Pendahuluan
Dekonstruksi Bahasa
Dimuat dalam 25 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2007 (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
Membaca kumpulan puisi Kalung dari Teman karya Afrizal Malna[1]
mengantarkan kita pada satu pertanyaan elementer tentang puisi itu sendiri
dalam kaitannya dengan kenyataan konkret bahwa media puisi adalah bahasa: sejauh mana bahasa secara kreatif mungkin direkayasa untuk kepentingan estetis puisi?
Jawabannya mungkin sekali dikembalikan pada salah satu elan vital dunia reka
sastra, yaitu licentia poetica.
Penyair sebagai sang kreator puisi memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi
dan mengeksploitasi keseluruhan potensi kreatifnya.
Afrizal Malna, sebagaimana terpresentasi dalam
karya-karyanya, terlihat sangat menyadari kondisi yang demikian itu.
Karya-karya puisinya sangat eksploratif dan eksploitatif, dan ini
mengantarkannya menemukan gaya (style)
yang sangat tipikal, dalam pengertian karya-karyanya telah menjadi wahana
ekspresi puitik dengan gaya yang sangat bebas sekaligus personal. Dengan
pilihan gaya seperti itu, Afrizal telah dengan sadar mengambil risiko
puisi-puisinya hanya dapat dinikmati oleh kalangan yang sangat terbatas. Jika
dikaitkan dengan kenyataan bahwa puisi merupakan kesatuan formal dan semantis
yang di dalamnya terdapat bentuk komunikasi
antara penyair dan sidang pembaca, risiko terbesar yang dihadapi oleh
Afrizal adalah hambatan komunikasi dengan pembaca karena pesan dalam
puisi-puisinya telah mengalami proses deotomatisasi. Dalam kasus Afrizal,
proses deotomatisasi itu sangat intens sehingga pembaca menghadapi risiko
kesulitan dalam melakukan konkretisasi berdasarkan pemahaman terhadap unit-unit
arti yang tersedia dalam puisi-puisi itu.
Dalam tulisan ini diasumsikan bahwa salah satu penyebab
terjadinya proses deotomatisasi itu karena Afrizal—sadar atau tidak sadar—telah
melakukan dekonstruksi bahasa, khususnya dekonstruksi struktur semantik. Dalam
kaitan dengan asumsi tersebut, tulisan ini berusaha mendeskripsikan (1)
bagaimana dekonstruksi struktur semantik itu dilakukan oleh Afrizal, dan (2) bagaimana
implikasi proses dekonstruksi itu terhadap penciptaan efek puitik puisi-puisi
Afrizal dalam kumpulan puisi Kalung dari
Teman. Sebelum hal itu dilakukan, perlu diuraikan terlebih dahulu selayang
pandang tentang hakikat dekonstruksi bahasa itu sendiri dengan harapan dapat
memberikan landasan yang relatif memadai untuk mendukung kerja pendeskripsian
sebagaimana dimaksud di atas.
Dekonstruksi Bahasa
Pembicaraan tentang dekonstruksi bahasa mau tidak mau
mesti dikaitkan dengan semangat yang melahirkannya, yaitu gerakan postmodernisme.
Gerakan postmodernisme sampai saat ini masih mencari kejelasan forma dan
metodologinya. Sejauh ini kejelasan bukanlah ciri yang menonjol dari gerakan
ini. Hidayat[2],
misalnya, melansir beberapa pertanyaan yang pantas diajukan pada gerakan ini. Apakah
ia merupakan periode sejarah dari kebudayaan postmodernitas, atau justru hanya
merupakan mode masa kini? Apakah ini konsep filosofis, atau sastra dan
arsitektur masa sekarang, ataukah hanya merupakan perlawanan dan reaksi serta
oposisi terhadap modernisme? Apakah ini merupakan reaksi terhadap gaya seni
global dan fenomena sosial ataukah reaksi dan model kritik terhadap
epistemologi objektif modernisme?
Salah seorang tokoh postmodernisme yang patut
diperhitungkan adalah Jasques Derrida (1930—...), seorang filosof Perancis yang penuh kontroversi. Di antara
sekian gagasan filosofisnya adalah pandangannya mengenai ”logosentrisme” dan
”dekonstruksi”. Menurut Derrida[3], kemajuan dan proses kritik adalah sangat mungkin, tetapi hanya terlahir
dari dalam tradisi teks atau wacana tertentu. Proses kritik dari dalam tradisi
teks (wacana) itu disebutnya dengan istilah dekonstruksi
atau pembongkaran. Dekonstruksi itu
menampakkan aneka ragam aturan yang sebelumnya tersembunyi yang menentukan
teks. Satu hal yang dapat ditampakkan melalui proses dekonstruksi yang mendapat
perhatian khusus dalam filsafat Derrida adalah ”yang tak dipikirkan” dan ”yang
tak terpikirkan".
