March 23, 2014

Filsafat Pendidikan dan Implikasinya terhadap Kurikulum 2013

 A.     Pendahuluan
Dari sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah satu unsur yang bisa memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Jadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa kurikulum, yang dikembangkan dengan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; dan (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Kemendikbud, 2013: 2).
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dipandang sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan kepada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan kepada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya akan berakibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Landasan-landasan tersebut—yang perlu dirumuskan dengan saksama—meliputi (1) landasan yuridus, (2) landasan filosofis, (3) landasan teoretis, dan (4) landasan empiris. Keempat landasan ini memiliki esensi dan implikasi yang luas dalam penyusunan sebuah kurikulum yang mampu mengakomodasi segala tuntutan perkembangan zaman yang secara dimensional bersifat komprehensif dan saling memengaruhi.
Landasan filosofis memiliki urgensi yang strategis dengan mempertimbangkan bahwa Kurikulum 2013 diupayakan antara lain sebagai jawaban atas kebutuhan akan pola pengembangan pendidikan yang mampu merekonstruksi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini tergerus oleh perkembangan masif dari fenomena materialisme dan hedonisme. Praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme yang tergelar di media massa memperlihatkan secara kasat mata fenomena yang mencemaskan itu. Dengan kerangka pemikiran sebagaimana dideskripsikan di atas, tulisan ini diupayakan untuk memberikan gambaran tentang aliran filsafat perenialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme ditinjau dari konten filosofi pendidikannya dan implikasinya terhadap pengembangan landasan filosofis Kurikulum 2013.
B. Konten Filosofi Pendidikan Empat Aliran Filsafat
1.     Filsafat Perenialisme
Istilah filsafat perenial diduga untuk pertama kali digunakan di dunia Barat oleh seorang bernama Augustinus Steuchus (1497—1548) sebagai judul karyanya, De Perenni Philosophia, yang diterbitkan pada tahun 1540 untuk kemudian dipopulerkan oleh Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646—1716) dalam sepucuk suratnya yang ditulis pada tahun 1715 (Hasan, 2006: 944).
Inti pandangan filsafat perenial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama yang muncul melalui beragam nama dan bungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Dengan kata lain, dalam bentuk esoteris agama-agama terdapat kesatuan transenden esoterikal, yang dapat mengantarkan para pemeluk agam pada perspektif yang genuine dan original dalam memandang kebhinekaan agama (Hasan, 2006: 944—945).
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” (regresive road to culture). Oleh sebab itu, perenialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal; yang telah teruji ketangguhannya.
Di bidang pendidikan, perenialisme sangat dipengaruhi oleh Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini, pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Tujuan utama pendidikan adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan”.
Ada tiga istilah kunci dalam filsafat perenialisme: intelegensi (intelligence), kehendak (the will), dan kebaikan (the virtue). Filsafat ini, menurut Suhaimi (tt: 1) memfokuskan diri pada kebenaran yang dianggap bersifat primordial, dalam arti abadi (timeless) dan universal (spaceless). Abadi karena dinilai berlaku sejak dahulu sampai kini dan akan datang; universal karena ditemukan dalam semua tradisi agama dan bahkan karya seni sakral (sacred arts).
Menurut Frithjof Schoun[1] inteligensi tidak lain dari kepanjangan atau komplemen kehendak. Schuon mengatakan bahwa fungsi mendasar dari inteligensi adalah membedakan yang riil dengan yang palsu atau antara yang permanen dengan yang tidak permanen, sedangkan fungsi mendasar kehendak adalah mengikatkan diri dengan yang riil dan permanen. Pembedaan dan keterikatan ini adalah inti terdalam bagi semua spiritualitas (Suhaimi, tt: 1—2).
Bagi Schuon, rentang aktual inteligensi sedemikian luasnya sehingga semua yang ada di dunia ini tidak  pernah proporsional atau sebanding dengan rentang itu. Ini terjadi karena menurutnya inteligensi diciptakan untuk yang Absolut. Fakta inilah yang merupakan salah satu kunci untuk memahami sifat dan takdir ultim kita yang sebenarnya. Selanjutnya Schuon mengatakan bahwa inteligensi tanpa kebenaran bukan apa-apa dan tanpa kebaikan ia tidak akan mampu mengandung kebenaran. Di sisi lain, kehendak tanpa kebaikan bukan apa-apa, dan kehendak tanpa kebaikan tidak akan dapat merealisasikan kebaikan (Suhaimi, tt: 2—3).
Perenialisme menganggap bahwa hakikat manusia adalah konstan atau tetap. Manusia mempunyai kemampuan memahami dan mengerti kebenaran-kebenaran universal dari alam. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan rasionalitas manusia dan membuka kebenaran-kebenaran universal dengan cara melatih intelektual.
