Pendahuluan
Pada tahun 2003 saya menulis sebuah
artikel berjudul ”Resepsi atas Ziarah[1]
Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi”[2]
yang isinya mendeskripsikan hasil analisis reseptif atas novel yang terbit
pertama kali tahun 1972 itu. Kerja analisis tersebut telah ”memaksa” saya untuk
berupaya memahami secara relatif memadai tentang seluk-beluk filsafat
eksistensialisme yang sejak awal pembacaan telah saya asumsikan memengaruhi
ekstrinsikalitas novel tersebut. Persepsi yang mengemuka pada saat itu adalah
filsafat eksistensialisme memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Kerumitan itu
antara lain karena terdapat perbedaan-perbedaan konsepsi di antara sekian
banyak filsafat yang biasa dikelompokkan ke dalam eksistensialisme. Sebab
lainnya adalah beberapa tokoh eksistensialis tidak menuangkan gagasannya dalam
suatu tulisan yang terorganisasi dalam sistematika yang baik dan teratur.
Filsafat eksistensialisme pada
kenyataannya telah menarik perhatian banyak seniman untuk berkarya dan
menyandarkan kedalaman estetika karyanya pada konsepsi filsafat
eksistensialisme. Beberapa hasil sastra—khususnya sastra modern—misalnya, telah
terpengaruh oleh filsafat ini, termasuk dalam tema-tema tentang eksistensi
manusia. Nh. Dini[3]
(1985: v) mencatat bahwa pada tahun 1952 dunia sastra diguncang oleh polemik
mendidih antara dua raksasa eksistensialisme: Albert Camus[4]
dan Jean-Paul Sartre. “Aku memberontak, jadi aku ada,” kata Camus
yang pada waktu itu berusia 39 tahun. Sartre (47 tahun) berpendapat, “Aku
berpikir, jadi aku ada”.
Kompleksitas filsafat eksistensialisme
sebagaimana terpresentasi dalam ilustrasi di atas adalah menarik untuk
ditelusuri secara lebih mendalam dalam upaya kita untuk lebih memahami filsafat
yang kontroversial—baik pada saat kemunculannya maupun pada saat sekarang—ini. Berkaitan
dengan itu, tulisan ini diupayakan untuk mendeskripsikan hal-ihwal filsafat
eksistensialisme dan pandangan beberapa tokoh utamanya.
Beberapa Sifat Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme tersaji di
hadapan kita dengan memperlihatkan sifat-sifat yang mengundang perhatian kita.
Sifat-sifat itu yang diperlihatkan itu meliputi bahwa filsafat ini (1) pada
awalnya merupakan gerakan protes, (2) mendiagnosis kedudukan manusia yang
sulit, (3) meyakini pentingnya eksistensi, (4) menekankan pengalaman subjektif
manusia, dan (5) mengakui kemerdekaan dan pertanggungjawaban. Kelima sifat
tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.
Gerakan Protes
Istilah eksistensialisme tidak
menunjukkan sesuatu sistem filsafat secara khusus. Terdapat perbedaan-perbedaan
yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa dikelompokkan sebagai
filsafat eksistensialis, tetapi meskipun begitu terdapat tema-tema yang sama
yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis.
Pertama,
eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat
tradisional dan masyarakat modern. Dalam satu segi, eksistensialisme merupakan
suatu protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari filsafat,
khususnya pandangan yang spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan
Hegel. Dalam ”sistem-sistem” tersebut jiwa individual atau si pemikir, hilang
dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal. Eksistensialisme
adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep ”akal” dan
”alam” yang ditekankan pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad
ke-18 (Titus dkk., 1984: 382).
Walter Kauffman (ed.) dalam bukunya, Existensialism
from Dostoevsky to Sartre (1956: 12) mengungkapkan bahwa penolakan untuk
mengikuti suatu aliran; penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan,
khususnya kemampuan sistem; rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang
bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan; semua itu adalah pokok
dari eksistensialisme (Titus dkk., 1984: 382). Soren Kierkegaard (1813—1855),
seorang pemikir yang dianggap sebagai pendiri eksistensialisme, pernah pula mengatakan
bahwa usaha untuk menuangkan kenyataan ke dalam suatu sistem, ke dalam
kotak-kotak atau kategori-kategori, adalah perkosaan terhadap kenyataan karena
kenyataan itu adalah konkret, individual, dan akhirnya manusia konkret itu
hanya dapat dimengerti dalam hubungannya yang paling pribadi dengan Tuhan; dalam
dialog dengan Tuhan (Hartoko, 1986: 66).
Kedua,
eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta
pemberontakan terhadap gerakan massa pada zaman sekarang. Masyarakat industri cenderung
menundukkan orang-seorang kepada mesin; manusia adalah dalam bahaya menjadi
alat, komputer, atau objek. Saintisme hanya melihat tindakan luar dari manusia
dan menginterpretasikan manusia hanya sebagai satu bagian dari proses fisik.
Ketiga,
eksistensialisme juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik
gerakan fasis, komunis, atau lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau
menenggelamkan perorangan ke dalam kolektif atau massa (Titus dkk., 1984: 382).