Menurut Derrida, yang paling menentukan dalam tradisi
pemikiran dan tradisi teks bukanlah hal yang positif, melainkan berbagai aturan
yang bersifat negatif, yaitu mengenai hal yang tidak dipikirkan atau tidak
dapat atau boleh dipikirkan. Melalui dekonstruksi, manusia bisa menyadari
ketentuan negatif itu dan meniadakannya.
Dekonstruksi yang dikembangkan Derrida dalam filsafatnya
itu didasarkan pada tiga asumsi dasar, yaitu (1) bahwa bahasa senantiasa
ditandai oleh ketidaktepatan makna, (2) bahwa mengingat ketidakstabilan dan
ketidaktepatan itu, tidak ada metode analisis yang memiliki klaim istimewa apa
pun atas otoritas dalam kaitannya dengan tafsir tekstual, dan (3) bahwa dengan
demikian, tafsir adalah kegiatan yang tak terbatas atau lebih mirip dengan
permainan daripada analisis seperti lazimnya kita pahami. Derrida menentang apa
yang dia anggap sebagai ”metafisika kehadiran”—suatu tradisi umum yang berlaku
dalam pemikiran Barat—yang berpandangan bahwa makna bisa diperoleh secara
utuh oleh para pengguna bahasa, dan
bahwa makna kata-kata hadir bagi kita di dalam pikiran kita ketika kita
berbicara atau menuliskannya, sehingga makna-makna itu bisa disampaikan kepada
orang lain dalam bentuknya yang tetap dan murni. Bagi Derrida, paham yang
demikian ini adalah ilusi[4]. Paham seperti itu disebut Derrida sebagai ”logosentrisme”.
Menurut Derrida, makna suatu bahasa harus dianggap
sebagai suatu proses yang berlangsung dalam keadaan perubahan terus-menerus,
tidak pernah sepenuhnya hadir ketika suatu kata digunakan, tetapi senantiasa
membedakan diri dari dirinya sendiri, sekaligus tertunda dari kemungkinan untuk
mencapai keutuhan. Kehadiran tidak merupakan suatu instansi independen yang
mendahului tuturan (ujaran) dan tulisan kita, tetapi sebaliknya ditampilkan
dalam tuturan (ujaran) dan tulisan kita dalam tanda yang kita pakai. Kata-kata
menujuk pada kata-kata yang lain. Setiap teks menunjuk kepada suatu jaringan
teks-teks lain; setiap bagian dalam suatu wacana menunjuk kepada bagian-bagian
lain. Jadi, kalau metafisika kehadiran memikirkan tanda dalam rangka ”ada”
sebagai kehadiran, maka Derrida sebenarnya memutarbalikkan keadaan dengan
memikirkan kehadiran dalam rangka jaringan tanda yang menunjuk yang satu kepada
yang lain. Kehadiran harus dimengerti berdasarkan sistem tanda[5].
Selanjutnya, Derrida[6]
menunjukkan ”tanda” sebagai bekas (trace)
atau jejak. Sebuah bekas dalam pandangan Derrida, tidak mempunyai substansi
atau bobot tersendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti
sendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tetapi hanya sejauh
menunjuk kepada hal-hal yang lain. ”Bekas itu mendahului objek. Bekas itu
sebetulnya bukan efek, melainkan penyebab”, kata Derrida. Dengan demikian,
kehadiran tidak lagi merupakan sesuatu yang asli, melainkan diturunkan dari
bekas. Sesuatu yang hadir bagi dirinya sendiri saja menjadi mustahil. Bekas
selalu mendahului objek. Objek timbul dalam jaringan tanda dan tidak pernah
diberikan bagi suatu institusi dasar seperti halnya benda itu sendiri.
Jaringan tanda ini oleh Derrida disebut dengan ”teks”
atau tenunan[7].
Di sini Derrida mengartikan teks dalam arti yang jauh lebih luas daripada arti
yang biasa, sebab baginya segala sesuatu yang ada merupakan teks. Karena itu,
dalam pikiran Derrida, makna sesuatu sangat bergantung pada teks, bukan pada ada atau kehadiran. Manusia tidak akan mampu memahami suatu makna tanpa
bergantung pada teks. Oleh karena itu, makna berlangsung dalam keadaan
perubahan terus-menerus, dan untuk memahaminya manusia memerlukan perantaraan
kesadaran atau cermin bahasa.
