March 23, 2014

Selayang Pandang Filsafat Eksistensialisme

Pendahuluan
Pada tahun 2003 saya menulis sebuah artikel berjudul ”Resepsi atas Ziarah[1] Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi”[2] yang isinya mendeskripsikan hasil analisis reseptif atas novel yang terbit pertama kali tahun 1972 itu. Kerja analisis tersebut telah ”memaksa” saya untuk berupaya memahami secara relatif memadai tentang seluk-beluk filsafat eksistensialisme yang sejak awal pembacaan telah saya asumsikan memengaruhi ekstrinsikalitas novel tersebut. Persepsi yang mengemuka pada saat itu adalah filsafat eksistensialisme memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Kerumitan itu antara lain karena terdapat perbedaan-perbedaan konsepsi di antara sekian banyak filsafat yang biasa dikelompokkan ke dalam eksistensialisme. Sebab lainnya adalah beberapa tokoh eksistensialis tidak menuangkan gagasannya dalam suatu tulisan yang terorganisasi dalam sistematika yang baik dan teratur.
Filsafat eksistensialisme pada kenyataannya telah menarik perhatian banyak seniman untuk berkarya dan menyandarkan kedalaman estetika karyanya pada konsepsi filsafat eksistensialisme. Beberapa hasil sastra—khususnya sastra modern—misalnya, telah terpengaruh oleh filsafat ini, termasuk dalam tema-tema tentang eksistensi manusia. Nh. Dini[3] (1985: v) mencatat bahwa pada tahun 1952 dunia sastra diguncang oleh polemik mendidih antara dua raksasa eksistensialisme: Albert Camus[4] dan Jean-Paul Sartre. “Aku memberontak, jadi aku ada,” kata Camus yang pada waktu itu berusia 39 tahun. Sartre (47 tahun) berpendapat, “Aku berpikir, jadi aku ada”.
Kompleksitas filsafat eksistensialisme sebagaimana terpresentasi dalam ilustrasi di atas adalah menarik untuk ditelusuri secara lebih mendalam dalam upaya kita untuk lebih memahami filsafat yang kontroversial—baik pada saat kemunculannya maupun pada saat sekarang—ini. Berkaitan dengan itu, tulisan ini diupayakan untuk mendeskripsikan hal-ihwal filsafat eksistensialisme dan pandangan beberapa tokoh utamanya.
Beberapa Sifat Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme tersaji di hadapan kita dengan memperlihatkan sifat-sifat yang mengundang perhatian kita. Sifat-sifat itu yang diperlihatkan itu meliputi bahwa filsafat ini (1) pada awalnya merupakan gerakan protes, (2) mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit, (3) meyakini pentingnya eksistensi, (4) menekankan pengalaman subjektif manusia, dan (5) mengakui kemerdekaan dan pertanggungjawaban. Kelima sifat tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.     Gerakan Protes
Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan sesuatu sistem filsafat secara khusus. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa dikelompokkan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi meskipun begitu terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis.
Pertama, eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Dalam satu segi, eksistensialisme merupakan suatu protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari filsafat, khususnya pandangan yang spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan Hegel. Dalam ”sistem-sistem” tersebut jiwa individual atau si pemikir, hilang dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal. Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep ”akal” dan ”alam” yang ditekankan pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 (Titus dkk., 1984: 382).
Walter Kauffman (ed.) dalam bukunya, Existensialism from Dostoevsky to Sartre (1956: 12) mengungkapkan bahwa penolakan untuk mengikuti suatu aliran; penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem; rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan; semua itu adalah pokok dari eksistensialisme (Titus dkk., 1984: 382). Soren Kierkegaard (1813—1855), seorang pemikir yang dianggap sebagai pendiri eksistensialisme, pernah pula mengatakan bahwa usaha untuk menuangkan kenyataan ke dalam suatu sistem, ke dalam kotak-kotak atau kategori-kategori, adalah perkosaan terhadap kenyataan karena kenyataan itu adalah konkret, individual, dan akhirnya manusia konkret itu hanya dapat dimengerti dalam hubungannya yang paling pribadi dengan Tuhan; dalam dialog dengan Tuhan (Hartoko, 1986: 66).
Kedua, eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan terhadap gerakan massa pada zaman sekarang. Masyarakat industri cenderung menundukkan orang-seorang kepada mesin; manusia adalah dalam bahaya menjadi alat, komputer, atau objek. Saintisme hanya melihat tindakan luar dari manusia dan menginterpretasikan manusia hanya sebagai satu bagian dari proses fisik.
Ketiga, eksistensialisme juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, atau lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke dalam kolektif atau massa (Titus dkk., 1984: 382).