2. Diagnosis tentang
Kedudukan Sulit Manusia
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosis
kedudukan manusia yang sulit. Dalam hal ini, Paul Tillich dalam artikelnya,
”Existensialist Aspect of Modern Man” yang dimuat dalam buku Carl Michaelson, Christianity
and the Existensialists (New York: Scribners, 1956), mengungkapkan bahwa eksistensialisme
merupakan penekanan kembali terhadap beberapa pikiran yang terdahulu. Beberapa
pengikut eksistensialisme mengatakan bahwa gerakan tersebut bukan hanya
bersifat ”lama” dan ”modern” akan tetapi bersifat ”abadi”. Eksistensialisme
sebagai suatu unsur yang universal dalam segala pemikiran adalah usaha manusia
untuk melukiskan eksistensinya serta konflik-konflik eksistensi tersebut, asal
mula eksistensi tersebut, serta upaya untuk mengatasinya. Di mana saja
kedudukan manusia sulit dilukiskan baik secara teologi maupun secara filsafat,
baik secara puitis atau secara seni; di situlah kita mendapatkan unsur-unsur
eksistensialis (Titus dkk., 1984: 383).
Kalau eksistensialisme hanya menekankan situasi manusia dan prospek
(harapan) manusia di dunia, maka ia terdapat juga dalam agama Yahudi, Kristen,
dan juga terdapat di dalam cara yang dilakukan oleh filsuf seperti Socrates
dalam menganalisis dan memahami diri sendiri. Dalam arti ini eksistensialisme
boleh dikatakan filsafat lama dan juga filsafat modern. Sebagai gerakan modern,
eksistensialisme tersohor hanya pada abad ke-20. Pada abad ke-19, beberapa
pemikir yang kesepian seperti Kierkegaard,
Nietzsche, Dostoyevsky[5],
meneriakkan protes mereka dan mencatatkan perhatian mereka kepada kondisi
manusia. Selama abad ke-20, ekspresi perhatian terhadap perasaan keterasingan
manusia serta kehilangan arti hidup, menjadi teriakan umum. Dalam istilah
mereka, manusia tidak merasa berada di rumah di dalam alam di mana ia harus
membuat rumah (Titus dkk., 1984: 383).
3. Keyakinan bahwa
Eksistensi adalah yang Terpenting
Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi,
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong
adalah ”untuk hidup” dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang manusia
diakui seperti itu, ia akan memeroleh arti dan makna dalam kehidupan. Tempat
bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya yang
langsung; dan kesadaran tersebut tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam
abstraksi. Pemikiran yang abstrak cenderung menjadi impersonal dan menjauhkan
seseorang dari rasa manusia yang konkret dan rasa berada dalam situasi manusia.
Realitas atau wujud (being) adalah eksistensi yang terdapat dalam ”I”
dan bukan dalam ”it”. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah
dalam eksistensi seorang pemikir. Bagi filsuf Denmark, Soren Kierkegaard
umpamanya, manusia yang menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan oleh
akalnya adalah orang yang meletihkan dan tidak berpandangan jauh; ia gagal
untuk memahami fakta yang elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni,
melainkan ia adalah seorang-orang yang ada (existing individual)
(Bretall, 1947; lihat Titus dkk., 1984: 383—384).
Kelompok eksistensialis membedakan antara
eksistensi dan esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual,
yang terjadi dalam ruang dan waktu; eksistensi menunjukkan kepada ”suatu benda
yang ada di sini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia
diakui adanya atau hidupnya. Tetapi, bagi kelompok eksistensialis, kata kerja ”to
exist” mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada kata kerja
”to live”. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup
kosong dan tanpa arti bahwa ”Ia tidak hidup, ia hanya ada”. Kelompok
eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan, ”Orang itu tidak ada, ia
hanya hidup”. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas,
sadar, tanggung jawab, dan berkembang (Titus dkk., 1984: 384). Junus (1985: 38)
menambahkan, eksistensialisme menginginkan manusia bertindak sebagai manusia
dengan memberi reaksi terhadap segala sesuatu yang berlaku; manusia adalah
sesuatu yang dalam bahasa Inggris dinyatakan sebagai being-for-itself
(ada-bagi-dirinya) untuk menunjukkan kesadaran (Bertens, 1996: 103).
Istilah esensi adalah sebalik dari eksistensi, yakni sesuatu
yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah
yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara
umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan
kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh
benda itu pada suatu waktu. ”Kita membedakan antara Benda itu apa?, dan Itukah
benda itu?. Yang pertama adalah esensi, yang kedua adalah eksistensi. Benda
yang saya pegang di tangan saya, esensinya adalah pensil. Dan pensil ini, yang
saya rasakan dengan indra saya, ada (Exist)” (Kuhn 1949: 1; seperti
dikutip Titus dkk., 1984: 384). Jika seseorang telah memahami ide atau konsep
esensi suatu benda, ia akan dapat memikirkannya tanpa memedulikan tentang
adanya. Bagi Plato dan beberapa pemikir lainnya konsep ”manusia” mempunyai
realitas yang lebih daripada seorang individu manusia; mereka mengatakan bahwa
partisipasi dalam ide atau bentuk (form) atau esensi, yakni kemanusiaan,
adalah yang menjadikan seseorang itu manusia. Para eksistensialis menolak
pandangan Plato tersebut dan mengatakan bahwa ada suatu hal yang tidak dapat
dikonsepsikan, yaitu tindakan pribadi untuk ada (personal act of existing).