Sejalan dengan pemikiran Derrida, Mohammed Arkoun
(1928—...), seorang pemikir Islam kontemporer kelahiran Kabilia, Aljazair,
menyatakan bahwa dengan proses dekonstruksi, kita dapat berusaha menemukan
kembali makna yang menjadi tersingkir atau terlupakan karena sekian banyak
proses penutupan dan pembekuan. Derrida menekankan bahwa dekonstruksi tidak
sama dengan destruksi (pemusnahan) karena tidak memusnahkan atau menghapuskan
suatu wacana. Tesis ini oleh Arkoun lebih diperjelas. Ia menekankan bahwa
dekonstruksi harus disertai ”rekonstruksi” (pembangunan kembali) suatu wacana
atau kesadaran yang meninggalkan keterbatasan, pembekuan, dan penyelewengan
wacana sebelumnya. Dengan kata lain, melalui usaha ”dekonstruksi-rekonstruksi”
maka pemistikan, pemitologisan, dan pengideologian ditiadakan dari suatu
wacana. Akan tetapi, pemitosan dan pengideaan dipulihkan[8].
Dekonstruksi Bahasa dalam Kalung dari Teman
Kumpulan puisi Kalung
dari Teman terdiri atas 85 buah puisi. Kedelapan puluh lima puisi itu pada
dasarnya dapat dikatakan merupakan deskripsi naratif yang hampir semuanya
melibatkan kehadiran aku-lirik dan
tampaknya memiliki gaya yang khas dan sulit diperbandingkan dengan gaya puisi
yang telah ada dalam peta perpuisian Indonesia sebelumnya. Meskipun Dami N.
Toda[9]
menyatakan bahwa puisi-puisi Afrizal terlihat berada di wilayah kreativitas
”pembebasan kata” wawasan kredo Sutardji Calzoum Bachri, tetapi akan sulit
memperbandingkan keduanya. Puisi-puisi Sutardji tampil dengan imaji magis yang
kental melalui permainan bunyi yang radikal, sedangkan puisi-puisi Afrizal
terasa lebih mengesankan nuansa profan melalui permainan semantis yang ”nakal”.
Karakter puisi-puisi Afrizal yang demikian itu sangat mungkin karena adanya
keterlibatan proses dekonstruksi bahasa. Pertanyaannya adalah pada tataran apa
dan bagaimana proses dekonstruksi itu dilakukan?
Dengan melihat keseluruhan puisi
yang ada dalam kumpulan ini kita tidak melihat adanya indikasi proses
dekonstruksi pada tataran fonologis dan tataran morfologis, sebagaimana yang
dilakukan oleh Sutardji Calzoum Bachri. Unsur bunyi dan unsur bentukan morfem
(morfem bebas = kata; morfem terikat = afiks, reduplikasi, preposisi,
konjungsi, dll) tidak cukup signifikan untuk dipertimbangkan sebagai unsur yang
berimplikasi pada pembentukan ciri khas puisi-puisi Afrizal melalui proses
dekonstruksi. Alasan yang dapat diajukan untuk mendukung proposisi ini antara
lain adalah unsur fonologis dan unsur morfologis digunakan secara utuh dan
tanpa modifikasi. Dia tidak melakukan apa yang—misalnya—dilakukan oleh Sutardji
dengan ”membebaskan unsur-unsur fonem,
kata buntung (seperti ka/win), sungsang
(win/ka/winka), senyawa
(sepisaupa/sepisaupi)[10]. Efek fonologis memang ada digunakan, misalnya dalam puisi ”Dada” (hlm.
32) dengan repetisi kata/bunyi ”dada”, atau puisi ”Gadis Kita” (hlm. 34) dengan
repetisi kata ”gadisku”, puisi ”Jalan-jalan Berteriak” (hlm. 36) dengan
repetisi kata ”jam”, puisi ”Warisan Kita” (hlm. 40) dengan repetisi klitika
”-ku”, puisi ”Jam Kerja Telepon” (hlm. 77)
dengan repetisi kata ”merlin”, dan puisi ”Kisah tentang Zooo” dengan repetisi bunyi ”zo”(hlm. 78). Akan
tetapi, itu dilakukan hanya dalam pengulangan bunyi, tanpa mendekonstruksi
bentuknya. Berbekal kenyataan ini, kita dapat sampai pada kesimpulan bahwa dekonstruksi bahasa yang dilakukan oleh
Afrizal tidak terjadi pada tataran fonologis dan tataran morfologis
Pada tataran sintaksis, tampaknya puisi-puisi Afrizal
memperlihatkan gejala yang menarik. Untuk lebih jelasnya, kita lihat kutipan
puisi ”Kardus Pandora” (hlm. 3) berikut.