2.  Diagnosis tentang Kedudukan Sulit Manusia
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Dalam hal ini, Paul Tillich dalam artikelnya, ”Existensialist Aspect of Modern Man” yang dimuat dalam buku Carl Michaelson, Christianity and the Existensialists (New York: Scribners, 1956), mengungkapkan bahwa eksistensialisme merupakan penekanan kembali terhadap beberapa pikiran yang terdahulu. Beberapa pengikut eksistensialisme mengatakan bahwa gerakan tersebut bukan hanya bersifat ”lama” dan ”modern” akan tetapi bersifat ”abadi”. Eksistensialisme sebagai suatu unsur yang universal dalam segala pemikiran adalah usaha manusia untuk melukiskan eksistensinya serta konflik-konflik eksistensi tersebut, asal mula eksistensi tersebut, serta upaya untuk mengatasinya. Di mana saja kedudukan manusia sulit dilukiskan baik secara teologi maupun secara filsafat, baik secara puitis atau secara seni; di situlah kita mendapatkan unsur-unsur eksistensialis (Titus dkk., 1984: 383).
Kalau eksistensialisme hanya menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia, maka ia terdapat juga dalam agama Yahudi, Kristen, dan juga terdapat di dalam cara yang dilakukan oleh filsuf seperti Socrates dalam menganalisis dan memahami diri sendiri. Dalam arti ini eksistensialisme boleh dikatakan filsafat lama dan juga filsafat modern. Sebagai gerakan modern, eksistensialisme tersohor hanya pada abad ke-20. Pada abad ke-19, beberapa pemikir yang kesepian seperti Kierkegaard,  Nietzsche, Dostoyevsky[5], meneriakkan protes mereka dan mencatatkan perhatian mereka kepada kondisi manusia. Selama abad ke-20, ekspresi perhatian terhadap perasaan keterasingan manusia serta kehilangan arti hidup, menjadi teriakan umum. Dalam istilah mereka, manusia tidak merasa berada di rumah di dalam alam di mana ia harus membuat rumah (Titus dkk., 1984: 383).
3. Keyakinan bahwa Eksistensi adalah yang Terpenting
Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong adalah ”untuk hidup” dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang manusia diakui seperti itu, ia akan memeroleh arti dan makna dalam kehidupan. Tempat bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya yang langsung; dan kesadaran tersebut tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam abstraksi. Pemikiran yang abstrak cenderung menjadi impersonal dan menjauhkan seseorang dari rasa manusia yang konkret dan rasa berada dalam situasi manusia. Realitas atau wujud (being) adalah eksistensi yang terdapat dalam ”I” dan bukan dalam ”it”. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah dalam eksistensi seorang pemikir. Bagi filsuf Denmark, Soren Kierkegaard umpamanya, manusia yang menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan oleh akalnya adalah orang yang meletihkan dan tidak berpandangan jauh; ia gagal untuk memahami fakta yang elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni, melainkan ia adalah seorang-orang yang ada (existing individual) (Bretall, 1947; lihat Titus dkk., 1984: 383—384).
Kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; eksistensi menunjukkan kepada ”suatu benda yang ada di sini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Tetapi, bagi kelompok eksistensialis, kata kerja ”to exist” mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada kata kerja ”to live”. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong dan tanpa arti bahwa ”Ia tidak hidup, ia hanya ada”. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan, ”Orang itu tidak ada, ia hanya hidup”. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang (Titus dkk., 1984: 384). Junus (1985: 38) menambahkan, eksistensialisme menginginkan manusia bertindak sebagai manusia dengan memberi reaksi terhadap segala sesuatu yang berlaku; manusia adalah sesuatu yang dalam bahasa Inggris dinyatakan sebagai being-for-itself (ada-bagi-dirinya) untuk menunjukkan kesadaran (Bertens, 1996: 103).
Istilah esensi adalah sebalik dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu. ”Kita membedakan antara Benda itu apa?, dan Itukah benda itu?. Yang pertama adalah esensi, yang kedua adalah eksistensi. Benda yang saya pegang di tangan saya, esensinya adalah pensil. Dan pensil ini, yang saya rasakan dengan indra saya, ada (Exist)” (Kuhn 1949: 1; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 384). Jika seseorang telah memahami ide atau konsep esensi suatu benda, ia akan dapat memikirkannya tanpa memedulikan tentang adanya. Bagi Plato dan beberapa pemikir lainnya konsep ”manusia” mempunyai realitas yang lebih daripada seorang individu manusia; mereka mengatakan bahwa partisipasi dalam ide atau bentuk (form) atau esensi, yakni kemanusiaan, adalah yang menjadikan seseorang itu manusia. Para eksistensialis menolak pandangan Plato tersebut dan mengatakan bahwa ada suatu hal yang tidak dapat dikonsepsikan, yaitu tindakan pribadi untuk ada (personal act of existing). Mereka menegaskan bahwa eksistensi adalah keadaan yang pertama (Titus dkk., 1984: 384).
Jean-Paul Sartre, penulis dan filsuf Perancis mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan ”eksistensi sebelum esensi” (”Existence comes before essence”) adalah dasar bersama bagi kaum eksistensialis, tetapi filsuf eksistensialis lainnya tidak mengatakan begitu. Apakah arti eksistensi sebelum esensi? Sartre menerangkan, ”Jika kita melihat sebuah pisau kertas, kita tahu bahwa pisau tersebut telah dibuat oleh seseorang yang mempunyai konsep pisau. Jadi, sebelum pisau itu jadi, pisau tersebut telah dikonsepsikan sebagai suatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan suatu proses tertentu pula. Dengan begitu maka esensi pisau kertas telah ada sebelum pisau itu ada. Mengenai manusia, keadaannya berlainan. Ia ada dan baru kemudian eksistensinya tampak” (Titus dkk., 1984: 382).
