March 23, 2014

Filsafat Pendidikan dan Implikasinya terhadap Kurikulum 2013

 A.     Pendahuluan
Dari sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah satu unsur yang bisa memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Jadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa kurikulum, yang dikembangkan dengan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; dan (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Kemendikbud, 2013: 2).
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dipandang sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan kepada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan kepada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya akan berakibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Landasan-landasan tersebut—yang perlu dirumuskan dengan saksama—meliputi (1) landasan yuridus, (2) landasan filosofis, (3) landasan teoretis, dan (4) landasan empiris. Keempat landasan ini memiliki esensi dan implikasi yang luas dalam penyusunan sebuah kurikulum yang mampu mengakomodasi segala tuntutan perkembangan zaman yang secara dimensional bersifat komprehensif dan saling memengaruhi.
Landasan filosofis memiliki urgensi yang strategis dengan mempertimbangkan bahwa Kurikulum 2013 diupayakan antara lain sebagai jawaban atas kebutuhan akan pola pengembangan pendidikan yang mampu merekonstruksi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini tergerus oleh perkembangan masif dari fenomena materialisme dan hedonisme. Praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme yang tergelar di media massa memperlihatkan secara kasat mata fenomena yang mencemaskan itu. Dengan kerangka pemikiran sebagaimana dideskripsikan di atas, tulisan ini diupayakan untuk memberikan gambaran tentang aliran filsafat perenialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme ditinjau dari konten filosofi pendidikannya dan implikasinya terhadap pengembangan landasan filosofis Kurikulum 2013.
B. Konten Filosofi Pendidikan Empat Aliran Filsafat
1.     Filsafat Perenialisme
Istilah filsafat perenial diduga untuk pertama kali digunakan di dunia Barat oleh seorang bernama Augustinus Steuchus (1497—1548) sebagai judul karyanya, De Perenni Philosophia, yang diterbitkan pada tahun 1540 untuk kemudian dipopulerkan oleh Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646—1716) dalam sepucuk suratnya yang ditulis pada tahun 1715 (Hasan, 2006: 944).
Inti pandangan filsafat perenial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam nama dan bungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Dengan kata lain, dalam bentuk esoteris agama-agama terdapat kesatuan transenden esoterikal, yang dapat mengantarkan para pemeluk agam pada perspektif yang genuine dan original dalam memandang kebhinekaan agama (Hasan, 2006: 944—945).
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” (regresive road to culture). Oleh sebab itu, perenialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal; yang telah teruji ketangguhannya.
Di bidang pendidikan, perenialisme sangat dipengaruhi oleh Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini, pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Tujuan utama pendidikan adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan”.
Ada tiga istilah kunci dalam filsafat perenialisme: intelegensi (intelligence), kehendak (the will), dan kebaikan (the virtue). Filsafat ini, menurut Suhaimi (tt: 1) memfokuskan diri pada kebenaran yang dianggap bersifat primordial, dalam arti abadi (timeless) dan universal (spaceless). Abadi karena dinilai berlaku sejak dahulu sampai kini dan akan datang; universal karena ditemukan dalam semua tradisi agama dan bahkan karya seni sakral (sacred arts).
Menurut Frithjof Schoun[1] inteligensi tidak lain dari kepanjangan atau komplemen kehendak. Schuon mengatakan bahwa fungsi mendasar dari inteligensi adalah membedakan yang riil dengan yang palsu atau antara yang permanen dengan yang tidak permanen, sedangkan fungsi mendasar kehendak adalah mengikatkan diri dengan yang riil dan permanen. Pembedaan dan keterikatan ini adalah inti terdalam bagi semua spiritualitas (Suhaimi, tt: 1—2).
Bagi Schuon, rentang aktual inteligensi sedemikian luasnya sehingga semua yang ada di dunia ini tidak  pernah proporsional atau sebanding dengan rentang itu. Ini terjadi karena menurutnya inteligensi diciptakan untuk yang Absolut. Fakta inilah yang merupakan salah satu kunci untuk memahami sifat dan takdir ultim kita yang sebenarnya. Selanjutnya Schuon mengatakan bahwa inteligensi tanpa kebenaran bukan apa-apa dan tanpa kebaikan ia tidak akan mampu mengandung kebenaran. Di sisi lain, kehendak tanpa kebaikan bukan apa-apa, dan kehendak tanpa kebaikan tidak akan dapat merealisasikan kebaikan (Suhaimi, tt: 2—3).
Perenialisme menganggap bahwa hakikat manusia adalah konstan atau tetap. Manusia mempunyai kemampuan memahami dan mengerti kebenaran-kebenaran universal dari alam. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan rasionalitas manusia dan membuka kebenaran-kebenaran universal dengan cara melatih intelektual.
Kurikulum perenial bersifat subject center (berpusat pada subjek) dengan tekanan pada bahasa, sastra, matematika, seni, dan sains. Guru dipandang sebagai orang yang ahli di bidangnya. Karena itu ia harus menguasai bidangnya atau disiplin ilmunya, dan harus memiliki kemampuan membimbing siswa untuk berdiskusi. Mengajar didasarkan terutama sekali pada metode Socrates, yaitu penjelasan secara lisan atau perkuliahan. Minat siswa tidak relevan untuk pengembangan kurikulum karena siswa belum matang dan tidak punya pertimbangan untuk menentukan apa pengetahuan dan nilai-nilai terbaik apa yang akan dipelajarinya. Oleh karena itu, kurikulum berdasarkan filsafat ini sangat bersifat elektif (semua sudah ditentukan/tidak ada pilihan).
Ciri perenialisme adalah lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran, dan keindahan daripada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2.     Filsafat Eksistensialisme
Pragmatisme berasal dari Amerika, sedangkan eksistensial itu berasal dari Eropa. Menurut kaum eksistensial ini manusia dihadapkan kepada berbagai pilihan dalam situasi yang dihadapinya. Setiap manusia menciptakan defenisinya sendiri termasuk dalam melakukannya sesuai dengan pilihannya.
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subjektif. Eksistensialisme memandang bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran, dan keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Kehidupan pada umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara objektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tak berarti. Sebailknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalamannya yang subjektif (Titus dkk., 1984: 385).
Eksistensialis mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman sunjektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang watak manusia, dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi. Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang konkret dan intim dari pengelaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau bentuk-bentuk seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati manusia (Titus dkk., 1984: 385).
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau lingkungan tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya, atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya (Titus dkk., 1984: 386).
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan; kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat memahaminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta mengekspresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan, serta bertanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang (Titus dkk., 1984: 386).
Eksistensialisme lebih menyukai benda secara bebas untuk memilih apa yang ingin dipelajarinya dan yang dianggapnya benar karena sasaran eksistensialisme sama dengan pragmatis yaitu meningkatkan kehidupan umat manusia. Pembelajaran lebih banyak diskusi atau dialog tentang apa yang dianggapnya baik.
