah mendekati kebenaran secara suprarasional dan intuitif; dilandasi oleh pemahaman yang mendasar dan menyeluruh (holistik) tentang esensi dari fenomena-fenomena empiris yang telah dirasionalisasi pada fase kedua. Pada fase ini pula manusia telah mampu mempersepsikan fenomena dengan memosisikan secara benar relasi-relasi di antara premis mayor dan premis minor. Bahwa premis minor harus setia kepada premis mayor telah menginternalisasi dalam proses berpikir manusia dalam mengkonstruksi kebenaran. Sebagai ilustrasi, perspektif manusia telah mampu menguji kebenaran premis-premis yang ada di dalam analogi ini:
Kalau Tuhan Mahakuasa, maka Ia kuasa membuat batu yang mahabesar, sehingga Ia tidak kuasa mengangkat batu tersebut.
Analogi ini, jika dipahami tanpa memperhitungkan esensi relasi premis mayor dan premis minornya, akan menghasilkan pemahaman yang berisiko menyesatkan. Oleh sebab itu, kata BM, redaksi makna kalimat di atas harus ditelusuri dengan pemahaman sebagai berikut: (1) Tuhan Mahakuasa (premis mayor); (2) Ia kuasa membuat batu yang mahabesar (premis minor); (3) Ia tidak kuasa mengangkat batu tersebut (premis minor). Premis (2) dapat diterima karena setia dengan premis (1) sebagai premis mayor, sedangkat premis (3) yang juga sebagai premis minor tidak dapat diterima karena tidak setia dengan premis (1).
  Pada fase keempat, kebenaran sudah merupakan sesuatu yang absolut karena datang dari Causa Prima, yaitu kebenaran Tuhan. Pada akhirnya, manusia pada hakikatnya harus ”menyerah” dan menuju kepada kebenaran itu. Ini adalah kebenaran yang bukan domain manusia.
BM menegaskan bahwa semestinya dalam mencari kebenaran manusia memulai langkahnya dengan menggunakan pendekatan vitalistik:
Causa Prima — ilmiah-esensi — ilmiah teoretis — ilmiah praktis
bukan sebaliknya:
ilmiah praktis — ilmiah teoretis — ilmiah-esensi — Causa Prima.
Dengan pendekatan vitalistik, manusia mendekati kebenaran dengan landasan utama kebenaran paling hakiki, yaitu kebenaran Tuhan. Tugas filsafat yang paling berat pada hakikatnya adalah mengharmoniskan segala kekacauan yang terjadi pada kehidupan akibat implikasi pendekatan mekanis, dan mengembalikannya kepada pendekatan vitalistik.
Karakteristik Berfilsafat
Dalam berfilsafat, kita semestinya menggunakan akal-budi untuk menangkap dan memaknai segala fenomena yang ada secara holistik, mendasar, dan spekulatif untuk sampai kepada kebenaran yang esensial. Pemaknaan secara holistik berarti fenomena itu harus dipandang sebagai sesuatu yang menyeluruh; sebagai sebuah sistem yang komponen-komponennya saling berkaitan, saling memengaruhi, dan saling mengisi dalam suatu tatanan yang selaras dan harmonis. Kita harus menghindari pemahaman yang bersifat parsial.
Secara mendasar dapat diartikan bahwa ketika berfilsafat, kita hatus memahami fenomena sampai ke dasar terdalam dari esensi yang ada pada fenomena itu. Kita harus berpikir secara radikal, sampai ke akar-akarnya, sampai ke inti dari esensi. Kebenaran yang esensial mungkin sekali tertanam jauh di ceruk terdalam dari sebuah fenomena. Ketika berfilsafat, kita harus menjelajah sampai ke ceruk terdalam itu.
Spekulatif dapat diartikan bahwa dalam berfilsafat kita harus berpikir secara berani dalam mencari kemungkinan-kemungkinan baru tentang kebenaran yang mungkin tidak terpikirkan atau terbayangkan sebelumnya. Kemungkinan-kemungkinan baru itu mungkin sekali tampak sebagai sesuatu yang kontroversial tetapi mungkin pula kemungkinan-kemungkinan yang kontroversial itu pada akhirnya teruji sebagai suatu kebenaran yang hakiki. Sejarah mencatat, misalnya, ketika Nicolaus Copernicus mengemukakan gagasan heliosentrismenya bahwa pusat tata surya adalah matahari, bukan bumi, dunia—terutama kalangan Gereja Romawi—menganggap itu gagasan kontroversial yang membahayakan kemapaman pemahaman dogmatis bahwa bumi adalah pusat tata surya (geosentrisme). Gagasan heliosentrisme ini bahkan membawa Galileo Galilei yang berhasil membuktikan kebenaran Copernicus kepada kematiannya di tiang gantung. Akan tetapi, sejarah mencatat pula bahwa Copernicus dan Galilei-lah yang benar. Kedua pemikir hebat ini membuktikan keberaniannya untuk berspekulasi dalam mencari kebenaran.
Tentu saja harus ditegaskan di sini bahwa sikap spekulatif itu mutlak harus dilandasi oleh metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan melalui pengujian-pengujian yang sistematis dan bersandar kepada bukti-bukti yang kuat. Proses pencarian kebenaran seperti ini mengantarkan kita kepada dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah hakikat di balik alam nyata ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi pancaindra kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme), ataukah terdiri dari unsur yang banyak (pluralisme).[3] Dalam bahasa BM, filsafat ontologi berusaha membawa manusia untuk berpikir dengan benar (think rightly) tentang sederet pertanyaan seperti: objek apa yang ditelaah; bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut; bagaimana korelasi antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang menghasilkan ilmu. Ontologi adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidangnya.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia[4]. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan kebenaran[5]. BM melihat epistemologilogi sebagai filsafat yang mempertanyakan bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu; bagaimana prosedur dan mekanismenya; hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar; apa yang disebut kebenaran itu sendiri; apa kriterianya; cara, teknik, dan sarana apa yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu. Epistemologi berusaha membawa manusia bertindak dengan benar (act rightly) dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan.
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan apakah yang baik atau bagus itu. Dalam definisi lain, aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia.[6] Dalam bahasa BM, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan; bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral; bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral; bagaimana korelasi antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral. Aksioologi berusaha membawa manusia hidup dengan benar (act rightly) dalam memaknai kebenaran ilmu pengetahuan.
Demikianlah, filsafat adalah jalan yang dapat ditempuh oleh manusia dalam mendekati kebenaran. Perlu ditegaskan kembali di sini pandangan BM yang inspiratif bahwa filsafat memiliki tugas yang berat untuk mengharmoniskan segala fenomena yang menjadi tidak teratur dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari sikap dan cara memandang kehidupan yang terlalu bersandar kepada common sense manusia. Filsafat berusaha membawa kita untuk secara kritis terus mempertanyakan segala fenomena kehidupan, termasuk mempertanyakan diri kita sendiri, karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri, ”Berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui”[7]

Medan, 15 Desember 2013





[1] Artikel ini merupakan hasil refleksi penulis terhadap kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan oleh Prof. Dr. Belferik Manullang, 12 Desember 2013 pada Program Studi Administrasi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan.
[2] Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, terjemahan H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy, ed. VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 245.
[3] Prof. Dr. H. Jalaluddin dan Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed., Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, ed. 1—2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 77.
[4] Salam (1988: 9); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid.
[5] Muhammad Noor Syam (1986: 32); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid. h. 78.
[6] Muhammad Noor Syam (1986: 32); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, cet. XX (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) h. 20.

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...