4. Tekanan kepada Pengalaman Subjektif Manusia
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subjektif. Eksistensialisme memandang bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran, dan keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia. Objektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung menganggap manusia sebagai nomor dua setelah benda. Kehidupan pada umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara objektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tak berarti. Sebailknya, eksistensialisme menekankan kehidupan-dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalamannya yang subjektif (Titus dkk., 1984: 385).
Eksistensialis mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman sunjektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang watak manusia, dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi[6]. Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang konkret dan intim dari pengelaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau bentuk-bentuk seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati manusia (Titus dkk., 1984: 385).
5. Pengakuan terhadap Kemerdekaan dan Pertanggungjawaban
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau lingkungan tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya, atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya (Titus dkk., 1984: 386).
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan; kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat memahaminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta mengekspresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan, serta bertanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang (Titus dkk., 1984: 386).
Beberapa Pemikir Eksistensialis
1.     Soren Kierkegaard (1813—1855)
Soren Kierkegaard
Soren Kierkegaard dianggap sebagai pendiri aliran eksistensialisme. Tulisan-tulisannya menjadi dorongan bagi anggota-anggota gerakan tersebut. Ia tidak pernah ingin menjadi pemikir yang sistematik, dan suka kepada pertentangan arti (paradox). Tulisan-tulisannya menjadi lebih sukar dipahami karena ia menggunakan komunikasi tidak langsung, sindiran, dan nama samaran (pseudonym). Sebagaimana halnya dengan kebanyakan pemikir eksistensialis, riwayat hidup Kierkegaard merupakan petunjuk untuk memahami filsafatnya. Kita tidak dapat memerikan riwayat hidupnya secara terperinci, tetapi kesedihannya, pendidikannya menurut aliran Protestan Ortodoks, serta lamarannya yang gagal telah memberi pengaruh yang besar kepada tekanannya terhadap eksistensi (Titus dkk., 1984: 386).
Bagi Kierkegaard, persoalan yang pokok dalam hidup adalah: Apakah arti menjadi seorang Kristen? Ia tidak memperhatikan ”wujud” secara umum, akan tetapi hanya memperhatikan eksistensi orang-seorang. Ia mengharap agar kita memahami agama Kristen yang otentik. Kierkegaard berpendapat bahwa ada dua musuh bagi agama Kristen. Pertama, filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Ia berpendapat bahwa pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau filsafat Hegel, akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kefakiran tentang arti kehidupan. Kierkegaard menyerang Hegel karena menulis tentang ”pikiran murni” (pure thought). Ia berkata, ”Pikiran murni adalah lucu karena merupakan pikiran tanpa pemikir”. Kierkegaard sangat tidak suka kepada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasionable) dan tidak suka pembelaan kepada agama Kristen yang menggunakan alasan-alasan objektif (Titus dkk., 1984: 388).
Musuh kedua dari agama Kristen adalah adat kebiasaan (convention), khususnya adat kebiasaan para pengunjung gereja. Seorang anggota gereja yang biasa dan tidak berpikir mendalam mungkin merupakan seorang pegawai negeri yang baik, tetapi ia tidak menghayati agamanya. Ia memiliki agama yang kosong (depersonalized) dan mungkin ia tidak mengerti apa arti seorang menjadi atau menganut agama Kristen. Kierkegaard sangat kritis terhadap dunia Kristen, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritual (ibadat-ibadat)-nya. Ia melawan kehadiran faktor perantara (pendeta, sakramen, gereja) yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Mahakuasa (Titus dkk., 1984: 388).
Menurut Kierkegaard ada suatu jurang yang tidak dapat dijembatani antara Tuhan dan alam; antara Pencipta dan makhluk. Tuhan berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Bagaimanakah seorang manusia menghilangkan jurang pemisah ini? Untuk membiarkannya dalam kesangsian berarti membiarkannya mengalami kekhawatiran eksistensial. ”Tiap orang yang belum merasakan pahitnya rasa putus asa telah kehilangan arti kehidupan; walaupun ia hidup dengan senang dan indah” (Kierkegaard, 1946: 175; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 388). Jika seseorang berada dalam kekhawatiran ia harus meninggalkan akal dan memeluk keyakinan. Dalam loncatan keyakinan yang dahsyat (leap of faith) manusia memeluk hal yang tidak masuk akal. ”Agama Kristen mengambil langkah raksasa—langkah menuju yang tidak masuk akal—di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristen (Kierkegaard, 1954: 217—218; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 388). Bagi Kierkegaard, iman adalah segala sesuatu. Manusia itu memihak kepada Kristen atau memusuhinya; memihak kepada kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu benar secara mutlak, atau salah secara mutlak. Ia berkata, ”Apa yang diperlukan oleh zaman kita bukan pemikiran, melainkan passi (passion). Pengetahuan tentang fakta tidak dapat mengatasi cacatnya pendorong atau kemauan (Titus dkk., 1984: 388—389).