3.     Filsafat Progresivisme
Progresivisme dikembangkan dari pragmatisme. Menurut paham ini keterampilan dan alat untuk belajar meliputi metode problem solving dan scientific-inquiry. Pengalaman belajar harus meliputi perilaku kerja sama dan disiplin diri. Keduanya dianggap penting untuk kehidupan yang demokratis. Bagi penganut paham progresivisme, kurikulum interdisipliner, buku, dan disiplin keilmuan (materi pelajaran) adalah bagian dari proses belajar, bukan sumber ilmu pengetahuan. Peranan guru unik; dia berfungsi sebagai pembimbing siswa dalam pemecahan masalah dan project scientifics. Guru dan siswa merencanakan aktivitas bersama-sama. Sifat progresivisme berpusat pada anak (student-oriented) dan pendidikan progresif berpusat kepada anak sebagai peserta didik tidak sebagai subjek didik. Progresivisme lebih menekankan aktivitas dan pengalaman daripada kegiatan verbal; dan pembelajaran dengan cara bekerja sama daripada kompetisi.
Saat ini progresivisme terlihat dalam beberapa gerakan seperti relevansi kurikulum, kurikulum humanistik; dan reformasi sekolah yang radikal.  Relevansi kurikulum maksudnya peserta didik harus dimotivasi dan ditarik ke dalam belajar dalam bentuk tugas; dan kelas harus diberi pengalaman-pengalaman yang nyata. Kurikulum humanistik menekankan pada hasil belajar afektif yang berakar pada pandangan Abraham Moslow bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menciptakan orang-orang yang mampu beraktualisasi diri. Reformasi sekolah yang radikal mengubah suasana sekolah dari suasana yang eksis saat ini  di mana guru berperan sebagai penjaga penjara; sekolah sebagai penjara; tidak ada kebebasan untuk berekspresi diubah ke situasi sekolah yang memiliki kebebasan yang besar.
Ciri progresivisme adalah menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar, dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
4.     Filsafat Rekonstruksionisme
Tokoh rekonstruksinisme antara lain adalah Theodore Branell. Rekonstruksionisme menganggap siswa dan guru tidak hanya mengambil posisi tertentu tetapi juga mesti bertindak sebagai agen perubahan untuk memperbaharui masyarakat. Netralitas dalam kelas tidak perlu untuk proses demokrasi, tetapi guru dan siswa harus mengambil sikap untuk memberikan alasan-alasan berpartisipasi dalam tanggungjawab sosial. Dalam kurikulum, pendidikan harus sesuai dengan ekonomi politik yang baru. Bagi rekonstruksionis, analisis, interpretasi, dan evaluasi tidak cukup; komitmen dan aksi dari siswa dan guru diperlukan karena masyarakat selalu berubah, maka kurikulum juga berubah. Kurikulum yang didasarkan pada isu-isu sosial dan pelayanan sosial dianggap ideal. Masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dimasukkan ke dalam kurikulum; perubahan dalam masyarakat diatasi oleh  kurikulum, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan.
Ciri rekonstruktivisme adalah merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berpikir kritis, dan sejenisnya.
C.  Landasan Filosofis Kurikulum 2013
Setelah membahas secara relatif memadai empat filsafat tersebut di atas, kita dapat membandingkan konten filosofis yang tergambar di dalamnya dengan rumusan tekstual landasan filosofi Kurikulum 2013 sebagaimana diuraikan berikut ini. Dengan demikian, akan dapat dilihat apakah rumusan itu mengandung nilai-nilai yang terpresentasi dalam filsafat-filsafat pendidikan itu.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi mengembangkan segenap potensi peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan  kehidupan bangsa di masa mendatang.
Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan  budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman di mana peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri.  Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial memberikan dasar  untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia. 
Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini. Oleh karena itu, konten pendidikan  yang mereka pelajari tidak semata berupa prestasi besar bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang berkembang pada saat kini dan akan berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai perkembangan baru dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang dihadapi masyarakat, bangsa dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan. Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberi landasan bagi pendidikan untuk selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial, budaya, dan alam. Lagipula, konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini akan memberi makna yang lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan  masa kini.
Peserta didik yang mengikuti pendidikan masa kini akan menggunakan apa yang diperolehnya dari pendidikan ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan berpartisipasi penuh sebagai warganegara. Atas dasar pikiran itu maka konten pendidikan yang dikembangkan dari warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu diarahkan untuk memberi kemampuan bagi peserta didik menggunakannya bagi kehidupan masa depan terutama masa dimana dia telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Dengan demikian sikap, keterampilan dan pengetahuan yang menjadi konten pendidikan harus dapat digunakan untuk kehidupan  paling tidak satu sampai dua dekade dari sekarang. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang.
D.  Implikasi
Setelah membandingkan konten filosofis yang tergambar di dalam filsafat perenialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan rekonstruk-sionisme dengan rumusan tekstual landasan filosofi Kurikulum 2013 di atas, dapat kita tarik suatu simpulan bahwa Kurikulum 2013 secara filosofis bersifat ekliktik. Kurikulum ini tampak mengodifikasi nilai-nilai ideal yang terkandung di dalam empat filsafat pendidikan itu, dan mengeliminasi muatan-muatan yang bersifat negatif dan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki bangsa Indonesia yang bersumber utama pada nilai-nilai luhur Pancasila dan ciri pribadi bangsa yang sesungguhnya memiliki keragaman potensi ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa ekliktisme Kurikulum 2013 tidak terbatas pada empat filsafat itu, tetapi juga termasuk filsafat-filsafat lain yang memuat kandungan nilai yang baik dan relevan. Lebih jauh bahkan ekliktisme itu juga melibatkan berbagai nilai dan norma yang ada di dalam keragaman sistem budaya dalam pengertian yang luan yang ada di dunia ini, termasuk di dalamnya nilai-nilai religiositas yang terkandung di dalam keragaman agama. ∎

Kepustakaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2012 ”Dokumen Kurikulum 2013”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hasan, Nor. 2006. ”Islam dan Filsafat Perenial (Telaah atas Pemikiran Frithjop Schuon)”, Jurnal Karsa Vol. X No. 2, Oktober 206.
Suhaimi, Uzair. tt. ”Inteligensi, Kehendak, dan Kebaikan dalam Perspektif Filsafat Perenial”. (Artikel, tidak diterbitkan).
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.





[1] Filsuf kelahiran Basel, Swis, 18 Juni 1907.