Mereka menegaskan bahwa eksistensi adalah keadaan yang pertama (Titus dkk.,
1984: 384).
Jean-Paul Sartre, penulis dan filsuf Perancis mengatakan bahwa
pernyataan-pernyataan ”eksistensi sebelum esensi” (”Existence comes before
essence”) adalah dasar bersama bagi kaum eksistensialis, tetapi filsuf
eksistensialis lainnya tidak mengatakan begitu. Apakah arti eksistensi sebelum
esensi? Sartre menerangkan, ”Jika kita melihat sebuah pisau kertas, kita tahu
bahwa pisau tersebut telah dibuat oleh seseorang yang mempunyai konsep pisau.
Jadi, sebelum pisau itu jadi, pisau tersebut telah dikonsepsikan sebagai suatu
benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan suatu proses tertentu
pula. Dengan begitu maka esensi pisau kertas telah ada sebelum pisau itu ada.
Mengenai manusia, keadaannya berlainan. Ia ada dan baru kemudian eksistensinya
tampak” (Titus dkk., 1984: 382).
4.
Tekanan kepada
Pengalaman Subjektif Manusia
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan
pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subjektif.
Eksistensialisme memandang bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari
subjek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati,
kekhawatiran, dan keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian.
Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam
bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas sebagaimana yang
diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli
filsafat dan psikologi, cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah
benda. Kehidupan pada umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi
interpretasi-interpretasi secara objektif dan impersonal dan akibatnya
kehidupan menjadi dangkal dan tak berarti. Sebailknya, eksistensialisme
menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan
kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia
merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau
menindas keistimewaan pengalamannya yang subjektif (Titus dkk., 1984: 385).
Eksistensialis mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman sunjektif
tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang
watak manusia, dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan
dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi[6].
Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan menghadapi
prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan atau sistem
yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang konkret dan
intim dari pengelaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka
mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau bentuk-bentuk seni lain, yang
akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati manusia
(Titus dkk., 1984: 385).
5. Pengakuan terhadap
Kemerdekaan dan Pertanggungjawaban
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah
membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab.
Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau
lingkungan tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam
eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya,
atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat
impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan, dan
keputusan-keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud
pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi
interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya (Titus dkk., 1984:
386).
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan;
kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai
kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat
memahaminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia
serta mengekspresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi
pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan, serta bertanggung jawab
tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana
halnya sekarang (Titus dkk., 1984: 386).
Beberapa Pemikir Eksistensialis
1.
Soren Kierkegaard
(1813—1855)
Soren Kierkegaard |
Bagi Kierkegaard, persoalan yang pokok dalam hidup adalah: Apakah arti
menjadi seorang Kristen? Ia tidak memperhatikan ”wujud” secara umum, akan
tetapi hanya memperhatikan eksistensi orang-seorang. Ia mengharap agar kita
memahami agama Kristen yang otentik. Kierkegaard berpendapat bahwa ada dua
musuh bagi agama Kristen. Pertama, filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat
itu. Ia berpendapat bahwa pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat
Descartes atau filsafat Hegel, akan menghilangkan personalitas manusia dan
membawa kita kepada kefakiran tentang arti kehidupan. Kierkegaard menyerang
Hegel karena menulis tentang ”pikiran murni” (pure thought). Ia berkata,
”Pikiran murni adalah lucu karena merupakan pikiran tanpa pemikir”. Kierkegaard
sangat tidak suka kepada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai
agama yang masuk akal (reasionable) dan tidak suka pembelaan kepada
agama Kristen yang menggunakan alasan-alasan objektif (Titus dkk., 1984: 388).
Musuh kedua dari agama Kristen adalah adat kebiasaan (convention),
khususnya adat kebiasaan para pengunjung gereja. Seorang anggota gereja yang
biasa dan tidak berpikir mendalam mungkin merupakan seorang pegawai negeri yang
baik, tetapi ia tidak menghayati agamanya. Ia memiliki agama yang kosong (depersonalized)
dan mungkin ia tidak mengerti apa arti seorang menjadi atau menganut agama
Kristen. Kierkegaard sangat kritis terhadap dunia Kristen, khususnya
gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritual (ibadat-ibadat)-nya. Ia
melawan kehadiran faktor perantara (pendeta, sakramen, gereja) yang
menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Mahakuasa (Titus
dkk., 1984: 388).