Saya mau membersihkan
rumah, membakar sampah,
mengusir setan. Ada seekor ular besar di
bawah rumah
saya, ratusan tahun menunggu mata air, tempat saya
minum dan mandi setiap hari. Tetapi semalam saya lihat
tubuhmu kembali melayang, telanjang, berseberangan
dengan tetangga. Pagi hari, orang-orang berdagang di
sekitar saya, mencari makan untuk keluarga. Tetapi
semalam, bahumu masih menyusun punggung-
punggung waktu, seperti genangan air di lantai. ”Luth,
aku ingin berlibur denganmu di Paskah ini.”
....
Bait di
atas terdiri atas 6 kalimat. Kalimat pertama, misalnya, memiliki pola dasar
yang lengkap. Kalimat itu terdiri atas 3 klausa, yaitu: (1) saya mau membersihkan rumah, (2) saya mau membakar sampah, dan (3) saya mau mengusir setan.
Ketiga klausa ini digabungkan menjadi Saya mau membersihkan rumah, membakar
sampah, mengusir setan. Kalimat ini sebenarnya memiliki struktur sintaksis
yang lengkap dengan catatan bahwa klausa kedua dan klausa ketiga mengalami
perapatan subjek (saya) dan aspek
waktu pada predikat (mau). Predikat
ketiga kalimat ini sama-sama bersifat transitif (memerlukan kehadiran objek),
dan itu terpenuhi dengan hadirnya objek dimaksud, yaitu masing-masing rumah, sampah, dan setan. Dengan kata lain, sebagai kalimat berpredikat transitif,
ketiga kalimat itu telah memiliki pola dasar yang lengkap.
Demikian pula kalimat kedua. Kalimat
ini terdiri atas tiga klausa, yaitu: (1) ada
ular besar di bawah rumah saya, (2) ular
besar itu ratusan tahun menunggu mata air, dan (3) mata air itu tempat saya minum dan mandi setiap hari. Ketiga klausa
itu dirapatkan menjadi Ada seekor ular
besar di bawah rumah saya, ratusan tahun menunggu mata air, tempat saya minum
dan mandi setiap hari. Kalimat ini juga memiliki struktur sintaksis yang
lengkap dengan perapatan subjek pada klausa kedua dan ketiga, yaitu ular besar (itu) dan mata air (itu). Klausa pertama dapat
dikategorikan sebagai klausa inversif (predikat mendahului subjek). Predikat
dimaksud adalah ada, yang secara
gramatikal dapat dikategorikan sebagai predikat intransitif (tidak memerlukan
kehadiran objek) sebagaimana halnya predikat pada klausa ketiga, yaitu tempat saya minum dan mandi yang dapat
dikategorikan sebagai frasa nominal. Klausa kedua berpredikat
transitif dan terpenuhi pola dasarnya dengan kehadiran objek, yaitu mata air.
Terhadap kalimat ketiga sampai
keenam dapat pula dilakukan analisis seperti pada kalimat pertama dan kedua di
atas. Hasilnya akan sama, yaitu bahwa kalimat-kalimat itu memiliki struktur
sintaksis yang lengkap. Demikian pula halnya kalau analisis itu diterapkan pada
puisi-puisi lain yang terdapat di dalam kumpulan ini. Memang ada beberapa puisi
yang di dalamnya menyertakan kalimat yang hanya terdiri atas satu kata seperti
puisi ”Winter Festival” (hlm. 6), ”Konser Api Rangitunoa Black” (hlm. 11), atau
”Dada” (hlm. 32), tetapi itu tidak dapat dikatakan sebagai kesan umum. Dengan
demikian kita dapat menegaskan bahwa pada
tataran sintaksis yang berhubungan dengan fungsi unsur kalimat, Afrizal tidak
melakukan dekonstruksi.
Sekarang kita lihat bagaimana
Afrizal memanfaatkan unsur-unsur semantik pada tataran sintaksis yang berkaitan
dengan hubungan antarunsur pembentuk kalimat dan antarkalimat. Untuk
keperluan itu, berikut kita kutip lengkap satu puisinya yang lain.