Selayang Pandang Filsafat Eksistensialisme

Pendahuluan
Pada tahun 2003 saya menulis sebuah artikel berjudul ”Resepsi atas Ziarah[1] Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi”[2] yang isinya mendeskripsikan hasil analisis reseptif atas novel yang terbit pertama kali tahun 1972 itu. Kerja analisis tersebut telah ”memaksa” saya untuk berupaya memahami secara relatif memadai tentang seluk-beluk filsafat eksistensialisme yang sejak awal pembacaan telah saya asumsikan memengaruhi ekstrinsikalitas novel tersebut. Persepsi yang mengemuka pada saat itu adalah filsafat eksistensialisme memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Kerumitan itu antara lain karena terdapat perbedaan-perbedaan konsepsi di antara sekian banyak filsafat yang biasa dikelompokkan ke dalam eksistensialisme. Sebab lainnya adalah beberapa tokoh eksistensialis tidak menuangkan gagasannya dalam suatu tulisan yang terorganisasi dalam sistematika yang baik dan teratur.
Filsafat eksistensialisme pada kenyataannya telah menarik perhatian banyak seniman untuk berkarya dan menyandarkan kedalaman estetika karyanya pada konsepsi filsafat eksistensialisme. Beberapa hasil sastra—khususnya sastra modern—misalnya, telah terpengaruh oleh filsafat ini, termasuk dalam tema-tema tentang eksistensi manusia. Nh. Dini[3] (1985: v) mencatat bahwa pada tahun 1952 dunia sastra diguncang oleh polemik mendidih antara dua raksasa eksistensialisme: Albert Camus[4] dan Jean-Paul Sartre. “Aku memberontak, jadi aku ada,” kata Camus yang pada waktu itu berusia 39 tahun. Sartre (47 tahun) berpendapat, “Aku berpikir, jadi aku ada”.
Kompleksitas filsafat eksistensialisme sebagaimana terpresentasi dalam ilustrasi di atas adalah menarik untuk ditelusuri secara lebih mendalam dalam upaya kita untuk lebih memahami filsafat yang kontroversial—baik pada saat kemunculannya maupun pada saat sekarang—ini. Berkaitan dengan itu, tulisan ini diupayakan untuk mendeskripsikan hal-ihwal filsafat eksistensialisme dan pandangan beberapa tokoh utamanya.
Beberapa Sifat Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme tersaji di hadapan kita dengan memperlihatkan sifat-sifat yang mengundang perhatian kita. Sifat-sifat itu yang diperlihatkan itu meliputi bahwa filsafat ini (1) pada awalnya merupakan gerakan protes, (2) mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit, (3) meyakini pentingnya eksistensi, (4) menekankan pengalaman subjektif manusia, dan (5) mengakui kemerdekaan dan pertanggungjawaban. Kelima sifat tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.     Gerakan Protes
Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan sesuatu sistem filsafat secara khusus. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa dikelompokkan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi meskipun begitu terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis.
Pertama, eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Dalam satu segi, eksistensialisme merupakan suatu protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari filsafat, khususnya pandangan yang spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan Hegel. Dalam ”sistem-sistem” tersebut jiwa individual atau si pemikir, hilang dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal. Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep ”akal” dan ”alam” yang ditekankan pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 (Titus dkk., 1984: 382).
Walter Kauffman (ed.) dalam bukunya, Existensialism from Dostoevsky to Sartre (1956: 12) mengungkapkan bahwa penolakan untuk mengikuti suatu aliran; penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem; rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan; semua itu adalah pokok dari eksistensialisme (Titus dkk., 1984: 382). Soren Kierkegaard (1813—1855), seorang pemikir yang dianggap sebagai pendiri eksistensialisme, pernah pula mengatakan bahwa usaha untuk menuangkan kenyataan ke dalam suatu sistem, ke dalam kotak-kotak atau kategori-kategori, adalah perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu adalah konkret, individual, dan akhirnya manusia konkret itu hanya dapat dimengerti dalam hubungannya yang paling pribadi dengan Tuhan; dalam dialog dengan Tuhan (Hartoko, 1986: 66).
Kedua, eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan terhadap gerakan massa pada zaman sekarang. Masyarakat industri cenderung menundukkan orang-seorang kepada mesin; manusia adalah dalam bahaya menjadi alat, komputer, atau objek. Saintisme hanya melihat tindakan luar dari manusia dan menginterpretasikan manusia hanya sebagai satu bagian dari proses fisik.
Ketiga, eksistensialisme juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, atau lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke dalam kolektif atau massa (Titus dkk., 1984: 382).
2.  Diagnosis tentang Kedudukan Sulit Manusia
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Dalam hal ini, Paul Tillich dalam artikelnya, ”Existensialist Aspect of Modern Man” yang dimuat dalam buku Carl Michaelson, Christianity and the Existensialists (New York: Scribners, 1956), mengungkapkan bahwa eksistensialisme merupakan penekanan kembali terhadap beberapa pikiran yang terdahulu. Beberapa pengikut eksistensialisme mengatakan bahwa gerakan tersebut bukan hanya bersifat ”lama” dan ”modern” akan tetapi bersifat ”abadi”. Eksistensialisme sebagai suatu unsur yang universal dalam segala pemikiran adalah usaha manusia untuk melukiskan eksistensinya serta konflik-konflik eksistensi tersebut, asal mula eksistensi tersebut, serta upaya untuk mengatasinya. Di mana saja kedudukan manusia sulit dilukiskan baik secara teologi maupun secara filsafat, baik secara puitis atau secara seni; di situlah kita mendapatkan unsur-unsur eksistensialis (Titus dkk., 1984: 383).
Kalau eksistensialisme hanya menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia, maka ia terdapat juga dalam agama Yahudi, Kristen, dan juga terdapat di dalam cara yang dilakukan oleh filsuf seperti Socrates dalam menganalisis dan memahami diri sendiri. Dalam arti ini eksistensialisme boleh dikatakan filsafat lama dan juga filsafat modern. Sebagai gerakan modern, eksistensialisme tersohor hanya pada abad ke-20. Pada abad ke-19, beberapa pemikir yang kesepian seperti Kierkegaard,  Nietzsche, Dostoyevsky[5], meneriakkan protes mereka dan mencatatkan perhatian mereka kepada kondisi manusia. Selama abad ke-20, ekspresi perhatian terhadap perasaan keterasingan manusia serta kehilangan arti hidup, menjadi teriakan umum. Dalam istilah mereka, manusia tidak merasa berada di rumah di dalam alam di mana ia harus membuat rumah (Titus dkk., 1984: 383).
