(Satu fragmen dari Bab IX naskah novel Rumah-Rumah Rindu karya Uum G. Karyanto)
Lewat tengah hari pada
siang yang sejuk itu, Arya menatap lekat angka empat yang telah dia lingkari
dengan spidol tinta merah pada boks bulan Maret kalender meja tahun 1999 yang
bertengger di atas meja kerjanya di kantor sekolah yang sepi itu. Dia tersenyum
sendiri mengingat gurau canda Yuniarti saat menyambut kabar rencana
pernikahannya dengan Ajeng. ”Wah, akan banyak anak gadis yang terpatah-patah
hatinya nih, Pak Arya,” cetusnya menggoda lelaki itu. Jam sekolah sudah
berakhir sekitar satu jam yang lalu. Yang lain sudah pulang. Tinggal Jasdi yang
tetap menemaninya. Jasdi sedang menyusun berkas pengajuan pensiun yang akan
ditandatangani Pak Anwar besok. Arya sendiri belum pulang karena malas di rumah
kontrakannya sendirian. Arno dan Iyan belum kembali setelah pulang liburan
Lebaran. Dia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menonton televisi di
kantor. Udin sang penjaga sekolah yang sekarang menempati pondok yang
ditinggalkan oleh Siswoyo telah disuruhnya membeli tiga bungkus nasi untuk
makan siang mereka berdua. Satu bungkus lagi untuk persiapan kalau-kalau Jasdi
masih lama menyelesaikan pekerjaannya. Kalau tidak, biar akan dia berikan
kepada Udin untuk makan malamnya.
Tiba-tiba Jasdi
berdehem.
”Hmmm, bahagia sekali
kelihatannya calon mempelai pria ini.”
Arya tersipu. Dia
tergagap tidak siap dan terbangun dari lamunannya. Dia baru saja menyusun
kata-kata untuk menangkis ”serangan tiba-tiba” dari Jasdi barusan ketika
didengarnya pintu kantor diketuk orang. Desi!
Gadis itu masuk setelah
dipersilakan oleh Jasdi.
”Ada perlu apa, Des, kok
belum pulang?” tanya Jasdi.
”Mmm... tidak ada
apa-apa, Pak. Cuma ... mmm ... anu, Pak, mau menemui Pak Arya, sebentar.”
Sekilas kemudian, Desi menghampiri Arya. Dia berdiri mematung di hadapan lelaki
itu. Kedua pasang jari-jari tangannya saling berjalin di depan dadanya.
”Duduklah, Des! Ada apa,
kira-kira?”
Desi tetap diam
mematung. Kepalanya menggeleng. Pelan dan samar. Arya menjadi jengah.
Jasdi segera membaca
situasi. Lalu berkata, ”Pak Arya, sebaiknya ajak Desi ke ruang TU saja, biar
enak ngobrolnya.”
”Terima kasih, Pak
Jasdi,” jawabnya. ”Ayo Des, kita ke dalam saja.”
Desi segera masuk ke
ruang TU yang memang selalu dibiarkan terbuka itu. Arya menoleh ke arah Jasdi
dan berbisik memintanya untuk tidak pulang dulu.
”Ya, tidak apa-apa. Tapi
sebentar lagi saya harus pulang. Nanti saya suruh si Udin ke sini,” jawab Jasdi
seraya meneruskan pekerjaannya.
Di ruang TU yang dingin
dan sunyi, yang pintunya dibiarkan setengah terbuka, Arya dan Desi duduk
berhadapan di kursi kayu yang dipisahkan sebuah meja. Di atas meja itu
bertengger sebuah mesin tik portabel merek Royal yang sudah tua tetapi terawat
dan masih berfungsi dengan baik. Sesaat sunyi merancapi kedua hati mereka.
”Ada apa sebenarnya,
Des. Dari tadi diam saja.”
Desi tetap diam. Sekilas
Arya melihat ada yang menggenang di kelopak mata gadis yang biasanya ceria itu.
Sesekali didengarnya pula helaan nafas gadis itu.
”Ayo bicara, Des. Nanti
kamu pulang kesorean. Orang tua Desi pasti cemas di rumah.”
Sekali lagi Desi
menghela nafas dengan berat.
”Desi hanya ingin
mengembalikan saputangan Bapak,” desahnya sambil berdiri dan mengulurkan
tangan. Di genggaman tangannya yang gemetar, sebuah saputangan merah hati
terlipat rapi. Itu saputangan Arya yang digunakan untuk menyeka air mata Desi
ketika gadis itu menyambangi rumah kontrakannya sehari sebelum perkemahan di
Air Unji. Berminggu-minggu Desi menyimpan saputangan itu dengan perasaan
bahagia; setiap saat dia mendekapnya di dada; menciuminya dengan penuh rindu
kepada lelaki yang kerap menghiasi mimpi-mimpi remajanya. Dia sebenarnya sangat
berharap Arya memberikan saputangan itu kepadanya. Bahkan, kalau tidak, dia
tetap bermaksud memintanya dari Arya. Bayangan tentang saputangan itu pada
akhirnya menjebol pertahanan perasaannya. Isak tangis Desi akhirnya meledak tak
tertahankan.
Arya menjadi bimbang.