Menurut Kierkegaard ada suatu jurang yang tidak dapat dijembatani antara
Tuhan dan alam; antara Pencipta dan makhluk. Tuhan berdiri di atas segala
ukuran sosial dan etika. Bagaimanakah seorang manusia menghilangkan jurang
pemisah ini? Untuk membiarkannya dalam kesangsian berarti membiarkannya
mengalami kekhawatiran eksistensial. ”Tiap orang yang belum merasakan pahitnya
rasa putus asa telah kehilangan arti kehidupan; walaupun ia hidup dengan senang
dan indah” (Kierkegaard, 1946: 175; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 388).
Jika seseorang berada dalam kekhawatiran ia harus meninggalkan akal dan memeluk
keyakinan. Dalam loncatan keyakinan yang dahsyat (leap of faith) manusia
memeluk hal yang tidak masuk akal. ”Agama Kristen mengambil langkah
raksasa—langkah menuju yang tidak masuk akal—di sana agama Kristen mulai.
Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristen (Kierkegaard,
1954: 217—218; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 388). Bagi Kierkegaard, iman
adalah segala sesuatu. Manusia itu memihak kepada Kristen atau memusuhinya;
memihak kepada kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu benar secara
mutlak, atau salah secara mutlak. Ia berkata, ”Apa yang diperlukan oleh zaman kita
bukan pemikiran, melainkan passi (passion). Pengetahuan tentang fakta
tidak dapat mengatasi cacatnya pendorong atau kemauan (Titus dkk., 1984:
388—389).
2.
Friedrich
Nietzsche (1844—1900)
Friedrich Nietzsche |
Nietzsche dan Kierkegaard bersepakat dan berlainan pendapat dalam beberapa
hal. Keduanya hidup tidak bahagia, sendirian, dan pengalaman-pengalaman mereka
memberi warna kepada pandangan mereka tentang manusia dan alam. Keduanya
menentang pemikiran rasionalis pada abad ke-19 dan sangat memperhatikan kedudukan
manusia yang sulit. Mereka melihat dalam tiap orang suatu makhluk eksistensial
yang kehidupannya tidak dapat dilukiskan dengan cara yang konvensional. Mereka
mendapatkan banyak hal yang salah dalam tabiat manusia dan mereka menentang apa
yang mereka namakan kedangkalan dari moralitas lapisan menengah. Akan tetapi,
dari segi lain terdapat perbedaan tajam antara kedua pemikir tersebut. Problema
Kierkegaard adalah bagaimana seseorang menjadi orang Kristen; Nietzsche
menyerang agama Kristen dan mengatakan ”Tuhan telah mati”. Ia mengatakan bahwa
agama Kristen adalah musuh akal dan problemanya adalah bagaimana caranya hidup
sebagai seorang ateis (yang tidak percaya kepada Tuhan). Tekanannya adalah
kepada kehidupan insting dan kekuasaan yang menurutnya telah diubah oleh kebudayaan
yang hanya ingin menyenangkan orang banyak. Ia mengakui ”Kemauan untuk
Berkuasa” sebagai pendorong manusia yang pokok. Ia ingin merintis jalan bagi superman
yang menyandang nilai-nilai tinggi dan bukan keutamaan kelas menengah yang
ditemukan Nietzsche dalam agama Kristen, demokrasi, dan moralitas borjuis abad
ke-19 (Titus dkk., 1984: 389).
Apakah yang akan diberikan Nietzsche sebagai ganti moralitas tradisional
yang ia anggap akan musnah? Ia tidak jelas dalam kritik dan serangannya. Ia
berkata, ”Harus terjadi perubahan nilai” (transvaluation of all values).
Akan tetapi, ia tidak ingin menciptakan daftar nilai-nilai baru. Dengan tranvaluation
ia hanya ingin mengumumkan perang atas nama kejujuran dan ketepatan terhadap
nilai-nilai yang sekarang sudah diterima. Kemauan untuk menguasai adalah
dorongan yang pokok bagi manusia dan akhirnya dorongan itu akan mencetuskan
moralitas tuan dan sedikit orang-orang yang
luar biasa yang ia namakan superman atau overman. Superman
adalah orang yang benar-benar bebas, baginya tidak ada sesuatu yang terlarang;
ia adalah orang yang mempunyai passi dan gerak, dan passi-nya
hanya diatasi oleh akalnya yang tinggi (Titus dkk., 1984: 389—391).
Sumbangan Nietzsche yang pokok adalah menghadapkan manusia kepada
akibat-akibat kehidupan di dunia di mana tidak ada nilai dan tujuan yang tetap.
Pandangan nihilis ini telah tercermin dalam sastra dan seni yang melukiskan
rasa putus asa dan tidak adanya arti dalam dunia sekarang. Nietzsche adalah salah
satu dari orang-orang yang melihat bahaya dalam abad teknik dan industri yang
telah tidak mengindahkan tuntutan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan.
Walaupun begitu, pandangan Nietzsche tersebut telah membawakan bahaya-bahaya
baru yang besar juga (Titus dkk., 1984: 391).
3.