3. Keyakinan bahwa Eksistensi adalah yang Terpenting
Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong adalah ”untuk hidup” dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang manusia diakui seperti itu, ia akan memeroleh arti dan makna dalam kehidupan. Tempat bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya yang langsung; dan kesadaran tersebut tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam abstraksi. Pemikiran yang abstrak cenderung menjadi impersonal dan menjauhkan seseorang dari rasa manusia yang konkret dan rasa berada dalam situasi manusia. Realitas atau wujud (being) adalah eksistensi yang terdapat dalam ”I” dan bukan dalam ”it”. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah dalam eksistensi seorang pemikir. Bagi filsuf Denmark, Soren Kierkegaard umpamanya, manusia yang menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan oleh akalnya adalah orang yang meletihkan dan tidak berpandangan jauh; ia gagal untuk memahami fakta yang elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni, melainkan ia adalah seorang-orang yang ada (existing individual) (Bretall, 1947; lihat Titus dkk., 1984: 383—384).
Kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; eksistensi menunjukkan kepada ”suatu benda yang ada di sini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Tetapi, bagi kelompok eksistensialis, kata kerja ”to exist” mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada kata kerja ”to live”. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong dan tanpa arti bahwa ”Ia tidak hidup, ia hanya ada”. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan, ”Orang itu tidak ada, ia hanya hidup”. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang (Titus dkk., 1984: 384). Junus (1985: 38) menambahkan, eksistensialisme menginginkan manusia bertindak sebagai manusia dengan memberi reaksi terhadap segala sesuatu yang berlaku; manusia adalah sesuatu yang dalam bahasa Inggris dinyatakan sebagai being-for-itself (ada-bagi-dirinya) untuk menunjukkan kesadaran (Bertens, 1996: 103).
Istilah esensi adalah sebalik dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu. ”Kita membedakan antara Benda itu apa?, dan Itukah benda itu?. Yang pertama adalah esensi, yang kedua adalah eksistensi. Benda yang saya pegang di tangan saya, esensinya adalah pensil. Dan pensil ini, yang saya rasakan dengan indra saya, ada (Exist)” (Kuhn 1949: 1; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 384). Jika seseorang telah memahami ide atau konsep esensi suatu benda, ia akan dapat memikirkannya tanpa memedulikan tentang adanya. Bagi Plato dan beberapa pemikir lainnya konsep ”manusia” mempunyai realitas yang lebih daripada seorang individu manusia; mereka mengatakan bahwa partisipasi dalam ide atau bentuk (form) atau esensi, yakni kemanusiaan, adalah yang menjadikan seseorang itu manusia. Para eksistensialis menolak pandangan Plato tersebut dan mengatakan bahwa ada suatu hal yang tidak dapat dikonsepsikan, yaitu tindakan pribadi untuk ada (personal act of existing). Mereka menegaskan bahwa eksistensi adalah keadaan yang pertama (Titus dkk., 1984: 384).
Jean-Paul Sartre, penulis dan filsuf Perancis mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan ”eksistensi sebelum esensi” (”Existence comes before essence”) adalah dasar bersama bagi kaum eksistensialis, tetapi filsuf eksistensialis lainnya tidak mengatakan begitu. Apakah arti eksistensi sebelum esensi? Sartre menerangkan, ”Jika kita melihat sebuah pisau kertas, kita tahu bahwa pisau tersebut telah dibuat oleh seseorang yang mempunyai konsep pisau. Jadi, sebelum pisau itu jadi, pisau tersebut telah dikonsepsikan sebagai suatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan suatu proses tertentu pula. Dengan begitu maka esensi pisau kertas telah ada sebelum pisau itu ada. Mengenai manusia, keadaannya berlainan. Ia ada dan baru kemudian eksistensinya tampak” (Titus dkk., 1984: 382).
4. Tekanan kepada Pengalaman Subjektif Manusia
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subjektif. Eksistensialisme memandang bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran, dan keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Kehidupan pada umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara objektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tak berarti. Sebailknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalamannya yang subjektif (Titus dkk., 1984: 385).
Eksistensialis mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman sunjektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang watak manusia, dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi[6]. Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang konkret dan intim dari pengelaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau bentuk-bentuk seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati manusia (Titus dkk., 1984: 385).
5. Pengakuan terhadap Kemerdekaan dan Pertanggungjawaban
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau lingkungan tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya, atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya (Titus dkk., 1984: 386).
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan; kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat memahaminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta mengekspresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan, serta bertanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang (Titus dkk., 1984: 386).
Beberapa Pemikir Eksistensialis
1.     Soren Kierkegaard (1813—1855)
Soren Kierkegaard
Soren Kierkegaard dianggap sebagai pendiri aliran eksistensialisme. Tulisan-tulisannya menjadi dorongan bagi anggota-anggota gerakan tersebut. Ia tidak pernah ingin menjadi pemikir yang sistematik, dan suka kepada pertentangan arti (paradox). Tulisan-tulisannya menjadi lebih sukar dipahami karena ia menggunakan komunikasi tidak langsung, sindiran, dan nama samaran (pseudonym). Sebagaimana halnya dengan kebanyakan pemikir eksistensialis, riwayat hidup Kierkegaard merupakan petunjuk untuk memahami filsafatnya. Kita tidak dapat memerikan riwayat hidupnya secara terperinci, tetapi kesedihannya, pendidikannya menurut aliran Protestan Ortodoks, serta lamarannya yang gagal telah memberi pengaruh yang besar kepada tekanannya terhadap eksistensi (Titus dkk., 1984: 386).
Bagi Kierkegaard, persoalan yang pokok dalam hidup adalah: Apakah arti menjadi seorang Kristen? Ia tidak memperhatikan ”wujud” secara umum, akan tetapi hanya memperhatikan eksistensi orang-seorang. Ia mengharap agar kita memahami agama Kristen yang otentik. Kierkegaard berpendapat bahwa ada dua musuh bagi agama Kristen. Pertama, filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Ia berpendapat bahwa pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau filsafat Hegel, akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kefakiran tentang arti kehidupan. Kierkegaard menyerang Hegel karena menulis tentang ”pikiran murni” (pure thought). Ia berkata, ”Pikiran murni adalah lucu karena merupakan pikiran tanpa pemikir”. Kierkegaard sangat tidak suka kepada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasionable) dan tidak suka pembelaan kepada agama Kristen yang menggunakan alasan-alasan objektif (Titus dkk., 1984: 388).
Musuh kedua dari agama Kristen adalah adat kebiasaan (convention), khususnya adat kebiasaan para pengunjung gereja. Seorang anggota gereja yang biasa dan tidak berpikir mendalam mungkin merupakan seorang pegawai negeri yang baik, tetapi ia tidak menghayati agamanya. Ia memiliki agama yang kosong (depersonalized) dan mungkin ia tidak mengerti apa arti seorang menjadi atau menganut agama Kristen. Kierkegaard sangat kritis terhadap dunia Kristen, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritual (ibadat-ibadat)-nya. Ia melawan kehadiran faktor perantara (pendeta, sakramen, gereja) yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Mahakuasa (Titus dkk., 1984: 388).