Pelajaran Bahasa Inggris
Tentang Berat Badan
Maaf, berapa berat badanmu? Sebentar saja, kepalaku
satu kubik pasir. Tanganku 60 cm. Permisi, berapa jam
berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu, kakiku coklat,
seperti bangunan pemerintah. Berat badanmu
bagaimana, please. Namaku Ahmad,
tolol! No, kepalaku
satu kubik pasir. Ada saluran got. Irisan
daging di
wastafel. Tunggu. Kenapa tanganmu keras? Seperti
kekuasaan. Kamu punya kebudayaan, ya? Wajahmu
merah. Anda suka juice tomat?
Maaf. Berat badanmu
siapa? Kakiku ada di situ, tolol! Please ... Please. Temani
badanku.
Jangan begitu. Satu karung pasir untuk apa?
Sorry ... di mana berat badanmu? Maaf, jangan pegang
hidungku. Kekasihmu mana? Wortel dan buncis sudah
direbus.
Permisi, sudah mendidihkah air itu? Bulu kucing
di matamu lucu, ya. Beautiful.
Pakai saja baju batik itu.
Nanti pacarku curiga. Jangan lupa, namaku Ahmad!
Idiiiih, masa tidak pakai sabun. Aaaaaaa, kok kupingnya
seperti itu. Maaf, pernah melihat berat badanku? Mau
membuat esei, ya? Tentang kebudayaan? Analisa politik
dan ekonomi, ya. Sakit, dong, tanganmu.
Puisi ini dijalin dengan hubungan pertanyaan tentang
berat badan dan jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: (1) Maaf, berapa berat badanmu? (2) Permisi, berapa jam berat badanmu? (3) Berat badanmu bagaimana, please. (4) Maaf. Berat badanmu siapa? (5) Sorry ... di mana berat badanmu? dan (6) Maaf, pernah melihat berat badanku? Sekilas ada kesan keserasian
hubungan semantik pada puisi itu dengan jalinan kesamaan hal yang menjadi
tumpuan pertanyaan, yaitu berat badan. Akan tetapi, dari redaksi pertanyaan itu
saja kita bisa melihat hal yang sebaliknya. Kalimat pertama memiliki hubungan
semantis yang serasi, tetapi kalimat berikutnya masing-masing mempertanyakan
aspek waktu (berapa jam), aspek cara
(bagaimana), aspek persona (siapa), aspek tempat (di mana), dan aspek pengalaman (pernah melihat) yang kesemuanya tidak
memperlihatkan hubungan semantis yang logis dengan objek yang dipertanyakan,
yaitu berat badan. Gejala yang sama
juga terjadi puisi-puisi lainnya. Misalnya, pada puisi ”100 Tahun Adam Meyakini
Diri Manusia” (hlm. 51): Telah aku kirim
kamar mandi membangunkannya./Seperti membangunkan tubuhmu, 10 menit dari
kedengkian yang lalu. Atau, pada puisi ”Mikropon yang Pecah” (hlm. 4): Tetapi mikropon yang pecah, melahirkan
pengucapan 1 cm gemetar membaca dirimu dan puisi ”2 x 2 Meter” (hlm. 95—96)
: Tentang Tini yang hatinya terbuat dari
2 X 2 meter. Dengan demikian dapat dikatakan ada gejala pengacauan hubungan semantik antarunsur pembentuk kalimat
pada tataran sintaksis.
Sekarang kita lihat bagaimana hubungan semantik
pertanyaan-pertanyaan di atas dengan kalimat-kalimat berikutnya. Kalimat (1)
diikuti dengan kalimat-kalimat Sebentar
saja, kepalaku satu kubik pasir, dan Tanganku
60 cm. Jika dua kalimat terakhir ini kita asumsikan sebagai jawaban atas
pertanyaan (1), kita tidak melihat hubungan jawaban—pertanyaan yang logis.
Kalimat (2) diikuti dengan kalimat-kalimat Bibirku
tebal dan Tentu, kakiku coklat,
seperti bangunan pemerintah. Kalimat ketiga diikuti dengan Namaku Ahmad, tolol! dan No, kepalaku satu kubik pasir, lalu
diikuti dengan rentetan kalimat yang sama sekali tidak ada hubungan
semantiknya, baik dengan kalimat (2) maupun dengan dua kalimat sesudahnya itu. Kasus yang sama terjadi pula pada bagian puisi sesudahnya sampai kalimat
terakhir puisi itu.