Menjadi gamang. Kelopak matanya pun menjadi panas melihat derai-derai air mata
Desi. Terbersit di dalam pikirannya untuk memberikan saja saputangan itu kepada
Desi. Tetapi kemudian akal sehatnya melarangnya melakukan itu. Dia menyadari,
jika saputangan itu diberikannya, hanya akan mengekalkan duka pada hati Desi;
juga mengekalkan perasaan bersalahnya yang telah memberikan harapan semu kepada
gadis itu, pada naluri lelakinya yang sempat meruap tak terjaga. Aku harus
fokus pada rencana pernikahanku dengan Ajeng, batinnya.
Arya menerima saputangan
itu dengan diam.
”Pak Arya, saya pulang
ya,” teriak Jasdi dari luar.
Arya bergegas keluar
untuk melepas Jasdi, lalu kembali masuk ke ruang TU. Dia melihat Desi tetap
berdiri. Jari-jari tangannya mempermainkan bilah-bilah mesin tik. Demi melihat
Arya masuk lagi, Desi memutar tubuhnya menghadap Arya yang berdiri di depan
pintu. Desi melangkah pelan ke arah Arya; tangannya terlihat mengembang ingin
memeluk tubuh lelaki yang selalu dirindukannya itu. Tetapi, sesaat dia ragu,
kemudian surut ke belakang, duduk kembali di kursi kayu.
Arya pun duduk kembali.
Dia merasa lega karena air mata Desi sudah terlihat surut. Dia menatap Desi
dengan teduh.
”Pak Arya,” desah Desi
dengan pelan.
”Ya.”
”Apa benar Bapak mau
menikah?”
”Benar, Des. Doakan
Bapak ya!”
Desi mengangguk, samar.
Wajahnya sudah terlihat tenang.
”Kapan, Pak?”
”Bulan Maret. Desi
datang ya ke Palembang!”
”Tidak mungkinlah, Pak.
’Kan jauh dari sini.”
”Hmmm...”
”Siapa wanita yang
beruntung itu, Pak?” Ada yang menggeletar dalam suara Desi saat mengatakan
kata-kata itu.
”Namanya Ajeng, adik
tingkat Bapak waktu kuliah dulu.”
”Pasti cantik ya, Pak?”
Getar suara Desi kian terasa.
”Mmm ... kalau tidak
cantik, Bapak tidak akan memilihnya.”
Sunyi sesaat. Desi
terlihat berusaha keras menyusun kata-kata yang akan diucapkannya kemudian.
”Pak Arya.”
”Ya, Des.”
”Desi boleh mengatakan
sesuatu?”
”Ya, kenapa tidak, Des.”
Desi kemudian berdiri.
Perlahan tangannya bergerak meraih jemari tangan Arya. Dan lelaki itu
membiarkannya; membiarkan gadis itu membimbingnya berdiri; membiarkan gadis itu
mencium tangannya; membiarkan punggung tangannya basah oleh air mata Desi yang
kembali mengaliri pipinya.
Semilir angin menyelinap
di sela-sela ventilasi.
”Pak Arya,” desah Desi
di sela-sela isaknya yang lirih.
”Ya.”
”Bolehkah Desi ....”
Kalimat itu menggantung
di bibir Desi.
”Bolehkah apa, Des?”
”Izinkan Desi ...
memeluk Bapak!” pintanya lirih, teramat lirih.
Arya tersenyum haru,
lalu dengan gerak perlahan dia merengkuh kepala gadis itu ke dadanya. Dia
membelai lembut rambut gadis itu. Setiap belaian tangannya menandai pengertian
yang pedih atas perih luka yang diyakininya merongga di hati gadis itu. Dia
tengadah menatap plafon eternit yang putih bersih.
Di antara isak tangisnya
dalam pelukan Arya, Desi mendesah pelan, ”Desi akan berdoa untuk kebahagiaan
Bapak. Desi akan mengenang Bapak sebagai guru terbaik yang pernah Desi kenal.”
Arya tahu, sebenarnya
bukan hanya itu yang ingin diungkapkan Desi. Arya mencoba lebih dalam memaknai
setiap kata yang keluar dari bibir Desi; meresapi setiap kata tak terucapkan
yang jauh lebih bergejolak di hati gadis itu. Mata Desi yang layu, membahasakan
isyarat-isyarat duka yang menggulana dalam haru-biru, yang nyata tertangkap
oleh mata Arya yang meredup sayu. Jauh di lubuk hatinya, Arya mensyukuri
kata-kata Desi yang hanya sebatas itu, tidak merambah pada ungkapan perasaan
sesungguhnya yang pasti akan membuatnya tersungkur jatuh ke kubangan rasa sesal
atas kelalaiannya dalam menjaga kemurnian hakikat kasih sayang seorang guru.
”Dan Bapak akan selalu
mendoakan kesuksesan Desi; terus membimbing Desi agar berhasil menempuh Ebtanas
yang waktunya tidak lama lagi; dan mengenang Desi sebagai murid paling baik
yang Bapak sayangi. Maafkan Bapak ya, Des!” pinta Arya terbata-bata.
Arya merasakan anggukan
Desi di dadanya; anggukan yang lebih dirasakannya sebagai kepasrahan yang pilu.
Perlahan—perlahan sekali—lelaki itu melepaskan pelukan Desi ketika terdengar
kerisik langkah-langkah kaki Udin di teras kantor. ■