Menurut Kierkegaard ada suatu jurang yang tidak dapat dijembatani antara Tuhan dan alam; antara Pencipta dan makhluk. Tuhan berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Bagaimanakah seorang manusia menghilangkan jurang pemisah ini? Untuk membiarkannya dalam kesangsian berarti membiarkannya mengalami kekhawatiran eksistensial. ”Tiap orang yang belum merasakan pahitnya rasa putus asa telah kehilangan arti kehidupan; walaupun ia hidup dengan senang dan indah” (Kierkegaard, 1946: 175; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 388). Jika seseorang berada dalam kekhawatiran ia harus meninggalkan akal dan memeluk keyakinan. Dalam loncatan keyakinan yang dahsyat (leap of faith) manusia memeluk hal yang tidak masuk akal. ”Agama Kristen mengambil langkah raksasa—langkah menuju yang tidak masuk akal—di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristen (Kierkegaard, 1954: 217—218; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 388). Bagi Kierkegaard, iman adalah segala sesuatu. Manusia itu memihak kepada Kristen atau memusuhinya; memihak kepada kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu benar secara mutlak, atau salah secara mutlak. Ia berkata, ”Apa yang diperlukan oleh zaman kita bukan pemikiran, melainkan passi (passion). Pengetahuan tentang fakta tidak dapat mengatasi cacatnya pendorong atau kemauan (Titus dkk., 1984: 388—389).
2.     Friedrich Nietzsche (1844—1900)
Friedrich Nietzsche
Bahwa Nietzsche itu seorang eksistensialis atau bukan, tidak menjadi persoalan yang kita mungkin berbeda pendapat terhadapnya. Yang jelas, Nietzsche cukup besar pengaruhnya terhadap gerakan eksistensialisme. Di dalam sejarah eksistensialisme, Nietzsche menduduki tempat yang sangat penting. Kita tidak dapat mengikuti filsafat Jarpers, Heidegger, dan Sartre tanpa mengingat Nietzsche. Eksistensialisme tanpa Nietzsche adalah seperti Thomisme tanpa Aristoteles, tetapi mengatakan Nietzsche adalah seorang eksistensialis, sama dengan mengatakan bahwa Aristoteles itu pengikut Thomas Aquinas (Kauffman, 1956: 21—22; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 389).
Nietzsche dan Kierkegaard bersepakat dan berlainan pendapat dalam beberapa hal. Keduanya hidup tidak bahagia, sendirian, dan pengalaman-pengalaman mereka memberi warna kepada pandangan mereka tentang manusia dan alam. Keduanya menentang pemikiran rasionalis pada abad ke-19 dan sangat memperhatikan kedudukan manusia yang sulit. Mereka melihat dalam tiap orang suatu makhluk eksistensial yang kehidupannya tidak dapat dilukiskan dengan cara yang konvensional. Mereka mendapatkan banyak hal yang salah dalam tabiat manusia dan mereka menentang apa yang mereka namakan kedangkalan dari moralitas lapisan menengah. Akan tetapi, dari segi lain terdapat perbedaan tajam antara kedua pemikir tersebut. Problema Kierkegaard adalah bagaimana seseorang menjadi orang Kristen; Nietzsche menyerang agama Kristen dan mengatakan ”Tuhan telah mati”. Ia mengatakan bahwa agama Kristen adalah musuh akal dan problemanya adalah bagaimana caranya hidup sebagai seorang ateis (yang tidak percaya kepada Tuhan). Tekanannya adalah kepada kehidupan insting dan kekuasaan yang menurutnya telah diubah oleh kebudayaan yang hanya ingin menyenangkan orang banyak. Ia mengakui ”Kemauan untuk Berkuasa” sebagai pendorong manusia yang pokok. Ia ingin merintis jalan bagi superman yang menyandang nilai-nilai tinggi dan bukan keutamaan kelas menengah yang ditemukan Nietzsche dalam agama Kristen, demokrasi, dan moralitas borjuis abad ke-19 (Titus dkk., 1984: 389).
Apakah yang akan diberikan Nietzsche sebagai ganti moralitas tradisional yang ia anggap akan musnah? Ia tidak jelas dalam kritik dan serangannya. Ia berkata, ”Harus terjadi perubahan nilai” (transvaluation of all values). Akan tetapi, ia tidak ingin menciptakan daftar nilai-nilai baru. Dengan tranvaluation ia hanya ingin mengumumkan perang atas nama kejujuran dan ketepatan terhadap nilai-nilai yang sekarang sudah diterima. Kemauan untuk menguasai adalah dorongan yang pokok bagi manusia dan akhirnya dorongan itu akan mencetuskan moralitas tuan dan sedikit orang-orang yang  luar biasa yang ia namakan superman atau overman. Superman adalah orang yang benar-benar bebas, baginya tidak ada sesuatu yang terlarang; ia adalah orang yang mempunyai passi dan gerak, dan passi-nya hanya diatasi oleh akalnya yang tinggi (Titus dkk., 1984: 389—391).
Sumbangan Nietzsche yang pokok adalah menghadapkan manusia kepada akibat-akibat kehidupan di dunia di mana tidak ada nilai dan tujuan yang tetap. Pandangan nihilis ini telah tercermin dalam sastra dan seni yang melukiskan rasa putus asa dan tidak adanya arti dalam dunia sekarang. Nietzsche adalah salah satu dari orang-orang yang melihat bahaya dalam abad teknik dan industri yang telah tidak mengindahkan tuntutan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan. Walaupun begitu, pandangan Nietzsche tersebut telah membawakan bahaya-bahaya baru yang besar juga (Titus dkk., 1984: 391).
3.     Karl Jaspers (1883—1969)
Karl Jaspers
Satu di antara penyelidikan-penyelidikan yang sangat dalam tentang Nietzsche telah ditulis oleh Karl Jaspers. Jaspers mempunyai perhatian besar terhadap kehidupan yang baik dan jiwa yang mengambil keputusan-keputusan. Baginya filsafat adalah penunjuk jalan bagi kehidupan yang masuk akal dan pantas; filsafat adalah upaya pencarian yang terus-menerus, di mana hidup, merasakan, memutuskan, bertindak, dan menghadapi bahaya yang tidak dapat dianggap sepi. Perhatian Jaspers adalah persoalan yang semenjak dahulu kala, yakni soal ”wujud” (being), yang setelah masa Kierkegaard harus diselidiki dari filsafat eksistensi (Titus dkk., 1984: 391).