Puisi lain yang memperlihatkan gejala yang sama adalah
”Rumah Orang Indonesia” (hlm. 31). Berikut ini cuplikannya:
Pagar besi beton batu bercampur palem-palem raja.
Penjaga pintu gerbang belum tidur. Selamat pagi. Seekor
kuda logam menonton TV katanya. Acaranya
senam pagi
dan menelepon penjual gas. Daun-daun kering jatuh di
kolam renang, sedan mercy sedang dimandikan. Mana
handuknya? Aduh jendela-jendela kaca itu. Di sebelahmu
patung perempuan pualam belum pernah pecah, ukiran
pohon kelapa dari Bali, bunga-bunga kering, dan asbak-
asbak besar. Caramu berjalan begitu ya katanya.
Memang ada bayangan benang merah dalam hal topik, yaitu
deskripsi tentang sebuah rumah mewah. Tetapi, hubungan unsur pembentuk kalimat
dan hubungan antarkalimat yang ada dalam puisi itu tidak memperlihatkan
hubungan semantik yang logis.
Berdasarkan analisis di atas, kita
bisa merumuskan kesimpulan berikutnya, yaitu pada tataran sinkatsis ada gejala pengacauan hubungan semantik pada
hubungan antarkalimat dalam puisi-puisi Afrizal Malna.
Sebelum menganalisis hubungan
semantik puisi-puisi Afrizal pada tataran wacana, perlu ditegaskan bahwa wacana
memiliki unsur: (1) ujaran atau teks, (2) makna dan fungsi teks itu, (3) kohesi
dan koherensi antarunsur, (4) kelengkapan teks itu, dan (5) konteks.[11] Jika kita berpegang pada pernyataan
ini maka akan sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa puisi ”Pelajaran Bahasa
Inggris tentang Berat Badan” di atas telah memenuhi kriteria unsur sebuah
wacana. Katakanlah puisi itu sudah berupa ujaran atau teks (unsur 1). Akan
tetapi, jika ujaran atau teks itu parameternya adalah terjadinya komunikasi
antara penutur dan pendengar atau penulis dan pembaca, maka makna dan fungsi
(unsur 2) puisi di atas perlu dipertanyakan karena ia sulit untuk dipahami.
Kesulitan ini terjadi karena ketiadaan kohesi dan koherensi antarunsur (unsur
3) dan ketidakjelasan konteks (unsur 5), meskipun mungkin dapat dianggap telah
memiliki kelengkapan (unsur 4), dalam arti ujaran atau teks itu telah
selesai/tuntas.
Berdasarkan kondisi ini, kita akan menganilis hubungan
semantis pada tataran wacana dengan memokuskan perhatian pada unsur kohesi dan
koherensi yang sesungguhnya berkaitan langsung dengan unsur konteks, dengan
asumsi bahwa teks yang kohesif dan koheren dengan sendirinya merepresentasikan
keutuhan konteks. Kohesi adalah relasi antarbagian yang dinyatakan secara
struktural, sedangkan koherensi adalah relasi antarunsur secara semantik atau
logika[12].
Puisi “Pelajaran Bahasa Inggris
tentang Berat Badan” di atas secara tematis mendeskripsikan perihal berat
badan, tetapi disajikan dengan tuturan yang mengesankan kesan “naif” melalui
rentetan pertanyaan dan jawabannya. Akan tetapi, seperti telah dikemukakan,
relasi pertanyaan—jawaban itu secara semantis tidak memperlihatkan hubungan
yang logis dan karenanya tidak serasi atau tidak koheren dengan konteks yang
tidak utuh.
Selain itu, pada bagian lain terdapat pula beberapa
pertanyaan dan beberapa pernyataan yang terlepas dari konteks hubungan
pertanyaan—jawaban di atas. Topik percakapan meloncat-loncat tak beraturan,
tidak melulu tentang berat badan, tetapi juga tentang hal-hal lain yang
tampaknya terlepas dari topik dan hanya dipantulkan kesan-kesannya saja,
termasuk di dalamnya kesan yang hanya sekilas dipantulkan melalui sarana simile
seperti kakiku coklat seperti bangunan
pemerintah atau tanganmu keras
seperti kekuasaan. Jadi, puisi ini pada tataran wacana memang dijalin dalam
satu topik, yaitu berat badan, tetapi
hubungan antarbagian wacananya tidak memperlihatkan hubungan semantik yang
wajar dan/atau tidak ada hubungan sama sekali, dan karenanya tidak koheren.
Hal yang sama juga dapat kita lihat pada puisi “Winter
Festival” (hlm. 6) yang cuplikannya disajikan di bawah ini.