Karl Jaspers
(1883—1969)
Karl Jaspers |
Manusia itu selalu lebih daripada apa yang ia merasa mengetahuinya. Dalam
menyelidiki arti atau arah alam, kita dapat memilih suatu pilihan yang ekstrem
dengan hanya menekankan kepada sains objektif; kita dapat memilih pendekatan
yang sebaliknya dengan menekankan kepada subjek atau jiwa dan menerima beberapa
bentuk idealisme. Jaspers berpendapat bahwa materi, kehidupan, jiwa, dan akal
merupakan hal-hal yang berbeda antara satu dan lainnya dari segi kualitas, dan
tidak dapat disimplifikasi dalam istilah yang umum. Di samping jalan sains
objektif dan jalan metafisik, terdapat pendekatan melalui pemilihan tentang
eksistensi personal. Di sini terdapat tiga bidang untuk diselidiki yaitu
kesadaran yang langsung tentang jiwa (selfhood), komunikasi manusia
dengan teman-temannya dalam kehidupan sosial dan bermacam-macam struktur
sejarah kehidupan masyarakat—etika, hukum, keluarga, negara, dan lain-lainnya.
Jaspers banyak terpengaruh oleh tulisan-tulisan Kierkegaard dan membicarakan
persoalan bagaimana orang dapat mengekspresikan keyakinan filsafat (philosophical
faith) yang dapat memungkinkannya untuk mencapai persatuan mistik (mistical
union) dengan kehidupan yang mendalam (Titus dkk., 1984: 391—392).
Jaspers berkata, dalam manusia kita menemukan aku empiris (empirical
self) yang sudah dikondisikan oleh sejarah. Aku telah dikondisikan
oleh latar belakang fisik dan fisiologis serta lingkungan kebudayaan. Ini
adalah aku yang diselidiki oleh ilmu-ilmu seperti psikologi; tetapi
terdapat jurang antara penemuan psikologi objektif dan pengalaman-dalam manusia
yang intim tentang cinta dan dengki, kegembiraan dan tragedi, aspirasi dan
kegelisahan. Terdapat juga suatu Aku otentik yang tidak dapat
diungkapkan oleh sains. Aku otentik itu memberi arti kepada kehidupan.
Sebagai perorangan, kita memiliki eksistensi sementara—kita hidup dalam waktu—akan
tetapi kita tidak bersifat ”Sementera” semata-mata; kita merasakan keabadian
eksistensial. Penerobosan aku
otentik kepada proses sejarah dan empiris telah memungkinkan pilihan dan
kebebasan (Titus dkk., 1984: 392).
Subjektivitas dan objektivitas merupakan dua bagian dari realitas.
Subjektivitas bukan suatu fase yang lewat atau hasil sampingan dari
objektivitas. Di dalam manusia terdapat napas Zat yang transenden[7]
dan ia harus berjuang, dengan mengatasi segala kesulitan, untuk mempertahankan
pandangannya yang dalam dan kebebasannya. Akan tetapi, eksistensi individual
hanya dapat dikembangkan dan disempurnakan melalui kehidupan dalam masyarakat
dan hubungan dengan sesama makhluk. Kita tidak dapat mengatakan apakah watak
alam itu, dan tidak dapat memahami wujud dengan sempurna. Akan tetapi, dengan
bantuan akal (intellegence) kita dapat meneruskan usaha untuk memahami
serta menderita dalam usaha tersebut dengan kesabaran (Titus dkk., 1984: 392).
4.
Gabriel Marcel
(1889—1973)
Gabriel Marcel |
Marcel berkata, ”Unsur yang dinamis dalam filsafat saya, pada umumnya dapat
dilihat sebagai perlawanan yang gigih dan tidak kenal lelah terhadap jiwa
abstraksi” (Marcel, 1952: 1; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 393). Dengan
begitu Marcel menentang rasionalisme yang mengangkat akal di atas kehidupan dan
pengalaman; ia juga menentang emiprisme yang menjurus ke arah sebaliknya dan
menganggap manusia sebagai makhluk yang semata-mata mengandalkan persepsi
indrawi. Marcel mengatakan bahwa dunia kita adalah ”dunia yang pecah” (broken
world) yang telah kehilangan kesatuan dan berada dalam perang dengan
dirinya sendiri. Ia sangat kritis terhadap beberapa hal yang terjadi dalam masyarakat
massa dan cenderung menghilangkan kepribadian (depersonalize) manusia,
menganggap remeh kekhususan (privacy), persaudaraan, dan kreativitas (Titus
dkk., 1984: 393).
Ada dua hal dalam pemikiran Marcel yang harus kita ketahui jika kita ingin
mengerti arah pikirannya. Pertama, adalah perbedaan antara pemikiran
pertama (first reflection) dan pemikiran kedua (second reflection).
Yang pertama adalah pemikiran orang di jalan, dan juga orang-orang ahli teknik
dan sains. Cara berpikir tersebut memisahkan antara subjek dan objek dan
melihat benda dari luar sebagai objek untuk penelitian ilmiah. Pemikiran kedua adalah
usaha pikiran manusia untuk dapat memasuki bidang wujud. Ini adalah pemikiran
filosofis yang sudah lebih sadar sehingga bisa menjadi saksi atas kehadiran wujud.