2.     Friedrich Nietzsche (1844—1900)
Friedrich Nietzsche
Bahwa Nietzsche itu seorang eksistensialis atau bukan, tidak menjadi persoalan yang kita mungkin berbeda pendapat terhadapnya. Yang jelas, Nietzsche cukup besar pengaruhnya terhadap gerakan eksistensialisme. Di dalam sejarah eksistensialisme, Nietzsche menduduki tempat yang sangat penting. Kita tidak dapat mengikuti filsafat Jarpers, Heidegger, dan Sartre tanpa mengingat Nietzsche. Eksistensialisme tanpa Nietzsche adalah seperti Thomisme tanpa Aristoteles, tetapi mengatakan Nietzsche adalah seorang eksistensialis, sama dengan mengatakan bahwa Aristoteles itu pengikut Thomas Aquinas (Kauffman, 1956: 21—22; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 389).
Nietzsche dan Kierkegaard bersepakat dan berlainan pendapat dalam beberapa hal. Keduanya hidup tidak bahagia, sendirian, dan pengalaman-pengalaman mereka memberi warna kepada pandangan mereka tentang manusia dan alam. Keduanya menentang pemikiran rasionalis pada abad ke-19 dan sangat memperhatikan kedudukan manusia yang sulit. Mereka melihat dalam tiap orang suatu makhluk eksistensial yang kehidupannya tidak dapat dilukiskan dengan cara yang konvensional. Mereka mendapatkan banyak hal yang salah dalam tabiat manusia dan mereka menentang apa yang mereka namakan kedangkalan dari moralitas lapisan menengah. Akan tetapi, dari segi lain terdapat perbedaan tajam antara kedua pemikir tersebut. Problema Kierkegaard adalah bagaimana seseorang menjadi orang Kristen; Nietzsche menyerang agama Kristen dan mengatakan ”Tuhan telah mati”. Ia mengatakan bahwa agama Kristen adalah musuh akal dan problemanya adalah bagaimana caranya hidup sebagai seorang ateis (yang tidak percaya kepada Tuhan). Tekanannya adalah kepada kehidupan insting dan kekuasaan yang menurutnya telah diubah oleh kebudayaan yang hanya ingin menyenangkan orang banyak. Ia mengakui ”Kemauan untuk Berkuasa” sebagai pendorong manusia yang pokok. Ia ingin merintis jalan bagi superman yang menyandang nilai-nilai tinggi dan bukan keutamaan kelas menengah yang ditemukan Nietzsche dalam agama Kristen, demokrasi, dan moralitas borjuis abad ke-19 (Titus dkk., 1984: 389).
Apakah yang akan diberikan Nietzsche sebagai ganti moralitas tradisional yang ia anggap akan musnah? Ia tidak jelas dalam kritik dan serangannya. Ia berkata, ”Harus terjadi perubahan nilai” (transvaluation of all values). Akan tetapi, ia tidak ingin menciptakan daftar nilai-nilai baru. Dengan tranvaluation ia hanya ingin mengumumkan perang atas nama kejujuran dan ketepatan terhadap nilai-nilai yang sekarang sudah diterima. Kemauan untuk menguasai adalah dorongan yang pokok bagi manusia dan akhirnya dorongan itu akan mencetuskan moralitas tuan dan sedikit orang-orang yang  luar biasa yang ia namakan superman atau overman. Superman adalah orang yang benar-benar bebas, baginya tidak ada sesuatu yang terlarang; ia adalah orang yang mempunyai passi dan gerak, dan passi-nya hanya diatasi oleh akalnya yang tinggi (Titus dkk., 1984: 389—391).
Sumbangan Nietzsche yang pokok adalah menghadapkan manusia kepada akibat-akibat kehidupan di dunia di mana tidak ada nilai dan tujuan yang tetap. Pandangan nihilis ini telah tercermin dalam sastra dan seni yang melukiskan rasa putus asa dan tidak adanya arti dalam dunia sekarang. Nietzsche adalah salah satu dari orang-orang yang melihat bahaya dalam abad teknik dan industri yang telah tidak mengindahkan tuntutan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan. Walaupun begitu, pandangan Nietzsche tersebut telah membawakan bahaya-bahaya baru yang besar juga (Titus dkk., 1984: 391).
3.     Karl Jaspers (1883—1969)
Karl Jaspers
Satu di antara penyelidikan-penyelidikan yang sangat dalam tentang Nietzsche telah ditulis oleh Karl Jaspers. Jaspers mempunyai perhatian besar terhadap kehidupan yang baik dan jiwa yang mengambil keputusan-keputusan. Baginya filsafat adalah penunjuk jalan bagi kehidupan yang masuk akal dan pantas; filsafat adalah upaya pencarian yang terus-menerus, di mana hidup, merasakan, memutuskan, bertindak, dan menghadapi bahaya yang tidak dapat dianggap sepi. Perhatian Jaspers adalah persoalan yang semenjak dahulu kala, yakni soal ”wujud” (being), yang setelah masa Kierkegaard harus diselidiki dari filsafat eksistensi (Titus dkk., 1984: 391).
