Dalam kalangan pers ada adagium: "Kalau ada anjing
menggigit orang, itu biasa. Tetapi, kalau ada anjing digigit orang, itu baru
berita". Adagium ini telah menjadi semacam filosofi yang mendasari
penulisan berita. Rilis berita harus memenuhi kebutuhan pembaca akan informasi
yang dapat memuaskan rasa ingin tahu (human interest). Akan tetapi, pemberitaan
itu tetap harus disekat dengan pertanggungjawaban jurnalistik yang menuntut
terpenuhinya faktor aktualitas, faktualitas, netralitas, dan edukasionalitas.
Dalam perspektif ini, dunia pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari "ekspansi" pers dalam "mengakuisisi" sumber-sumber berita. Dan, kehidupan guru sebagai elemen penting dalam dunia pendidikan adalah sebuah kompleksitas yang menarik untuk direkam dalam bentuk berita. Apalagi, kalau itu bernuansa sensasi.
Kita hidup dalam sebuah kultur yang memandang dan menempatkan profesi guru tidak semata-mata sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik. Artinya, selain bertugas mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, guru juga dituntut berperan sebagai pewaris kelestarian nilai-nilai spiritual yang bernama: moral, budaya, bahkan agama.
Ini jelas bukan tugas dan ringan, melainkan mengandung begitu banyak konsekuensi. Dua peran yang diharapkan menginternalisasi dalam keseluruhan personalitas guru itu menuntut mereka menjadi teladan dalam pergaulan masyarakat. Bahkan di dalam lingkungan sosial tertentu, misalnya masyarakat pedesaan, guru dianggap sebagai figur yang mampu menjadi problem solver, helper, dan pemprakarsa pembangunan. Hal ini menjadi mungkin karena seperti dikatakan oleh Mohammad Fakry Gaffar (Media Pendidikan Nomor 3 Tahun XVII 1998), guru senantiasa bersikap kooperatif dan akomodatif terhadap kebijakan pemerintah dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Uniknya,--lanjut Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu--prakarsa dan peran kunci itu justru muncul dalam kondisi dan status sosial-ekonomi yang serba terbatas.
Sangat disayangkan bahwa citra positif guru yang demikian itu kurang terekam oleh ketajaman penciuman pers. Demikian pula torehan prestasi guru yang seakan-akan dimarginalkan oleh pemberitaan pers. Kesederhanaan kehidupan guru kalau pun terangkat seringkali hanyalah dari kacamata eksotisme, tidak menyentuh substansi psikologis yang dapat menumbuhkan simpati. Tidak mengherankan kalau kemudian yang tampak dominan justru potret kehidupan guru yang serba buram. Bukan berarti bahwa pers memang memiliki tendensi tidak simpatik terhadap kehidupan guru. Tetapi, ini soal proporsi yang keseimbangannya masih perlu dipertanyakan.
Pemberitaan pers yang kurang proporsional tentang kompleksitas kehidupan guru pada akhirnya hanya akan mengakibatkan semakin rendahnya apresiasi masyarakat terhadap profesi guru. Padahal, apresiasi yang tinggi sangat dibutuhkan untuk menegakkan kewibawaan profesi.
Pers memiliki fungsi kontrol sosial yang aplikasinya dapat memberikan kontribusi positif bagi perbaikan keadaan. Namun, apabila itu tidak dibarengi dengan kebijaksanaan dan kejatmikaan dalam menyikapi persoalan, maka hasilnya hanya bermuara pada bias yang tidak menenteramkan. ■
Dimuat
di Majalah Pendidikan Gerbang edisi Juli 2003