Manusia itu selalu lebih daripada apa yang ia merasa mengetahuinya. Dalam menyelidiki arti atau arah alam, kita dapat memilih suatu pilihan yang ekstrem dengan hanya menekankan kepada sains objektif; kita dapat memilih pendekatan yang sebaliknya dengan menekankan kepada subjek atau jiwa dan menerima beberapa bentuk idealisme. Jaspers berpendapat bahwa materi, kehidupan, jiwa, dan akal merupakan hal-hal yang berbeda antara satu dan lainnya dari segi kualitas, dan tidak dapat disimplifikasi dalam istilah yang umum. Di samping jalan sains objektif dan jalan metafisik, terdapat pendekatan melalui pemilihan tentang eksistensi personal. Di sini terdapat tiga bidang untuk diselidiki yaitu kesadaran yang langsung tentang jiwa (selfhood), komunikasi manusia dengan teman-temannya dalam kehidupan sosial dan bermacam-macam struktur sejarah kehidupan masyarakat—etika, hukum, keluarga, negara, dan lain-lainnya. Jaspers banyak terpengaruh oleh tulisan-tulisan Kierkegaard dan membicarakan persoalan bagaimana orang dapat mengekspresikan keyakinan filsafat (philosophical faith) yang dapat memungkinkannya untuk mencapai persatuan mistik (mistical union) dengan kehidupan yang mendalam (Titus dkk., 1984: 391—392).
Jaspers berkata, dalam manusia kita menemukan aku empiris (empirical self) yang sudah dikondisikan oleh sejarah. Aku telah dikondisikan oleh latar belakang fisik dan fisiologis serta lingkungan kebudayaan. Ini adalah aku yang diselidiki oleh ilmu-ilmu seperti psikologi; tetapi terdapat jurang antara penemuan psikologi objektif dan pengalaman-dalam manusia yang intim tentang cinta dan dengki, kegembiraan dan tragedi, aspirasi dan kegelisahan. Terdapat juga suatu Aku otentik yang tidak dapat diungkapkan oleh sains. Aku otentik itu memberi arti kepada kehidupan. Sebagai perorangan, kita memiliki eksistensi sementara—kita hidup dalam waktu—akan tetapi kita tidak bersifat ”Sementera” semata-mata; kita merasakan keabadian eksistensial. Penerobosan  aku otentik kepada proses sejarah dan empiris telah memungkinkan pilihan dan kebebasan (Titus dkk., 1984: 392).
Subjektivitas dan objektivitas merupakan dua bagian dari realitas. Subjektivitas bukan suatu fase yang lewat atau hasil sampingan dari objektivitas. Di dalam manusia terdapat napas Zat yang transenden[7] dan ia harus berjuang, dengan mengatasi segala kesulitan, untuk mempertahankan pandangannya yang dalam dan kebebasannya. Akan tetapi, eksistensi individual hanya dapat dikembangkan dan disempurnakan melalui kehidupan dalam masyarakat dan hubungan dengan sesama makhluk. Kita tidak dapat mengatakan apakah watak alam itu, dan tidak dapat memahami wujud dengan sempurna. Akan tetapi, dengan bantuan akal (intellegence) kita dapat meneruskan usaha untuk memahami serta menderita dalam usaha tersebut dengan kesabaran (Titus dkk., 1984: 392).
4.     Gabriel Marcel (1889—1973)
Gabriel Marcel
Gabriel Marcel, seorang eksistensialis Perancis, beragama Roma Katolik, memusatkan filsafanya, seperti Jaspers, kepada persoalan wujud. Tema yang sesuai bagi filsafat adalah predikamen (kedudukan yang sulit) manusia. Ia ingin menjawab dua pertanyaan besar: Siapa aku ini? dan apakah wujud itu? Walaupun ia menunjukkan sifat kurang percaya kepada sistem metafisik yang mengandung arti bahwa pemikiran telah sampai kepada tingkat di mana ia harus berhenti, tetapi ia tidak menghindari persoalan-persoalan metafisik. Ide-idenya biasanya disajikan secara informal dan tidak sistematis—dalam catatan-catatan hariannya dan sandiwara-sandiwaranya. Karangannya, The Mistery of Being (dalam dua jilid), adalah yang paling sistematis. Marcel berpendapat bahwa filsafat adalah ”usaha pencarian yang didorong oleh rasa luar biasa tentang kebutuhan dalam yang mendesak” dan ”rasa yang dalam tentang keresahan batin”. Filsafatnya tidak berusaha untuk memandang benda dengan cara yang objektif dan terpisah karena seorang filsuf harus selalu berhubungan dengan kenyataan yang ia hidup di tengahnya (Titus dkk., 1984: 392—393).
Marcel berkata, ”Unsur yang dinamis dalam filsafat saya, pada umumnya dapat dilihat sebagai perlawanan yang gigih dan tidak kenal lelah terhadap jiwa abstraksi” (Marcel, 1952: 1; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 393). Dengan begitu Marcel menentang rasionalisme yang mengangkat akal di atas kehidupan dan pengalaman; ia juga menentang emiprisme yang menjurus ke arah sebaliknya dan menganggap manusia sebagai makhluk yang semata-mata mengandalkan persepsi indrawi. Marcel mengatakan bahwa dunia kita adalah ”dunia yang pecah” (broken world) yang telah kehilangan kesatuan dan berada dalam perang dengan dirinya sendiri. Ia sangat kritis terhadap beberapa hal yang terjadi dalam masyarakat massa dan cenderung menghilangkan kepribadian (depersonalize) manusia, menganggap remeh kekhususan (privacy), persaudaraan, dan kreativitas (Titus dkk., 1984: 393).
Ada dua hal dalam pemikiran Marcel yang harus kita ketahui jika kita ingin mengerti arah pikirannya. Pertama, adalah perbedaan antara pemikiran pertama (first reflection) dan pemikiran kedua (second reflection). Yang pertama adalah pemikiran orang di jalan, dan juga orang-orang ahli teknik dan sains. Cara berpikir tersebut memisahkan antara subjek dan objek dan melihat benda dari luar sebagai objek untuk penelitian ilmiah. Pemikiran kedua adalah usaha pikiran manusia untuk dapat memasuki bidang wujud. Ini adalah pemikiran filosofis yang sudah lebih sadar sehingga bisa menjadi saksi atas kehadiran wujud. Manusia dapat melakukan intuisi atau pemahaman yang tidak indrawi. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pemikiran filosofis, termasuk di dalamnya metafisik, dan juga melalui metode-metode objektif dari beberapa sains khusus (Titus dkk., 1984: 393).