Pegawai bank menari-nari. Tukar uang lagi, tukar
uang lagi. Seperti anggaran belanja pemerintah. Mana
sarung tanganku? Tjuuus.
Orang-orang berganti. Mati.
Kepala botak dalam bangunan Romawi.
Naik kereta lagi.
Hendra menemukan Picasso yang bengkak di museum
Ludwig. Makan lagi. Pelarian politik Nigeria. Hitam.
Seperti ember dalam mulutku. Selamat tahun baru. Edith
membeli topi untuk anakku. Danke. Beri aku mantel.
Orang-orang membuat ruang tamu di kafe-kafe, kartu
telepon dan tulang-tulang pohon. Malam mau patah.
Hiltrud punya ikan kayu dalam kamar mandi. Winter.
....
Bagian-bagian puisi ini
hanya dipersatukan oleh satu suasana, yaitu suasana musim dingin (winter) di Jerman. Selebihnya,
kilasan-kilasan kesan indera yang tidak berhubungan tentang aktivitas
orang-orang dan suasana musim dingin. Tetapi, motif suasana musim dingin itu
meskipun tidak semuanya eksplisit, terasa sangat kuat dan mengesankan.
Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih lengkap tentang gejala inkoherensi itu, kita kutip lengkap
satu puisi lain yang memiliki kadar narasi lebih lengkap sebagai bahan
perbandingan, yaitu puisi yang dijadikan judul kumpulan yang kita analisis ini:
Kalung dari Teman
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah
restoran dengan seorang teman lama. Kami berusaha
saling membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami
tetap berada dalam kereta berbeda. Dari jendela kami
hanya saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi
halaman? Ada nomor teleponnya dalam kantong baju
saya, sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu
seperti binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai
kami dari balik jendela.
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan
waktu di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa
yang telah mati dengan cara begini? Pelayan
restoran
meletakkan lembaran nota di meja makan kami, tak
peduli dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah
bangunan baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai
dirimu, seperti bahasa yang mengubahmu terus-
menerus.
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis
di luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman,
membuat pot untuk waktu. Di luar kereta telah berlalu,
meninggalkan kami di peron yang sama. Tetapi matanya
seperti ingin memanggil seluruh orang, ingin
membenarkan dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin
malihat air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari
genggaman lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa
membuat untaian kalung permata di leher kami.
Lalu saya lihat asap puith keluar dari mulut saya.
menjadi api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu
ikut membakar kami berdua. Saya dan teman saya
menjadi kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran
itu. Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus
berkobar-kobar, seperti tanaman api, yang sepanjang
masa ingin kau padamkan.
Puisi ini jelas lebih mudah ditelusuri konteksnya karena
memiliki deskripsi naratif yang relatif lebih mudah dipahami. Ia menceritakan
pertemuan antara aku-lirik (saya) dengan temannya. Nuansa yang dapat kita
tangkap adalah suasana yang sebenarnya tidak diharapkan oleh keduanya karena
mereka sama-sama menyadari ada ”jarak” yang memisahkan keduanya. ”Jarak” yang
dimaksud mungkin adalah perbedaan sikap atau pandangan, atau mungkin juga
prinsip hidup. Akan tetapi, kejelasan konteks itu tetap tidak menghalangi
Afrizal untuk menyertakan permainan semantis untuk mempertajam efek puitik
puisi tersebut. Permainan semantis itu tetap pula berimplikasi pada munculnya
gejala inkoherensi wacana. Misalnya, pada bait pertama tiba-tiba muncul kalimat
Ada nomor teleponnya dalam kantong baju
saya, seperti sungai di bawah bantal. Atau pada bait kedua, Di luar saya lihat bangunan baru telah
berdiri lagi. Dalam teks narasi, misalnya novel, gejala penceritaan yang
menyimpang atau tidak relevan seperti itu disebut digresi atau lanturan[13].
Dengan mempertimbangkan keadaan
sebagaimana tergambar di atas, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa pada tataran wacana Afrizal melakukan
dekonstruksi dengan cara mengacaukan dan/atau meniadakan hubungan semantis
antarbagian wacana.