Manusia itu selalu lebih daripada apa yang ia merasa mengetahuinya. Dalam menyelidiki arti atau arah alam, kita dapat memilih suatu pilihan yang ekstrem dengan hanya menekankan kepada sains objektif; kita dapat memilih pendekatan yang sebaliknya dengan menekankan kepada subjek atau jiwa dan menerima beberapa bentuk idealisme. Jaspers berpendapat bahwa materi, kehidupan, jiwa, dan akal merupakan hal-hal yang berbeda antara satu dan lainnya dari segi kualitas, dan tidak dapat disimplifikasi dalam istilah yang umum. Di samping jalan sains objektif dan jalan metafisik, terdapat pendekatan melalui pemilihan tentang eksistensi personal. Di sini terdapat tiga bidang untuk diselidiki yaitu kesadaran yang langsung tentang jiwa (selfhood), komunikasi manusia dengan teman-temannya dalam kehidupan sosial dan bermacam-macam struktur sejarah kehidupan masyarakat—etika, hukum, keluarga, negara, dan lain-lainnya. Jaspers banyak terpengaruh oleh tulisan-tulisan Kierkegaard dan membicarakan persoalan bagaimana orang dapat mengekspresikan keyakinan filsafat (philosophical faith) yang dapat memungkinkannya untuk mencapai persatuan mistik (mistical union) dengan kehidupan yang mendalam (Titus dkk., 1984: 391—392).
Jaspers berkata, dalam manusia kita menemukan aku empiris (empirical self) yang sudah dikondisikan oleh sejarah. Aku telah dikondisikan oleh latar belakang fisik dan fisiologis serta lingkungan kebudayaan. Ini adalah aku yang diselidiki oleh ilmu-ilmu seperti psikologi; tetapi terdapat jurang antara penemuan psikologi objektif dan pengalaman-dalam manusia yang intim tentang cinta dan dengki, kegembiraan dan tragedi, aspirasi dan kegelisahan. Terdapat juga suatu Aku otentik yang tidak dapat diungkapkan oleh sains. Aku otentik itu memberi arti kepada kehidupan. Sebagai perorangan, kita memiliki eksistensi sementara—kita hidup dalam waktu—akan tetapi kita tidak bersifat ”Sementera” semata-mata; kita merasakan keabadian eksistensial. Penerobosan  aku otentik kepada proses sejarah dan empiris telah memungkinkan pilihan dan kebebasan (Titus dkk., 1984: 392).
Subjektivitas dan objektivitas merupakan dua bagian dari realitas. Subjektivitas bukan suatu fase yang lewat atau hasil sampingan dari objektivitas. Di dalam manusia terdapat napas Zat yang transenden[7] dan ia harus berjuang, dengan mengatasi segala kesulitan, untuk mempertahankan pandangannya yang dalam dan kebebasannya. Akan tetapi, eksistensi individual hanya dapat dikembangkan dan disempurnakan melalui kehidupan dalam masyarakat dan hubungan dengan sesama makhluk. Kita tidak dapat mengatakan apakah watak alam itu, dan tidak dapat memahami wujud dengan sempurna. Akan tetapi, dengan bantuan akal (intellegence) kita dapat meneruskan usaha untuk memahami serta menderita dalam usaha tersebut dengan kesabaran (Titus dkk., 1984: 392).
4.     Gabriel Marcel (1889—1973)
Gabriel Marcel
Gabriel Marcel, seorang eksistensialis Perancis, beragama Roma Katolik, memusatkan filsafanya, seperti Jaspers, kepada persoalan wujud. Tema yang sesuai bagi filsafat adalah predikamen (kedudukan yang sulit) manusia. Ia ingin menjawab dua pertanyaan besar: Siapa aku ini? dan apakah wujud itu? Walaupun ia menunjukkan sifat kurang percaya kepada sistem metafisik yang mengandung arti bahwa pemikiran telah sampai kepada tingkat di mana ia harus berhenti, tetapi ia tidak menghindari persoalan-persoalan metafisik. Ide-idenya biasanya disajikan secara informal dan tidak sistematis—dalam catatan-catatan hariannya dan sandiwara-sandiwaranya. Karangannya, The Mistery of Being (dalam dua jilid), adalah yang paling sistematis. Marcel berpendapat bahwa filsafat adalah ”usaha pencarian yang didorong oleh rasa luar biasa tentang kebutuhan dalam yang mendesak” dan ”rasa yang dalam tentang keresahan batin”. Filsafatnya tidak berusaha untuk memandang benda dengan cara yang objektif dan terpisah karena seorang filsuf harus selalu berhubungan dengan kenyataan yang ia hidup di tengahnya (Titus dkk., 1984: 392—393).
Marcel berkata, ”Unsur yang dinamis dalam filsafat saya, pada umumnya dapat dilihat sebagai perlawanan yang gigih dan tidak kenal lelah terhadap jiwa abstraksi” (Marcel, 1952: 1; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 393). Dengan begitu Marcel menentang rasionalisme yang mengangkat akal di atas kehidupan dan pengalaman; ia juga menentang emiprisme yang menjurus ke arah sebaliknya dan menganggap manusia sebagai makhluk yang semata-mata mengandalkan persepsi indrawi. Marcel mengatakan bahwa dunia kita adalah ”dunia yang pecah” (broken world) yang telah kehilangan kesatuan dan berada dalam perang dengan dirinya sendiri. Ia sangat kritis terhadap beberapa hal yang terjadi dalam masyarakat massa dan cenderung menghilangkan kepribadian (depersonalize) manusia, menganggap remeh kekhususan (privacy), persaudaraan, dan kreativitas (Titus dkk., 1984: 393).