Kedua, adalah perbedaan antara ”mempunyai” (having) dan ”ada” (being). ”Mempunyai” mengandung arti hubungan antara aku dan benda di luar diriku, benda yang tidak bersandar kepadaku. Kata ”mempunyai” hanya dapat menunjukkan pemilihan, atau menunjukkan hubungan—dalam atau luar seperti jika aku berkata ”Aku mempunyai badan”. Di lain pihak, wujud (being) meliputi jawaban ”Aku ini apa” dan tidak hanya jawaban kepada: Aku mempunyai apa? Being menyelam ke lubuk watak aku dan mengandung arti partisipasi dan trasendensi daripada sekadar eksistensi di tingkat fisik. Seseorang yang hidup tidak dapat melenyapkan ”mempunyai” dari kehidupannya, dan hal ini sama sekali tidak diinginkan. Akan tetapi, akan timbul bahaya jika seseorang menekankan bidang ”mempunyai” pada pengalaman-pengalamannya. Untuk mengubah tekanan dari ”mempunyai” kepada ”ada”, seseorang perlu mengalami rasa cinta; cinta dalam arti menundukkan aku kepada realitas yang tinggi, realitas ada dalam perasaan aku yang sedalam-dalamnya, lebih benar daripada aku. Ini adalah intisari dari wujud (Titus dkk., 1984: 393—394).
Konsep-konsep pokok yang terdapat dalam filsafat Marcel adalah konsep partisipasi, transendensi, dan wujud (being). Orang yang berpikir berusaha mengatasi dunia yang pecah ini dan bangun dari tingkat ”tidak penting” kepada tingkat ”penting”. Ia harus memulai dengan kesadaran bahwa ia di dalam situasi yang konkret, terikat kepada badan, tenggelam dalam materi dan proses sejarah. Ia akan berkata, ”Badanku bukan di luar diriku, aku tidak bebas darinya”; tetapi ”Aku adalah lebih dari sekadar satu badan”. Dengan badan aku hidup di dunia dan aku selalu berhubungan perasaan dengan dunia sekitarku. Marcel memakai perkataan ”inkarnasi” untuk menunjukkan hubungan manusia dengan alam. Aku ini berinkarnasi dalam badanku, dan dengan begitu alam itu terekspresikan dalam diriku. Manusia adalah satu bagian dari alam objektif, tetapi ia lebih daripada sekadar ”benda”, ia adalah ”satu-satunya makhluk yang dapat membuat janji”. Ekspresi ini adalah kata-kata Nietzsche yang dengan tepat menggambarkan segi nonobjektif dari watak manusia yang ingin ditekankan oleh Marcel (Titus dkk., 1984: 394).
Marcel ingin menghindari bermacam-macam dualisme. Pembedaan tradisional antara subjek dan objek adalah sangat gersang dan apek. Realitas adalah transubjektif dan transobjektif. Seorang yang ikut main adalah berlawanan dengan orang yang menonton. Si penonton bersifat pasif dan tidak terbuka kepada situasi. Si pemain membiarkan dirinya terbawa ke arah yang ia lawan, agar permusuhan dapat diatasi. Perasaan (feeling) dan pemikiran (contemplation) adalah cara-cara partisipasi. Dari satu segi kita dalam hubungan dan interaksi dengan dunia benda yang objektif. Di lain segi, objektivitas yang ekstrem telah ditingkatkan dan melalui doa, meditasi, dan kontemplasi, kita akan dapat bertemu dengan realitas yang transenden dan otentik. Suatu aku yang terbatas dan konkret dapat menghubungi Tuhan, Zat yang Hidup dan bersifat personal (Titus dkk., 1984: 394).
5.     Jean-Paul Sartre (1905—1981)
Jean-Paul Sartre
Eksistensialisme dalam bentuknya yang sekarang telah muncul di Paris seusai Perang Dunia II. Mula-mula ia tampak sebagai mode filsafat. Sartre menulis, ”Karena eksistensialisme telah menjadi mode, maka orang banyak mengatakan dengan senang bahwa ahli musik atau pelukis ini adalah eksistensialis” (Sartre, 1946; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 396). Walaupun begitu, berkat makalah-makalah, sandiwara-sandiwara, dan novel-novel dari Sartre, Simone de Beauvoir[8], dan Albert Camus, eksistensialisme telah berhasil memperoleh lebih banyak daripada sekadar penerimaan yang cocok dengan mode (Titus dkk., 1984: 396).
Sartre mula-mula bekerja sebagai penulis bebas, mengajar filsafat selama lima tahun, ikut dalam Perang Dunia II dan Gerakan Pembebasan Perancis. Walaupun ia termasyhur karena sandiwara, cerita pendek, dan makalah-makalahnya, tetapi karya filsafatnya yang pokok Being and Nothingness telah menghasilkan pengakuan dunia kepadanya sebagai filsuf. Dalam suatu tulisan yang pendek dan untuk umum, yaitu Existensialism and Humanism, Sartre berkata, ”Eksistensialisme, menurut kami, adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia; ia adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subjektivitas manusia.” (Sartre, 1946; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 394).
Sartre mengikuti Nietzsche dalam mengingkari adanya Tuhan; bahkan ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki wataknya yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai untuk kehidupannya. Dengan itu maka: ”Tidak ada watak manusia, oleh karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekadar ada. Bukan karena ia itu sekadar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi.” (Sartre, 1946: 29; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 394). Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia; manusia harus bersandar kepada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya (Titus dkk., 1984: 394).
Bagi Sartre, manusia memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Situasi manusia mungkin tidak mengandung arti, tidak masuk akal (absurd) dan tragis, tetapi ia masih dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian; dan ia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Karena takdir manusia itu ditanganinya sendiri, maka harapannya adalah untuk mengadakan pilihan dan tindakan supaya ia dapat hidup (Titus dkk., 1984: 394—395).
Dalam beberapa hal, Sartre menekankan kepada watak hidup yang menyedihkan. Manusia dalam keadaan sendirian mengalami kekhawatiran dan duka-cita; ia takut kepada ”ketiadaan” (nothingness) dan kematian yang menunggunya. Orang lain adalah manusia yang tidak memedulikannya atau musuh yang ingin memiliki dan menguasainya. Dalam sandiwaranya yang berjudul No Exit, seorang pemainnya melukiskan neraka,
Kau ingat apa yang dikatakan kepada kita tentang kamar siksaan, api belerang, serta lumpur panas. Semua itu adalah dongengan-dongengan dari istri-istri tua. Tidak diperlukan pengupak api yang membara. Neraka adalah orang-orang lain, selain dari diri sendiri.