Efek Puitik
Dekonstruksi struktur semantik—yakni
dengan menciptakan inkoherensi, baik pada tataran hubungan antarunsur pembentuk
kalimat, hubungan antarkalimat, maupun hubungan antarunsur wacana—yang
dilakukan oleh Afrizal tentu saja bukan tanpa pretensi. Itu dilakukan sebagai
salah satu strategi penciptaan efek puitik untuk mempertajam estetika
puisi-puisinya. Persoalannya adalah bagaimana hal itu berimplikasi terhadap
pemertajaman efek puitik puisi-puisi itu. Pertama, dengan mengacaukan,
mengalihkan (digresi), dan/atau meniadakan hubungan semantis tersebut maka
terciptalah ruang imajiner di dalam pikiran yang memungkinkan pembaca
merekonstruksi sendiri hubungan semantik sesuai dengan kecenderungan pikirannya
seperti pada kasus puisi ”Pelajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan”. Kedua,
inkoherensi hubungan semantik itu justru mempertajam suasana yang secara tematik
tercipta melalui puisi itu. Hal ini dirasakan efektif karena pembaca tidak
hanya mengikuti suasana yang ada, tetapi turut larut di dalamnya dan secara
imajiner ikut mempertajam suasana itu melalui pemaknaan terhadap rentetan kata
dan kalimat yang dibacanya, sebagaimana yang terjadi pada kasus puisi ”Winter
Festival” atau ”Kalung dari Teman”. Ketiga, rentetan kata/kalimat dalam
komposisi yang tidak koheren itu justru menciptakan irama yang secara imajiner
dapat dirasakan pembaca pada saat membacanya. Hal yang demikian ini, misalnya,
dapat kita rasakan pada saat membaca puisi ”Pelajaran Bahasa Inggris tentang
Berat Badan” atau ”Winter Festival”.
Ketiga kondisi itu tampaknya memiliki relevansi dengan
pembenaran pernyataan Derrida bahwa dekonstruksi menampakkan aneka ragam aturan
”yang tak dipikirkan” dan ”yang tak terpikirkan" berkaitan dengan teks.
Demikian pula halnya dengan pernyataan Arkoun bahwa dengan proses dekonstruksi,
kita dapat berusaha menemukan kembali makna yang menjadi tersingkir atau terlupakan
karena sekian banyak proses penutupan dan pembekuan. Penutupan dan pembekuan
ini mungkin sekali sebagai akibat tradisi lapuk yang menekankan pemaknaan teks
yang tidak memberi ruang pembebasan penafsiran. Dalam hal ini ”rekonstruksi” (pembangunan kembali) suatu
wacana sebagaimana disarankan Arkoun menemukan urgensinya.
Penutup
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, dapat kita
simpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Dalam kumpulan puisi Kalung dari Teman, Afrizal
Malna—disadari atau tidak—telah melakukan proses dekonstruksi bahasa dengan strategi pengacauan, pengalihan, dan
peniadaan koherensi semantik pada tataran sintaksis, khususnya yang berkaitan
dengan hubungan antarunsur pembentuk kalimat, hubungan antarkalimat, dan
hubungan antarbagian wacana. (2) Proses dekonstruksi bahasa itu dipandang
berhasil dalam mempertajam efek puitik puisi-puisinya dengan memberikan
kemungkinan kepada pembaca untuk merekonstruksi hubungan semantik sesuai
kecenderungan pikirannya. (3) Proses rekonstruksi—sebagai dimensi positif
proses dekonstruksi—itu memungkinkan terciptanya irama yang secara imajiner dapat dirasakan
pembaca pada saat memaknai puisi-puisi Afrizal Malna.
Muaradua, Juni 2007
Dimuat dalam 25 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya Sastra 2007 (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
[1] Afrizal Malna. 1999. Kalung dari Teman. Jakarta: Grasindo.
[2] Asep Ahmad Hidayat. 2006. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa,
Makna, dan Tanda. Cet. I. Bandung: Remaja Rosdakarya,
hlm. 199—200.
[3] Ibid, hlm. 221.
[4] Ibid, hlm. 226—227.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 227—228.
[7] Kata “teks” berasal dari bahasa Latin texere yang berarti ‘menenun’.
[8] Ibid, hlm 231—232.
[9] “Catatan Kaki atas Biografi Membaca 1997” dalam Afrizal
Malna, op. cit., hlm. 121.
[10] Ibid.
[11] Mulyadi Eko Purnomo. 2002. ”Wacana dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia”. Makalah, disampaikan pada Penataran
Guru Bahasa Indonesia SMU Sumatera Selatan, 1—15 Agustus 2002 di Palembang.
[12] Purnomo, loc. cit.
[13] Budi Darma. 2003. “Asal-usul Olenka”, Kata Penutup Novel Olenka. Jakarta: Balai Pustaka, hlm.
217.