Ada dua hal dalam pemikiran Marcel yang harus kita ketahui jika kita ingin mengerti arah pikirannya. Pertama, adalah perbedaan antara pemikiran pertama (first reflection) dan pemikiran kedua (second reflection). Yang pertama adalah pemikiran orang di jalan, dan juga orang-orang ahli teknik dan sains. Cara berpikir tersebut memisahkan antara subjek dan objek dan melihat benda dari luar sebagai objek untuk penelitian ilmiah. Pemikiran kedua adalah usaha pikiran manusia untuk dapat memasuki bidang wujud. Ini adalah pemikiran filosofis yang sudah lebih sadar sehingga bisa menjadi saksi atas kehadiran wujud. Manusia dapat melakukan intuisi atau pemahaman yang tidak indrawi. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pemikiran filosofis, termasuk di dalamnya metafisik, dan juga melalui metode-metode objektif dari beberapa sains khusus (Titus dkk., 1984: 393).
Kedua, adalah perbedaan antara ”mempunyai” (having) dan ”ada” (being). ”Mempunyai” mengandung arti hubungan antara aku dan benda di luar diriku, benda yang tidak bersandar kepadaku. Kata ”mempunyai” hanya dapat menunjukkan pemilihan, atau menunjukkan hubungan—dalam atau luar seperti jika aku berkata ”Aku mempunyai badan”. Di lain pihak, wujud (being) meliputi jawaban ”Aku ini apa” dan tidak hanya jawaban kepada: Aku mempunyai apa? Being menyelam ke lubuk watak aku dan mengandung arti partisipasi dan trasendensi daripada sekadar eksistensi di tingkat fisik. Seseorang yang hidup tidak dapat melenyapkan ”mempunyai” dari kehidupannya, dan hal ini sama sekali tidak diinginkan. Akan tetapi, akan timbul bahaya jika seseorang menekankan bidang ”mempunyai” pada pengalaman-pengalamannya. Untuk mengubah tekanan dari ”mempunyai” kepada ”ada”, seseorang perlu mengalami rasa cinta; cinta dalam arti menundukkan aku kepada realitas yang tinggi, realitas ada dalam perasaan aku yang sedalam-dalamnya, lebih benar daripada aku. Ini adalah intisari dari wujud (Titus dkk., 1984: 393—394).
Konsep-konsep pokok yang terdapat dalam filsafat Marcel adalah konsep partisipasi, transendensi, dan wujud (being). Orang yang berpikir berusaha mengatasi dunia yang pecah ini dan bangun dari tingkat ”tidak penting” kepada tingkat ”penting”. Ia harus memulai dengan kesadaran bahwa ia di dalam situasi yang konkret, terikat kepada badan, tenggelam dalam materi dan proses sejarah. Ia akan berkata, ”Badanku bukan di luar diriku, aku tidak bebas darinya”; tetapi ”Aku adalah lebih dari sekadar satu badan”. Dengan badan aku hidup di dunia dan aku selalu berhubungan perasaan dengan dunia sekitarku. Marcel memakai perkataan ”inkarnasi” untuk menunjukkan hubungan manusia dengan alam. Aku ini berinkarnasi dalam badanku, dan dengan begitu alam itu terekspresikan dalam diriku. Manusia adalah satu bagian dari alam objektif, tetapi ia lebih daripada sekadar ”benda”, ia adalah ”satu-satunya makhluk yang dapat membuat janji”. Ekspresi ini adalah kata-kata Nietzsche yang dengan tepat menggambarkan segi nonobjektif dari watak manusia yang ingin ditekankan oleh Marcel (Titus dkk., 1984: 394).
Marcel ingin menghindari bermacam-macam dualisme. Pembedaan tradisional antara subjek dan objek adalah sangat gersang dan apek. Realitas adalah transubjektif dan transobjektif. Seorang yang ikut main adalah berlawanan dengan orang yang menonton. Si penonton bersifat pasif dan tidak terbuka kepada situasi. Si pemain membiarkan dirinya terbawa ke arah yang ia lawan, agar permusuhan dapat diatasi. Perasaan (feeling) dan pemikiran (contemplation) adalah cara-cara partisipasi. Dari satu segi kita dalam hubungan dan interaksi dengan dunia benda yang objektif. Di lain segi, objektivitas yang ekstrem telah ditingkatkan dan melalui doa, meditasi, dan kontemplasi, kita akan dapat bertemu dengan realitas yang transenden dan otentik. Suatu aku yang terbatas dan konkret dapat menghubungi Tuhan, Zat yang Hidup dan bersifat personal (Titus dkk., 1984: 394).