Kurikulum perenial bersifat subject center (berpusat pada subjek) dengan tekanan pada bahasa, sastra, matematika, seni, dan sains. Guru dipandang sebagai orang yang ahli di bidangnya. Karena itu ia harus menguasai bidangnya atau disiplin ilmunya, dan harus memiliki kemampuan membimbing siswa untuk berdiskusi. Mengajar didasarkan terutama sekali pada metode Socrates, yaitu penjelasan secara lisan atau perkuliahan. Minat siswa tidak relevan untuk pengembangan kurikulum karena siswa belum matang dan tidak punya pertimbangan untuk menentukan apa pengetahuan dan nilai-nilai terbaik apa yang akan dipelajarinya. Oleh karena itu, kurikulum berdasarkan filsafat ini sangat bersifat elektif (semua sudah ditentukan/tidak ada pilihan).
Ciri perenialisme adalah lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran, dan keindahan daripada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2.     Filsafat Eksistensialisme
Pragmatisme berasal dari Amerika, sedangkan eksistensial itu berasal dari Eropa. Menurut kaum eksistensial ini manusia dihadapkan kepada berbagai pilihan dalam situasi yang dihadapinya. Setiap manusia menciptakan defenisinya sendiri termasuk dalam melakukannya sesuai dengan pilihannya.
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subjektif. Eksistensialisme memandang bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran, dan keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Kehidupan pada umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara objektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tak berarti. Sebailknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalamannya yang subjektif (Titus dkk., 1984: 385).
Eksistensialis mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman sunjektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang watak manusia, dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi. Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang konkret dan intim dari pengelaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau bentuk-bentuk seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati manusia (Titus dkk., 1984: 385).
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau lingkungan tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya, atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya (Titus dkk., 1984: 386).
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan; kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat memahaminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta mengekspresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan, serta bertanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang (Titus dkk., 1984: 386).
Eksistensialisme lebih menyukai benda secara bebas untuk memilih apa yang ingin dipelajarinya dan yang dianggapnya benar karena sasaran eksistensialisme sama dengan pragmatis yaitu meningkatkan kehidupan umat manusia. Pembelajaran lebih banyak diskusi atau dialog tentang apa yang dianggapnya baik.
3.     Filsafat Progresivisme
Progresivisme dikembangkan dari pragmatisme. Menurut paham ini keterampilan dan alat untuk belajar meliputi metode problem solving dan scientific-inquiry. Pengalaman belajar harus meliputi perilaku kerja sama dan disiplin diri. Keduanya dianggap penting untuk kehidupan yang demokratis. Bagi penganut paham progresivisme, kurikulum interdisipliner, buku, dan disiplin keilmuan (materi pelajaran) adalah bagian dari proses belajar, bukan sumber ilmu pengetahuan. Peranan guru unik; dia berfungsi sebagai pembimbing siswa dalam pemecahan masalah dan project scientifics. Guru dan siswa merencanakan aktivitas bersama-sama. Sifat progresivisme berpusat pada anak (student-oriented) dan pendidikan progresif berpusat kepada anak sebagai peserta didik tidak sebagai subjek didik. Progresivisme lebih menekankan aktivitas dan pengalaman daripada kegiatan verbal; dan pembelajaran dengan cara bekerja sama daripada kompetisi.
Saat ini progresivisme terlihat dalam beberapa gerakan seperti relevansi kurikulum, kurikulum humanistik; dan reformasi sekolah yang radikal.  Relevansi kurikulum maksudnya peserta didik harus dimotivasi dan ditarik ke dalam belajar dalam bentuk tugas; dan kelas harus diberi pengalaman-pengalaman yang nyata. Kurikulum humanistik menekankan pada hasil belajar afektif yang berakar pada pandangan Abraham Moslow bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menciptakan orang-orang yang mampu beraktualisasi diri. Reformasi sekolah yang radikal mengubah suasana sekolah dari suasana yang eksis saat ini  di mana guru berperan sebagai penjaga penjara; sekolah sebagai penjara; tidak ada kebebasan untuk berekspresi diubah ke situasi sekolah yang memiliki kebebasan yang besar.
Ciri progresivisme adalah menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar, dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
4.     Filsafat Rekonstruksionisme
