Pengertian Filsafat
Secara
etimologis, kata ”filsafat” berasal dari kata dalam bahasa Yunani philia
atau philein yang berarti ’cinta’ atau ’mencintai’, dan sophos
yang berarti ”kearifan” atau ”kebijaksanaan”. Kata ini juga bisa dirunut secara
etimologis ke bahasa Inggris: phylosophy yang dibentuk dari kata philos
dan shopia yang berarti ’mencintai kebijaksanaan’.
Prof. Dr. Belferik Manullang |
Hakikat Kebenaran
Bagaimanakah
pandangan filsafat tentang kebenaran? Kebenaran adalah sikap persesuaian
yang setia dari pertimbangan dan ide-ide kita kepada fakta pengalaman atau
kepada alam seperti apa adanya. Akan tetapi, karena kita tidak selalu dapat
membandingkan pertimbangan kita dengan situasi yang sebenarnya, maka kita uji
pertimbangan tersebut dengan konsistensinya dengan pertimbangan-pertimbangan
lain yang kita anggap salah dan benar, atau kita uji dengan faedahnya dan
akibat-akibatnya yang praktis[2].
Definisi dan uraian Titus, Smith, dan Nolan ini amat relevan dengan realitas
bahwa kecenderungan manusia mengkonstruksi pemahaman tentang kebenaran dengan
pendekatan mekanistik—suatu pendekatan yang tidak dianjurkan dan justru menurut
BM idealnya pendekatan vitalistiklah yang dipilih untuk mencapai pemahaman
tentang kebenaran yang hakiki.
BM
menggambarkan alur pendekatan mekanistik sebagai berikut. Pertama, realita
memperlihatkan kecenderungan manusia masa kini pada umumnya mendekati kebenaran
dengan mengonstruksi kebenaran itu dalam fase ilmiah-praktis. Inilah
yang menjadi akar segala ketidakselarasan kehidupan manusia modern. Dengan
persepsi semacam ini kebenaran hanya tampak dalam wujudnya yang empiris,
bersandar hanya kepada akal sehat (logika), sehingga parameter
kebenaran adalah ”benar karena biasa” sebab itulah yang menjadi persepsi
umum atau common sense di lingkungan masyarakat. Menggejalanya
praktik-praktik korupsi, demikian dicontohkan BM, antara lain disebabkan oleh
implikasi cara pandang ilmiah-praktis ini.
Pada fase kedua,
manusia mendekati kebenaran dari perspektif ilmiah-teoretis. Kebenaran
didekati tidak hanya sebatas mengandalkan logika empiris yang bersandar kepasa common
sense, tetapi sudah menggunakan perspektif rasional-objektif;
pemahaman atas fenomena empiris telah disistematisasi dengan metodologi
yang analitis; dan melalui proses bernalar yang verifikatif
dengan pengujian-pengujian yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian,
jika manusia mempersepsikan kebenaran hanya sebatas fase ini, maka kualitas
hidup manusia belum sampai pada taraf yang diharapkan. Kebenaran yang ditemukan
hanya menjadi kebenaran yang ”kering”, kebenaran yang belum menyentuh esensi.
Pada fase ketiga adalah fase ilmiah-esensi.
Di wilayah fase inilah filsafat berada. Pada fase ini manusia telah mendekati
kebenaran secara suprarasional dan intuitif; dilandasi oleh
pemahaman yang mendasar dan menyeluruh (holistik) tentang esensi
dari fenomena-fenomena empiris yang telah dirasionalisasi pada fase kedua. Pada
fase ini pula manusia telah mampu mempersepsikan fenomena dengan memosisikan
secara benar relasi-relasi di antara premis mayor dan premis minor. Bahwa
premis minor harus setia kepada premis mayor telah menginternalisasi dalam
proses berpikir manusia dalam mengkonstruksi kebenaran. Sebagai ilustrasi,
perspektif manusia telah mampu menguji kebenaran premis-premis yang ada di
dalam analogi ini:
Kalau
Tuhan Mahakuasa, maka Ia kuasa membuat batu yang mahabesar, sehingga Ia tidak
kuasa mengangkat batu tersebut.
Analogi
ini, jika dipahami tanpa memperhitungkan esensi relasi premis mayor dan premis
minornya, akan menghasilkan pemahaman yang berisiko menyesatkan. Oleh sebab
itu, kata BM, redaksi makna kalimat di atas harus ditelusuri dengan pemahaman
sebagai berikut: (1) Tuhan Mahakuasa (premis mayor); (2) Ia kuasa
membuat batu yang mahabesar (premis minor); (3) Ia tidak kuasa
mengangkat batu tersebut (premis minor). Premis (2) dapat diterima karena
setia dengan premis (1) sebagai premis mayor, sedangkat premis (3) yang juga
sebagai premis minor tidak dapat diterima karena tidak setia dengan
premis (1).
Pada fase keempat, kebenaran sudah
merupakan sesuatu yang absolut karena datang dari Causa Prima, yaitu
kebenaran Tuhan. Pada akhirnya, manusia pada hakikatnya harus ”menyerah” dan
menuju kepada kebenaran itu. Ini adalah kebenaran yang bukan domain manusia.
BM menegaskan bahwa semestinya dalam
mencari kebenaran manusia memulai langkahnya dengan menggunakan pendekatan
vitalistik:
Causa
Prima — ilmiah-esensi — ilmiah teoretis — ilmiah praktis
bukan sebaliknya:
ilmiah praktis — ilmiah teoretis —
ilmiah-esensi — Causa Prima.
Dengan pendekatan vitalistik, manusia
mendekati kebenaran dengan landasan utama kebenaran paling hakiki, yaitu
kebenaran Tuhan. Tugas filsafat yang paling berat pada hakikatnya adalah
mengharmoniskan segala kekacauan yang terjadi pada kehidupan akibat implikasi
pendekatan mekanis, dan mengembalikannya kepada pendekatan vitalistik.