5.     Jean-Paul Sartre (1905—1981)
Jean-Paul Sartre
Eksistensialisme dalam bentuknya yang sekarang telah muncul di Paris seusai Perang Dunia II. Mula-mula ia tampak sebagai mode filsafat. Sartre menulis, ”Karena eksistensialisme telah menjadi mode, maka orang banyak mengatakan dengan senang bahwa ahli musik atau pelukis ini adalah eksistensialis” (Sartre, 1946; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 396). Walaupun begitu, berkat makalah-makalah, sandiwara-sandiwara, dan novel-novel dari Sartre, Simone de Beauvoir[8], dan Albert Camus, eksistensialisme telah berhasil memperoleh lebih banyak daripada sekadar penerimaan yang cocok dengan mode (Titus dkk., 1984: 396).
Sartre mula-mula bekerja sebagai penulis bebas, mengajar filsafat selama lima tahun, ikut dalam Perang Dunia II dan Gerakan Pembebasan Perancis. Walaupun ia termasyhur karena sandiwara, cerita pendek, dan makalah-makalahnya, tetapi karya filsafatnya yang pokok Being and Nothingness telah menghasilkan pengakuan dunia kepadanya sebagai filsuf. Dalam suatu tulisan yang pendek dan untuk umum, yaitu Existensialism and Humanism, Sartre berkata, ”Eksistensialisme, menurut kami, adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia; ia adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subjektivitas manusia.” (Sartre, 1946; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 394).
Sartre mengikuti Nietzsche dalam mengingkari adanya Tuhan; bahkan ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki wataknya yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai untuk kehidupannya. Dengan itu maka: ”Tidak ada watak manusia, oleh karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekadar ada. Bukan karena ia itu sekadar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi.” (Sartre, 1946: 29; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 394). Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia; manusia harus bersandar kepada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya (Titus dkk., 1984: 394).
Bagi Sartre, manusia memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Situasi manusia mungkin tidak mengandung arti, tidak masuk akal (absurd) dan tragis, tetapi ia masih dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian; dan ia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Karena takdir manusia itu ditanganinya sendiri, maka harapannya adalah untuk mengadakan pilihan dan tindakan supaya ia dapat hidup (Titus dkk., 1984: 394—395).
Dalam beberapa hal, Sartre menekankan kepada watak hidup yang menyedihkan. Manusia dalam keadaan sendirian mengalami kekhawatiran dan duka-cita; ia takut kepada ”ketiadaan” (nothingness) dan kematian yang menunggunya. Orang lain adalah manusia yang tidak memedulikannya atau musuh yang ingin memiliki dan menguasainya. Dalam sandiwaranya yang berjudul No Exit, seorang pemainnya melukiskan neraka,
Kau ingat apa yang dikatakan kepada kita tentang kamar siksaan, api belerang, serta lumpur panas. Semua itu adalah dongengan-dongengan dari istri-istri tua. Tidak diperlukan pengupak api yang membara. Neraka adalah orang-orang lain, selain dari diri sendiri.
Kebanyakan orang menipu diri sendiri. Mereka berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab mereka sendiri kepada faktor-faktor warisan dan lingkungan yang menentukan, kepada kemauan ketaatan yang lebih tinggi, kepada massa atau sekelompok orang-orang di mana rasa tanggung jawab pribadi akan hilang. Walaupun manusia merasakan dirinya sebagai terbagi-bagi, dan masing-masing bagian bertentangan dengan bagian yang lain, tetapi ia tetap bebas dan oleh karena itu bertanggung jawab tentang hidupnya dan keputusan-keputusannya. Kebebasan tersebut, menurut Sartre, memberikan rasa kehormatan kepada dirinya dan menyelamatkannya dari ”sekadar menjadi objek”:
Akibat pokok dari uraian-uraian kita yang lalu adalah, karena manusia itu dihukum untuk menjadi bebas, maka ia membawa beban seluruh dunia di atas pundaknya, ia bertanggung jawab untuk dunia dan untuk dirinya sendiri sebagai jalan ke ”ada”. Pertanggungjawaban yang mutlak ini bukannya sikap ”menyerah”, tetapi persyaratan yang logis dari akibat-akibat klebebasan. Karena itu, dalam kehidupan ini tidak ada yang dinamakan kecelakaan; suatu malapetaka yang terjadi secara mendadak serta melibatkan diriku di dalamnya, semua itu tidak berasal dari luar. Jika aku terkena mobilisasi untuk perang, maka perang itu adalah perangku; perang itu adalah dalam citraku; dan aku berhak menerimanya. Aku berhak menerimanya, pertama karena aku dapat menghindarkannya, dengan bunuh diri atau dengan desersi; kemungkinan-kemungkinan yang sangat menentukan itu harus selalu kita hadapi jika kita memikirkan situasi. Karena tidak menghindarkannya, berarti aku telah memilihnya (Sartre, 1956: 489, 553—554; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 397).
Maksud dari perjuangan manusia adalah kesadaran dan keinsafan yang tinggi yang dapat mengunjungi mereka yang bebas dan bertanggung jawab. Bagi Sartre, seorang individu itu merupakan contoh manusia yang menyedihkan dan hidup sendirian. Manusia harus melihat kepada dirinya karena Tuhan tidak ada; dan alam tidak mempunyai tujuan atau arti (Titus dkk., 1984: 398).
