April 8, 2014

Saputangan Merah Hati

(Satu fragmen dari Bab IX naskah novel Rumah-Rumah Rindu karya Uum G. Karyanto)
  
Lewat tengah hari pada siang yang sejuk itu, Arya menatap lekat angka empat yang telah dia lingkari dengan spidol tinta merah pada boks bulan Maret kalender meja tahun 1999 yang bertengger di atas meja kerjanya di kantor sekolah yang sepi itu. Dia tersenyum sendiri mengingat gurau canda Yuniarti saat menyambut kabar rencana pernikahannya dengan Ajeng. ”Wah, akan banyak anak gadis yang terpatah-patah hatinya nih, Pak Arya,” cetusnya menggoda lelaki itu. Jam sekolah sudah berakhir sekitar satu jam yang lalu. Yang lain sudah pulang. Tinggal Jasdi yang tetap menemaninya. Jasdi sedang menyusun berkas pengajuan pensiun yang akan ditandatangani Pak Anwar besok. Arya sendiri belum pulang karena malas di rumah kontrakannya sendirian. Arno dan Iyan belum kembali setelah pulang liburan Lebaran. Dia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menonton televisi di kantor. Udin sang penjaga sekolah yang sekarang menempati pondok yang ditinggalkan oleh Siswoyo telah disuruhnya membeli tiga bungkus nasi untuk makan siang mereka berdua. Satu bungkus lagi untuk persiapan kalau-kalau Jasdi masih lama menyelesaikan pekerjaannya. Kalau tidak, biar akan dia berikan kepada Udin untuk makan malamnya.
Tiba-tiba Jasdi berdehem.
”Hmmm, bahagia sekali kelihatannya calon mempelai pria ini.”
Arya tersipu. Dia tergagap tidak siap dan terbangun dari lamunannya. Dia baru saja menyusun kata-kata untuk menangkis ”serangan tiba-tiba” dari Jasdi barusan ketika didengarnya pintu kantor diketuk orang. Desi!
Gadis itu masuk setelah dipersilakan oleh Jasdi.
”Ada perlu apa, Des, kok belum pulang?” tanya Jasdi.
”Mmm... tidak ada apa-apa, Pak. Cuma ... mmm ... anu, Pak, mau menemui Pak Arya, sebentar.” Sekilas kemudian, Desi menghampiri Arya. Dia berdiri mematung di hadapan lelaki itu. Kedua pasang jari-jari tangannya saling berjalin di depan dadanya.
”Duduklah, Des! Ada apa, kira-kira?”
Desi tetap diam mematung. Kepalanya menggeleng. Pelan dan samar. Arya menjadi jengah.
Jasdi segera membaca situasi. Lalu berkata, ”Pak Arya, sebaiknya ajak Desi ke ruang TU saja, biar enak ngobrolnya.”
”Terima kasih, Pak Jasdi,” jawabnya. ”Ayo Des, kita ke dalam saja.”
Desi segera masuk ke ruang TU yang memang selalu dibiarkan terbuka itu. Arya menoleh ke arah Jasdi dan berbisik memintanya untuk tidak pulang dulu.
”Ya, tidak apa-apa. Tapi sebentar lagi saya harus pulang. Nanti saya suruh si Udin ke sini,” jawab Jasdi seraya meneruskan pekerjaannya.
Di ruang TU yang dingin dan sunyi, yang pintunya dibiarkan setengah terbuka, Arya dan Desi duduk berhadapan di kursi kayu yang dipisahkan sebuah meja. Di atas meja itu bertengger sebuah mesin tik portabel merek Royal yang sudah tua tetapi terawat dan masih berfungsi dengan baik. Sesaat sunyi merancapi kedua hati mereka.
”Ada apa sebenarnya, Des. Dari tadi diam saja.”
Desi tetap diam. Sekilas Arya melihat ada yang menggenang di kelopak mata gadis yang biasanya ceria itu. Sesekali didengarnya pula helaan nafas gadis itu.
”Ayo bicara, Des. Nanti kamu pulang kesorean. Orang tua Desi pasti cemas di rumah.”
Sekali lagi Desi menghela nafas dengan berat.
”Desi hanya ingin mengembalikan saputangan Bapak,” desahnya sambil berdiri dan mengulurkan tangan. Di genggaman tangannya yang gemetar, sebuah saputangan merah hati terlipat rapi. Itu saputangan Arya yang digunakan untuk menyeka air mata Desi ketika gadis itu menyambangi rumah kontrakannya sehari sebelum perkemahan di Air Unji. Berminggu-minggu Desi menyimpan saputangan itu dengan perasaan bahagia; setiap saat dia mendekapnya di dada; menciuminya dengan penuh rindu kepada lelaki yang kerap menghiasi mimpi-mimpi remajanya. Dia sebenarnya sangat berharap Arya memberikan saputangan itu kepadanya. Bahkan, kalau tidak, dia tetap bermaksud memintanya dari Arya. Bayangan tentang saputangan itu pada akhirnya menjebol pertahanan perasaannya. Isak tangis Desi akhirnya meledak tak tertahankan.