Kebanyakan orang menipu diri sendiri. Mereka berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab mereka sendiri kepada faktor-faktor warisan dan lingkungan yang menentukan, kepada kemauan ketaatan yang lebih tinggi, kepada massa atau sekelompok orang-orang di mana rasa tanggung jawab pribadi akan hilang. Walaupun manusia merasakan dirinya sebagai terbagi-bagi, dan masing-masing bagian bertentangan dengan bagian yang lain, tetapi ia tetap bebas dan oleh karena itu bertanggung jawab tentang hidupnya dan keputusan-keputusannya. Kebebasan tersebut, menurut Sartre, memberikan rasa kehormatan kepada dirinya dan menyelamatkannya dari ”sekadar menjadi objek”:
Akibat pokok dari uraian-uraian kita yang lalu adalah, karena manusia itu dihukum untuk menjadi bebas, maka ia membawa beban seluruh dunia di atas pundaknya, ia bertanggung jawab untuk dunia dan untuk dirinya sendiri sebagai jalan ke ”ada”. Pertanggungjawaban yang mutlak ini bukannya sikap ”menyerah”, tetapi persyaratan yang logis dari akibat-akibat klebebasan. Karena itu, dalam kehidupan ini tidak ada yang dinamakan kecelakaan; suatu malapetaka yang terjadi secara mendadak serta melibatkan diriku di dalamnya, semua itu tidak berasal dari luar. Jika aku terkena mobilisasi untuk perang, maka perang itu adalah perangku; perang itu adalah dalam citraku; dan aku berhak menerimanya. Aku berhak menerimanya, pertama karena aku dapat menghindarkannya, dengan bunuh diri atau dengan desersi; kemungkinan-kemungkinan yang sangat menentukan itu harus selalu kita hadapi jika kita memikirkan situasi. Karena tidak menghindarkannya, berarti aku telah memilihnya (Sartre, 1956: 489, 553—554; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 397).
Maksud dari perjuangan manusia adalah kesadaran dan keinsafan yang tinggi yang dapat mengunjungi mereka yang bebas dan bertanggung jawab. Bagi Sartre, seorang individu itu merupakan contoh manusia yang menyedihkan dan hidup sendirian. Manusia harus melihat kepada dirinya karena Tuhan tidak ada; dan alam tidak mempunyai tujuan atau arti (Titus dkk., 1984: 398).
Pandangan Sartre tentang ateisme adalah sangat kaku sehingga tampaknya telah mendorong banyak orang kepada agama. Ini sudah semestinya. Akan tetapi pilihan seseorang adalah sangat berat; manusia sebagai makhluk yang sepenuhnya problematik, ia tidak dapat memenuhi kesanggupan-kesanggupannya yang sangat penting dengan rasa puas dan aman. Hal tersebut mungkin karena dalam dunia modern yang selalu berevolusi, kebebasan seperti yang disajikan oleh Sartre akan merupakan satu-satunya kebebasan yang dialami oleh manusia. Karena masyarakat menjadi lebih totaliter, maka pulau-pulau kebebasan menjadi lebih kecil dan terputus dari daratannya dan dari pulau-pulau lainnya. Ini berarti bahwa manusia itu terputus dari pengaruh timbal balik dari alam atau masyarakat manusia lainnya (Barret, 1962: 263; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 394).
Penutup
Sebagai penutup dapat disimpulkan tujuh hal sebagai berikut. Pertama, filsafat eksistensialisme memiliki tingkat kerumitan tersendiri yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan konsepsi di antara sekian banyak filsafat yang biasa dikelompokkan ke dalam eksistensialisme dan adanya beberapa tokoh eksistensialis tidak menuangkan gagasannya dalam suatu tulisan yang terorganisasi dalam sistematika yang baik dan teratur.
Kedua, filsafat eksistensialisme pada kenyataannya telah menarik perhatian banyak seniman untuk berkarya dan menyandarkan kedalaman estetika karyanya pada konsepsi filsafat eksistensialisme. Ketiga, filsafat eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern, terhadap alam yang impersonal dan gerakan massa pada zaman sekarang, terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, atau lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke dalam kolektif atau massa.
Keempat, filsafat eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Kelima, filsafat eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, yakni pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Keenam, penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Ketujuh, tokoh-tokoh terkemuka filsafat eksistensialisme seperti Kierkegaard, Nietzsche, Jaspers, Marcel, dan Sartre sangat menekankan arti pentingnya subjektivitas yang dibarengi dengan keseimbangan antara kemerdekaan dan tanggung jawab dalam menentukan eksistensi kemanusiaan dan menolak segala bentuk pengotakan dalam sistem-sistem yang menghilangkan personalitas manusia.


Daftar Pustaka 


Bertens, K.  1996. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Cet. IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Camus, Albert. 1985. Sampar, Cet. I. Alih bahasa oleh Nh. Dini dari La Peste. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hartoko, Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.

Karyanto, Uum G. 2003. ”Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi” dalam Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. 2004. 23 Naskah Terbaik LMKS 2003. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III Cet. 2. Jakarta: Pusat Bahasa.

Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.



[1] Cetakan III (Jakarta: Djambatan, 1983)
[2] Artikel tersebut dimuat dalam buku 23 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2003 (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2004) h. 33—47. Sekarang lembaga ini berubah nama menjadi Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (penulis).
[3] Nama lengkapnya adalah Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Ia novelis feminis Indonesia yang lahir di Semarang, 29 Februari 1936. Novelnya antara lain: Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-Orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Hati yang Damai (1998). Ini belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
[4] Albert Camus adalah sastrawan dunia kelahiran Mondovi (sekarang: Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Karya-karyanya antara lain Le Mythe de Sisyphe (1942), L Etranger (1942), Caligula (1944), La Malentendu (1944), La Peste (1947), L Etat de Siege (1948), Lettres a un Ami Allemand (1948), Les Justes (1950), L Homme Revolte (1951), La Chute (1956), L Exil et Le Royaume (1957), dan Le Premier Homme (tidak selesai, diterbitkankan oleh putrinya pada tahun 1994). Pada tahun 1957 ia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra. Ia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin, 5 Januari 1960.
[5] Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky adalah salah seorang pengarang terbesar Rusia. Ia lahir di Moskwa, 11 November 1821 dan meninggal dunia di St. Petersburg, 9 Februari 1881. Karya-karya utamanya yang telah diterbitkan dalam bahasa Inggris antara lain adalah Poor Folk (1846), The Double: St. Petersburg Poem (1846), Netochka Nezvanova (1849), The Village of Stepanchikovo (1859), The Insulted and Humiliated (1861), The House of Dead (1862), A Nasty Story (1862), Notes from Underground (1864), Crime and Punishment (1866), The Gambler (1867), The Idiot (1868),The Possessed (1872), The Raw Youth (1875), dan Karamazov Brothers (1880).
[6] Ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya (penulis).
[7] Di luar segala kesanggupan manusia (penulis).
[8] Simone de Beauvoir lahir di Paris, 9 Januari 1908 – meninggal di Paris, 14 April 1986. Ia dikenal sebagai tokoh feminisme modern dan ahli filsafat yang terkenal pada awal abad ke-20 dan juga merupakan pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan hal ilmu sosial. Ia dikenal karena karyanya dalam politik, filsafat, eksistensialisme, dan feminisme, terutama karya Le Deuxième Sexe yang diterbitkan tahun 1949.

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...