Tokoh rekonstruksinisme antara lain adalah Theodore Branell. Rekonstruksionisme menganggap siswa dan guru tidak hanya mengambil posisi tertentu tetapi juga mesti bertindak sebagai agen perubahan untuk memperbaharui masyarakat. Netralitas dalam kelas tidak perlu untuk proses demokrasi, tetapi guru dan siswa harus mengambil sikap untuk memberikan alasan-alasan berpartisipasi dalam tanggungjawab sosial. Dalam kurikulum, pendidikan harus sesuai dengan ekonomi politik yang baru. Bagi rekonstruksionis, analisis, interpretasi, dan evaluasi tidak cukup; komitmen dan aksi dari siswa dan guru diperlukan karena masyarakat selalu berubah, maka kurikulum juga berubah. Kurikulum yang didasarkan pada isu-isu sosial dan pelayanan sosial dianggap ideal. Masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dimasukkan ke dalam kurikulum; perubahan dalam masyarakat diatasi oleh  kurikulum, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan.
Ciri rekonstruktivisme adalah merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berpikir kritis, dan sejenisnya.
C.  Landasan Filosofis Kurikulum 2013
Setelah membahas secara relatif memadai empat filsafat tersebut di atas, kita dapat membandingkan konten filosofis yang tergambar di dalamnya dengan rumusan tekstual landasan filosofi Kurikulum 2013 sebagaimana diuraikan berikut ini. Dengan demikian, akan dapat dilihat apakah rumusan itu mengandung nilai-nilai yang terpresentasi dalam filsafat-filsafat pendidikan itu.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi mengembangkan segenap potensi peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan  kehidupan bangsa di masa mendatang.
Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan  budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman di mana peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri.  Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial memberikan dasar  untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia. 
Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini. Oleh karena itu, konten pendidikan  yang mereka pelajari tidak semata berupa prestasi besar bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang berkembang pada saat kini dan akan berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai perkembangan baru dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang dihadapi masyarakat, bangsa dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan. Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberi landasan bagi pendidikan untuk selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial, budaya, dan alam. Lagipula, konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini akan memberi makna yang lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan  masa kini.
Peserta didik yang mengikuti pendidikan masa kini akan menggunakan apa yang diperolehnya dari pendidikan ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan berpartisipasi penuh sebagai warganegara. Atas dasar pikiran itu maka konten pendidikan yang dikembangkan dari warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu diarahkan untuk memberi kemampuan bagi peserta didik menggunakannya bagi kehidupan masa depan terutama masa dimana dia telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Dengan demikian sikap, keterampilan dan pengetahuan yang menjadi konten pendidikan harus dapat digunakan untuk kehidupan  paling tidak satu sampai dua dekade dari sekarang. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang.
D.  Implikasi
Setelah membandingkan konten filosofis yang tergambar di dalam filsafat perenialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan rekonstruk-sionisme dengan rumusan tekstual landasan filosofi Kurikulum 2013 di atas, dapat kita tarik suatu simpulan bahwa Kurikulum 2013 secara filosofis bersifat ekliktik. Kurikulum ini tampak mengodifikasi nilai-nilai ideal yang terkandung di dalam empat filsafat pendidikan itu, dan mengeliminasi muatan-muatan yang bersifat negatif dan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki bangsa Indonesia yang bersumber utama pada nilai-nilai luhur Pancasila dan ciri pribadi bangsa yang sesungguhnya memiliki keragaman potensi ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa ekliktisme Kurikulum 2013 tidak terbatas pada empat filsafat itu, tetapi juga termasuk filsafat-filsafat lain yang memuat kandungan nilai yang baik dan relevan. Lebih jauh bahkan ekliktisme itu juga melibatkan berbagai nilai dan norma yang ada di dalam keragaman sistem budaya dalam pengertian yang luan yang ada di dunia ini, termasuk di dalamnya nilai-nilai religiositas yang terkandung di dalam keragaman agama. ∎

Kepustakaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2012 ”Dokumen Kurikulum 2013”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hasan, Nor. 2006. ”Islam dan Filsafat Perenial (Telaah atas Pemikiran Frithjop Schuon)”, Jurnal Karsa Vol. X No. 2, Oktober 206.
Suhaimi, Uzair. tt. ”Inteligensi, Kehendak, dan Kebaikan dalam Perspektif Filsafat Perenial”. (Artikel, tidak diterbitkan).
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.





[1] Filsuf kelahiran Basel, Swis, 18 Juni 1907.

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...