Manusia dapat melakukan intuisi atau pemahaman yang tidak indrawi. Pengetahuan
dapat diperoleh melalui pemikiran filosofis, termasuk di dalamnya metafisik,
dan juga melalui metode-metode objektif dari beberapa sains khusus (Titus dkk.,
1984: 393).
Kedua, adalah perbedaan antara ”mempunyai” (having) dan ”ada” (being).
”Mempunyai” mengandung arti hubungan antara aku dan benda di luar diriku,
benda yang tidak bersandar kepadaku. Kata ”mempunyai” hanya dapat
menunjukkan pemilihan, atau menunjukkan hubungan—dalam atau luar seperti jika aku
berkata ”Aku mempunyai badan”. Di lain pihak, wujud (being) meliputi
jawaban ”Aku ini apa” dan tidak hanya jawaban kepada: Aku mempunyai apa?
Being menyelam ke lubuk watak aku dan mengandung arti partisipasi
dan trasendensi daripada sekadar eksistensi di tingkat fisik. Seseorang yang
hidup tidak dapat melenyapkan ”mempunyai” dari kehidupannya, dan hal ini sama
sekali tidak diinginkan. Akan tetapi, akan timbul bahaya jika seseorang
menekankan bidang ”mempunyai” pada pengalaman-pengalamannya. Untuk mengubah
tekanan dari ”mempunyai” kepada ”ada”, seseorang perlu mengalami rasa cinta;
cinta dalam arti menundukkan aku kepada realitas yang tinggi, realitas
ada dalam perasaan aku yang sedalam-dalamnya, lebih benar daripada aku.
Ini adalah intisari dari wujud (Titus dkk., 1984: 393—394).
Konsep-konsep pokok yang terdapat dalam filsafat Marcel adalah konsep
partisipasi, transendensi, dan wujud (being). Orang yang berpikir
berusaha mengatasi dunia yang pecah ini dan bangun dari tingkat ”tidak penting”
kepada tingkat ”penting”. Ia harus memulai dengan kesadaran bahwa ia di dalam
situasi yang konkret, terikat kepada badan, tenggelam dalam materi dan proses
sejarah. Ia akan berkata, ”Badanku bukan di luar diriku, aku
tidak bebas darinya”; tetapi ”Aku adalah lebih dari sekadar satu badan”.
Dengan badan aku hidup di dunia dan aku selalu berhubungan
perasaan dengan dunia sekitarku. Marcel memakai perkataan ”inkarnasi”
untuk menunjukkan hubungan manusia dengan alam. Aku ini berinkarnasi
dalam badanku, dan dengan begitu alam itu terekspresikan dalam diriku.
Manusia adalah satu bagian dari alam objektif, tetapi ia lebih daripada sekadar
”benda”, ia adalah ”satu-satunya makhluk yang dapat membuat janji”. Ekspresi
ini adalah kata-kata Nietzsche yang dengan tepat menggambarkan segi nonobjektif
dari watak manusia yang ingin ditekankan oleh Marcel (Titus dkk., 1984: 394).
Marcel ingin menghindari bermacam-macam dualisme. Pembedaan tradisional
antara subjek dan objek adalah sangat gersang dan apek. Realitas adalah
transubjektif dan transobjektif. Seorang yang ikut main adalah berlawanan
dengan orang yang menonton. Si penonton bersifat pasif dan tidak terbuka kepada
situasi. Si pemain membiarkan dirinya terbawa ke arah yang ia lawan, agar
permusuhan dapat diatasi. Perasaan (feeling) dan pemikiran (contemplation)
adalah cara-cara partisipasi. Dari satu segi kita dalam hubungan dan interaksi
dengan dunia benda yang objektif. Di lain segi, objektivitas yang ekstrem telah
ditingkatkan dan melalui doa, meditasi, dan kontemplasi, kita akan dapat
bertemu dengan realitas yang transenden dan otentik. Suatu aku yang
terbatas dan konkret dapat menghubungi Tuhan, Zat yang Hidup dan bersifat personal
(Titus dkk., 1984: 394).
5.
Jean-Paul Sartre
(1905—1981)
Jean-Paul Sartre |
Sartre mula-mula bekerja sebagai penulis
bebas, mengajar filsafat selama lima tahun, ikut dalam Perang Dunia II dan
Gerakan Pembebasan Perancis. Walaupun ia termasyhur karena sandiwara, cerita
pendek, dan makalah-makalahnya, tetapi karya filsafatnya yang pokok Being
and Nothingness telah menghasilkan pengakuan dunia kepadanya sebagai
filsuf. Dalam suatu tulisan yang pendek dan untuk umum, yaitu Existensialism
and Humanism, Sartre berkata, ”Eksistensialisme, menurut kami, adalah suatu
doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia; ia adalah suatu doktrin yang
mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan
lingkungan dan subjektivitas manusia.” (Sartre, 1946; seperti dikutip Titus
dkk., 1984: 394).