Pandangan Sartre tentang ateisme adalah sangat kaku sehingga tampaknya telah mendorong banyak orang kepada agama. Ini sudah semestinya. Akan tetapi pilihan seseorang adalah sangat berat; manusia sebagai makhluk yang sepenuhnya problematik, ia tidak dapat memenuhi kesanggupan-kesanggupannya yang sangat penting dengan rasa puas dan aman. Hal tersebut mungkin karena dalam dunia modern yang selalu berevolusi, kebebasan seperti yang disajikan oleh Sartre akan merupakan satu-satunya kebebasan yang dialami oleh manusia. Karena masyarakat menjadi lebih totaliter, maka pulau-pulau kebebasan menjadi lebih kecil dan terputus dari daratannya dan dari pulau-pulau lainnya. Ini berarti bahwa manusia itu terputus dari pengaruh timbal balik dari alam atau masyarakat manusia lainnya (Barret, 1962: 263; seperti dikutip Titus dkk., 1984: 394).
Penutup
Sebagai penutup dapat disimpulkan tujuh hal sebagai berikut. Pertama, filsafat eksistensialisme memiliki tingkat kerumitan tersendiri yang disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan konsepsi di antara sekian banyak filsafat yang biasa dikelompokkan ke dalam eksistensialisme dan adanya beberapa tokoh eksistensialis tidak menuangkan gagasannya dalam suatu tulisan yang terorganisasi dalam sistematika yang baik dan teratur.
Kedua, filsafat eksistensialisme pada kenyataannya telah menarik perhatian banyak seniman untuk berkarya dan menyandarkan kedalaman estetika karyanya pada konsepsi filsafat eksistensialisme. Ketiga, filsafat eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern, terhadap alam yang impersonal dan gerakan massa pada zaman sekarang, terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, atau lain-lainnya yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan ke dalam kolektif atau massa.
Keempat, filsafat eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosis kedudukan manusia yang sulit. Kelima, filsafat eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, yakni pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Keenam, penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung jawab. Ketujuh, tokoh-tokoh terkemuka filsafat eksistensialisme seperti Kierkegaard, Nietzsche, Jaspers, Marcel, dan Sartre sangat menekankan arti pentingnya subjektivitas yang dibarengi dengan keseimbangan antara kemerdekaan dan tanggung jawab dalam menentukan eksistensi kemanusiaan dan menolak segala bentuk pengotakan dalam sistem-sistem yang menghilangkan personalitas manusia.


Daftar Pustaka 


Bertens, K.  1996. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Cet. IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Camus, Albert. 1985. Sampar, Cet. I. Alih bahasa oleh Nh. Dini dari La Peste. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hartoko, Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.

Karyanto, Uum G. 2003. ”Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi” dalam Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. 2004. 23 Naskah Terbaik LMKS 2003. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III Cet. 2. Jakarta: Pusat Bahasa.

Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I. Alih bahasa oleh H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy. Jakarta: Bulan Bintang.



[1] Cetakan III (Jakarta: Djambatan, 1983)
[2] Artikel tersebut dimuat dalam buku 23 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2003 (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Perpustakaan Sekolah dan Pelajaran Sastra, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2004) h. 33—47. Sekarang lembaga ini berubah nama menjadi Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (penulis).
[3] Nama lengkapnya adalah Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Ia novelis feminis Indonesia yang lahir di Semarang, 29 Februari 1936. Novelnya antara lain: Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-Orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Hati yang Damai (1998). Ini belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
[4] Albert Camus adalah sastrawan dunia kelahiran Mondovi (sekarang: Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Karya-karyanya antara lain Le Mythe de Sisyphe (1942), L Etranger (1942), Caligula (1944), La Malentendu (1944), La Peste (1947), L Etat de Siege (1948), Lettres a un Ami Allemand (1948), Les Justes (1950), L Homme Revolte (1951), La Chute (1956), L Exil et Le Royaume (1957), dan Le Premier Homme (tidak selesai, diterbitkankan oleh putrinya pada tahun 1994). Pada tahun 1957 ia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra. Ia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin, 5 Januari 1960.
[5] Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky adalah salah seorang pengarang terbesar Rusia. Ia lahir di Moskwa, 11 November 1821 dan meninggal dunia di St. Petersburg, 9 Februari 1881. Karya-karya utamanya yang telah diterbitkan dalam bahasa Inggris antara lain adalah Poor Folk (1846), The Double: St. Petersburg Poem (1846), Netochka Nezvanova (1849), The Village of Stepanchikovo (1859), The Insulted and Humiliated (1861), The House of Dead (1862), A Nasty Story (1862), Notes from Underground (1864), Crime and Punishment (1866), The Gambler (1867), The Idiot (1868),The Possessed (1872), The Raw Youth (1875), dan Karamazov Brothers (1880).
[6] Ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar-tidaknya (penulis).
[7] Di luar segala kesanggupan manusia (penulis).
[8] Simone de Beauvoir lahir di Paris, 9 Januari 1908 – meninggal di Paris, 14 April 1986. Ia dikenal sebagai tokoh feminisme modern dan ahli filsafat yang terkenal pada awal abad ke-20 dan juga merupakan pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan hal ilmu sosial. Ia dikenal karena karyanya dalam politik, filsafat, eksistensialisme, dan feminisme, terutama karya Le Deuxième Sexe yang diterbitkan tahun 1949.

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...