Arya menjadi bimbang. Menjadi gamang. Kelopak matanya pun menjadi panas melihat derai-derai air mata Desi. Terbersit di dalam pikirannya untuk memberikan saja saputangan itu kepada Desi. Tetapi kemudian akal sehatnya melarangnya melakukan itu. Dia menyadari, jika saputangan itu diberikannya, hanya akan mengekalkan duka pada hati Desi; juga mengekalkan perasaan bersalahnya yang telah memberikan harapan semu kepada gadis itu, pada naluri lelakinya yang sempat meruap tak terjaga. Aku harus fokus pada rencana pernikahanku dengan Ajeng, batinnya.
Arya menerima saputangan itu dengan diam.
”Pak Arya, saya pulang ya,” teriak Jasdi dari luar.
Arya bergegas keluar untuk melepas Jasdi, lalu kembali masuk ke ruang TU. Dia melihat Desi tetap berdiri. Jari-jari tangannya mempermainkan bilah-bilah mesin tik. Demi melihat Arya masuk lagi, Desi memutar tubuhnya menghadap Arya yang berdiri di depan pintu. Desi melangkah pelan ke arah Arya; tangannya terlihat mengembang ingin memeluk tubuh lelaki yang selalu dirindukannya itu. Tetapi, sesaat dia ragu, kemudian surut ke belakang, duduk kembali di kursi kayu.
Arya pun duduk kembali. Dia merasa lega karena air mata Desi sudah terlihat surut. Dia menatap Desi dengan teduh.
”Pak Arya,” desah Desi dengan pelan.
”Ya.”
”Apa benar Bapak mau menikah?”
”Benar, Des. Doakan Bapak ya!”
Desi mengangguk, samar. Wajahnya sudah terlihat tenang.
”Kapan, Pak?”
”Bulan Maret. Desi datang ya ke Palembang!”
”Tidak mungkinlah, Pak. ’Kan jauh dari sini.”
”Hmmm...”
”Siapa wanita yang beruntung itu, Pak?” Ada yang menggeletar dalam suara Desi saat mengatakan kata-kata itu.
”Namanya Ajeng, adik tingkat Bapak waktu kuliah dulu.”
”Pasti cantik ya, Pak?” Getar suara Desi kian terasa.
”Mmm ... kalau tidak cantik, Bapak tidak akan memilihnya.”
Sunyi sesaat. Desi terlihat berusaha keras menyusun kata-kata yang akan diucapkannya kemudian.
”Pak Arya.”
”Ya, Des.”
”Desi boleh mengatakan sesuatu?”
”Ya, kenapa tidak, Des.”
Desi kemudian berdiri. Perlahan tangannya bergerak meraih jemari tangan Arya. Dan lelaki itu membiarkannya; membiarkan gadis itu membimbingnya berdiri; membiarkan gadis itu mencium tangannya; membiarkan punggung tangannya basah oleh air mata Desi yang kembali mengaliri pipinya.
Semilir angin menyelinap di sela-sela ventilasi.
”Pak Arya,” desah Desi di sela-sela isaknya yang lirih.
”Ya.”
”Bolehkah Desi ....”
Kalimat itu menggantung di bibir Desi.
”Bolehkah apa, Des?”
”Izinkan Desi ... memeluk Bapak!” pintanya lirih, teramat lirih.
Arya tersenyum haru, lalu dengan gerak perlahan dia merengkuh kepala gadis itu ke dadanya. Dia membelai lembut rambut gadis itu. Setiap belaian tangannya menandai pengertian yang pedih atas perih luka yang diyakininya merongga di hati gadis itu. Dia tengadah menatap plafon eternit yang putih bersih.
Di antara isak tangisnya dalam pelukan Arya, Desi mendesah pelan, ”Desi akan berdoa untuk kebahagiaan Bapak. Desi akan mengenang Bapak sebagai guru terbaik yang pernah Desi kenal.”
Arya tahu, sebenarnya bukan hanya itu yang ingin diungkapkan Desi. Arya mencoba lebih dalam memaknai setiap kata yang keluar dari bibir Desi; meresapi setiap kata tak terucapkan yang jauh lebih bergejolak di hati gadis itu. Mata Desi yang layu, membahasakan isyarat-isyarat duka yang menggulana dalam haru-biru, yang nyata tertangkap oleh mata Arya yang meredup sayu. Jauh di lubuk hatinya, Arya mensyukuri kata-kata Desi yang hanya sebatas itu, tidak merambah pada ungkapan perasaan sesungguhnya yang pasti akan membuatnya tersungkur jatuh ke kubangan rasa sesal atas kelalaiannya dalam menjaga kemurnian hakikat kasih sayang seorang guru.
”Dan Bapak akan selalu mendoakan kesuksesan Desi; terus membimbing Desi agar berhasil menempuh Ebtanas yang waktunya tidak lama lagi; dan mengenang Desi sebagai murid paling baik yang Bapak sayangi. Maafkan Bapak ya, Des!” pinta Arya terbata-bata.
Arya merasakan anggukan Desi di dadanya; anggukan yang lebih dirasakannya sebagai kepasrahan yang pilu. Perlahan—perlahan sekali—lelaki itu melepaskan pelukan Desi ketika terdengar kerisik langkah-langkah kaki Udin di teras kantor. ■

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...