Sartre mengikuti Nietzsche dalam
mengingkari adanya Tuhan; bahkan ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki wataknya yang semestinya. Ia harus
membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai untuk kehidupannya. Dengan
itu maka: ”Tidak ada watak manusia, oleh karena itu tidak ada Tuhan yang
memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekadar ada. Bukan karena ia
itu sekadar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan
sesudah meloncat ke dalam eksistensi.” (Sartre, 1946: 29; seperti dikutip Titus
dkk., 1984: 394). Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia;
manusia harus bersandar kepada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab
sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya (Titus dkk., 1984: 394).
Bagi Sartre, manusia memiliki kemerdekaan
untuk membentuk dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Situasi manusia mungkin
tidak mengandung arti, tidak masuk akal (absurd) dan tragis, tetapi ia
masih dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan
keberanian; dan ia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Karena takdir
manusia itu ditanganinya sendiri, maka harapannya adalah untuk mengadakan
pilihan dan tindakan supaya ia dapat hidup (Titus dkk., 1984: 394—395).
Dalam beberapa hal, Sartre menekankan
kepada watak hidup yang menyedihkan. Manusia dalam keadaan sendirian mengalami
kekhawatiran dan duka-cita; ia takut kepada ”ketiadaan” (nothingness)
dan kematian yang menunggunya. Orang lain adalah manusia yang tidak
memedulikannya atau musuh yang ingin memiliki dan menguasainya. Dalam sandiwaranya
yang berjudul No Exit, seorang pemainnya melukiskan neraka,
Kau ingat apa yang
dikatakan kepada kita tentang kamar siksaan, api belerang, serta lumpur panas.
Semua itu adalah dongengan-dongengan dari istri-istri tua. Tidak diperlukan
pengupak api yang membara. Neraka adalah orang-orang lain, selain dari diri
sendiri.
Kebanyakan orang menipu diri sendiri.
Mereka berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab mereka sendiri kepada
faktor-faktor warisan dan lingkungan yang menentukan, kepada kemauan ketaatan
yang lebih tinggi, kepada massa atau sekelompok orang-orang di mana rasa
tanggung jawab pribadi akan hilang. Walaupun manusia merasakan dirinya sebagai
terbagi-bagi, dan masing-masing bagian bertentangan dengan bagian yang lain,
tetapi ia tetap bebas dan oleh karena itu bertanggung jawab tentang hidupnya
dan keputusan-keputusannya. Kebebasan tersebut, menurut Sartre, memberikan rasa
kehormatan kepada dirinya dan menyelamatkannya dari ”sekadar menjadi objek”:
Akibat pokok dari
uraian-uraian kita yang lalu adalah, karena manusia itu dihukum untuk menjadi
bebas, maka ia membawa beban seluruh dunia di atas pundaknya, ia bertanggung
jawab untuk dunia dan untuk dirinya sendiri sebagai jalan ke ”ada”.
Pertanggungjawaban yang mutlak ini bukannya sikap ”menyerah”, tetapi
persyaratan yang logis dari akibat-akibat klebebasan. Karena itu, dalam
kehidupan ini tidak ada yang dinamakan kecelakaan; suatu malapetaka yang
terjadi secara mendadak serta melibatkan diriku di dalamnya, semua itu tidak
berasal dari luar. Jika aku terkena mobilisasi untuk perang, maka perang itu
adalah perangku; perang itu adalah dalam citraku; dan aku berhak menerimanya.
Aku berhak menerimanya, pertama karena aku dapat menghindarkannya, dengan bunuh
diri atau dengan desersi; kemungkinan-kemungkinan yang sangat menentukan itu
harus selalu kita hadapi jika kita memikirkan situasi. Karena tidak
menghindarkannya, berarti aku telah memilihnya (Sartre, 1956: 489, 553—554;
seperti dikutip Titus dkk., 1984: 397).
Maksud dari perjuangan manusia adalah
kesadaran dan keinsafan yang tinggi yang dapat mengunjungi mereka yang bebas
dan bertanggung jawab. Bagi Sartre, seorang individu itu merupakan contoh
manusia yang menyedihkan dan hidup sendirian. Manusia harus melihat kepada
dirinya karena Tuhan tidak ada; dan alam tidak mempunyai tujuan atau arti
(Titus dkk., 1984: 398).
Pandangan Sartre
tentang ateisme adalah sangat kaku sehingga tampaknya telah mendorong banyak
orang kepada agama. Ini sudah semestinya. Akan tetapi pilihan seseorang adalah
sangat berat; manusia sebagai makhluk yang sepenuhnya problematik, ia tidak
dapat memenuhi kesanggupan-kesanggupannya yang sangat penting dengan rasa puas
dan aman. Hal tersebut mungkin karena dalam dunia modern yang selalu
berevolusi, kebebasan seperti yang disajikan oleh Sartre akan merupakan
satu-satunya kebebasan yang dialami oleh manusia. Karena masyarakat menjadi
lebih totaliter, maka pulau-pulau kebebasan menjadi lebih kecil dan terputus
dari daratannya dan dari pulau-pulau lainnya. Ini berarti bahwa manusia itu terputus
dari pengaruh timbal balik dari alam atau masyarakat manusia lainnya (Barret,
1962: 263; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 394).