Karakteristik Berfilsafat
Dalam
berfilsafat, kita semestinya menggunakan akal-budi untuk menangkap dan memaknai
segala fenomena yang ada secara holistik, mendasar, dan spekulatif
untuk sampai kepada kebenaran yang esensial. Pemaknaan secara holistik berarti
fenomena itu harus dipandang sebagai sesuatu yang menyeluruh; sebagai sebuah
sistem yang komponen-komponennya saling berkaitan, saling memengaruhi, dan
saling mengisi dalam suatu tatanan yang selaras dan harmonis. Kita harus
menghindari pemahaman yang bersifat parsial.
Secara
mendasar dapat diartikan bahwa ketika berfilsafat, kita hatus memahami fenomena
sampai ke dasar terdalam dari esensi yang ada pada fenomena itu. Kita harus
berpikir secara radikal, sampai ke akar-akarnya, sampai ke inti dari esensi.
Kebenaran yang esensial mungkin sekali tertanam jauh di ceruk terdalam dari
sebuah fenomena. Ketika berfilsafat, kita harus menjelajah sampai ke ceruk
terdalam itu.
Spekulatif
dapat diartikan bahwa dalam berfilsafat kita harus berpikir secara berani dalam
mencari kemungkinan-kemungkinan baru tentang kebenaran yang mungkin tidak
terpikirkan atau terbayangkan sebelumnya. Kemungkinan-kemungkinan baru itu
mungkin sekali tampak sebagai sesuatu yang kontroversial tetapi mungkin pula
kemungkinan-kemungkinan yang kontroversial itu pada akhirnya teruji sebagai
suatu kebenaran yang hakiki. Sejarah mencatat, misalnya, ketika Nicolaus
Copernicus mengemukakan gagasan heliosentrismenya bahwa pusat tata surya adalah
matahari, bukan bumi, dunia—terutama kalangan Gereja Romawi—menganggap itu
gagasan kontroversial yang membahayakan kemapaman pemahaman dogmatis bahwa bumi
adalah pusat tata surya (geosentrisme). Gagasan heliosentrisme ini bahkan membawa
Galileo Galilei yang berhasil membuktikan kebenaran Copernicus kepada
kematiannya di tiang gantung. Akan tetapi, sejarah mencatat pula bahwa
Copernicus dan Galilei-lah yang benar. Kedua pemikir hebat ini membuktikan
keberaniannya untuk berspekulasi dalam mencari kebenaran.
Tentu saja harus ditegaskan di sini bahwa
sikap spekulatif itu mutlak harus dilandasi oleh metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan melalui pengujian-pengujian yang sistematis dan
bersandar kepada bukti-bukti yang kuat. Proses pencarian kebenaran seperti ini
mengantarkan kita kepada dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ontologi
berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang
sebenarnya, apakah hakikat di balik alam nyata ini. Ontologi menyelidiki
hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi
pancaindra kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah
wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita
berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme), ataukah terdiri dari
unsur yang banyak (pluralisme).[3]
Dalam bahasa BM, filsafat ontologi berusaha membawa manusia untuk berpikir
dengan benar (think rightly) tentang sederet pertanyaan seperti: objek
apa yang ditelaah; bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut; bagaimana
korelasi antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindra) yang menghasilkan ilmu. Ontologi adalah dasar untuk
mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidangnya.
Epistemologi
adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah
pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis
pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil
dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia[4].
Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat
pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan kebenaran[5].
BM melihat epistemologilogi sebagai filsafat yang mempertanyakan bagaimana
proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu;
bagaimana prosedur dan mekanismenya; hal-hal apa yang harus diperhatikan agar
mendapatkan pengetahuan yang benar; apa yang disebut kebenaran itu sendiri; apa
kriterianya; cara, teknik, dan sarana apa yang membantu dalam mendapatkan
pengetahuan berupa ilmu. Epistemologi berusaha membawa manusia bertindak dengan
benar (act rightly) dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan.
Aksiologi
menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan apakah yang baik atau bagus itu.
Dalam definisi lain, aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia.[6]
Dalam bahasa BM, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dipergunakan; bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral; bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral; bagaimana korelasi antara teknik prosedural
yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral. Aksioologi
berusaha membawa manusia hidup dengan benar (act rightly) dalam memaknai
kebenaran ilmu pengetahuan.
Demikianlah,
filsafat adalah jalan yang dapat ditempuh oleh manusia dalam mendekati
kebenaran. Perlu ditegaskan kembali di sini pandangan BM yang inspiratif bahwa filsafat
memiliki tugas yang berat untuk mengharmoniskan segala fenomena yang menjadi
tidak teratur dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari sikap dan cara
memandang kehidupan yang terlalu bersandar kepada common sense manusia.
Filsafat berusaha membawa kita untuk secara kritis terus mempertanyakan segala
fenomena kehidupan, termasuk mempertanyakan diri kita sendiri, karena
sebagaimana yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri, ”Berfilsafat berarti
berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui”[7]
∎
Medan, 15 Desember 2013
[1] Artikel ini
merupakan hasil refleksi penulis terhadap kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan oleh
Prof. Dr. Belferik Manullang, 12 Desember 2013 pada Program Studi Administrasi
Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan.
[2] Harold H. Titus,
Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat,
terjemahan H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy, ed. VII (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) h. 245.
[3] Prof. Dr. H.
Jalaluddin dan Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed., Filsafat Pendidikan:
Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, ed. 1—2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
h. 77.
[4] Salam (1988: 9);
lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid.
[5] Muhammad Noor Syam
(1986: 32); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid. h. 78.