Penutup
Sebagai penutup dapat disimpulkan tujuh
hal sebagai berikut. Pertama, filsafat eksistensialisme memiliki tingkat
kerumitan tersendiri yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan konsepsi
di antara sekian banyak filsafat yang biasa dikelompokkan ke dalam
eksistensialisme dan adanya beberapa tokoh eksistensialis tidak menuangkan
gagasannya dalam suatu tulisan yang terorganisasi dalam sistematika yang baik
dan teratur.
Kedua,
filsafat eksistensialisme pada kenyataannya telah menarik perhatian banyak
seniman untuk berkarya dan menyandarkan kedalaman estetika karyanya pada
konsepsi filsafat eksistensialisme. Ketiga, filsafat eksistensialisme
adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan
masyarakat modern, terhadap alam yang impersonal dan gerakan massa pada zaman
sekarang, terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, atau
lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke
dalam kolektif atau massa.
Keempat,
filsafat eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan
mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Kelima, filsafat eksistensialisme
menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, yakni pengalaman
kesadaran yang dalam dan langsung. Keenam, penekanan terhadap pentingnya
eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawakan penekanan terhadap
pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Ketujuh, tokoh-tokoh
terkemuka filsafat eksistensialisme seperti Kierkegaard, Nietzsche, Jaspers,
Marcel, dan Sartre sangat menekankan arti pentingnya subjektivitas yang
dibarengi dengan keseimbangan antara kemerdekaan dan tanggung jawab dalam
menentukan eksistensi kemanusiaan dan menolak segala bentuk pengotakan dalam
sistem-sistem yang menghilangkan personalitas manusia.∎
Daftar Pustaka
Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis,
Cet. IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Camus, Albert. 1985. Sampar,
Cet. I. Alih bahasa oleh Nh. Dini dari La Peste. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Hartoko, Dick. 1986. Tonggak
Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Junus, Umar. 1985. Dari
Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.
Karyanto, Uum G. 2003.
”Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi” dalam Direktorat
Pendidikan Dasar dan Menengah. 2004. 23 Naskah Terbaik LMKS 2003. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra,
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III Cet. 2.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Titus, Harold H.,
Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat,
Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy.
Jakarta: Bulan Bintang.
[1] Cetakan III (Jakarta: Djambatan, 1983)
[2] Artikel tersebut dimuat dalam buku 23
Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2003 (Jakarta: Bagian Proyek
Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2004) h. 33—47. Sekarang
lembaga ini berubah nama menjadi Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika
Jakarta, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (penulis).
[3] Nama lengkapnya adalah Nurhayati Sri
Hardini Siti Nukatin. Ia novelis feminis Indonesia yang lahir di Semarang, 29
Februari 1936. Novelnya antara lain: Pada Sebuah Kapal (1972), La
Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-Orang Tran (1983), Pertemuan
Dua Hati (1986), dan Hati yang Damai (1998). Ini belum termasuk
karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
[4] Albert Camus adalah sastrawan dunia
kelahiran Mondovi (sekarang: Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Karya-karyanya
antara lain Le Mythe de Sisyphe (1942), L Etranger (1942), Caligula
(1944), La Malentendu (1944), La Peste (1947), L Etat de Siege
(1948), Lettres a un Ami Allemand (1948), Les Justes (1950), L
Homme Revolte (1951), La Chute (1956), L Exil et Le Royaume
(1957), dan Le Premier Homme (tidak selesai, diterbitkankan oleh
putrinya pada tahun 1994). Pada tahun 1957 ia dianugerahi Penghargaan Nobel
dalam Sastra. Ia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin,
5 Januari 1960.
[5] Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky adalah
salah seorang pengarang terbesar Rusia. Ia lahir di Moskwa, 11 November 1821
dan meninggal dunia di St. Petersburg, 9 Februari 1881. Karya-karya utamanya
yang telah diterbitkan dalam bahasa Inggris antara lain adalah Poor Folk
(1846), The Double: St. Petersburg Poem (1846), Netochka Nezvanova
(1849), The Village of Stepanchikovo (1859), The Insulted and
Humiliated (1861), The House of Dead (1862), A Nasty Story
(1862), Notes from Underground (1864), Crime and Punishment
(1866), The Gambler (1867), The Idiot (1868),The Possessed
(1872), The Raw Youth (1875), dan Karamazov Brothers (1880).
[6] Ungkapan yang dapat dipercaya,
disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya (penulis).
[7] Di luar segala kesanggupan manusia
(penulis).
[8] Simone de Beauvoir lahir
di Paris, 9 Januari 1908 – meninggal di Paris, 14 April 1986. Ia dikenal sebagai tokoh feminisme modern dan ahli filsafat yang terkenal pada awal abad ke-20
dan juga merupakan pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan
hal ilmu sosial. Ia dikenal karena karyanya dalam politik, filsafat, eksistensialisme, dan feminisme, terutama karya Le Deuxième Sexe yang diterbitkan
tahun 1949.