Dahulu, songkok putih menjadi simbol eksklusif seorang
muslim (lelaki) yang pernah menunaikan ibadah haji. Sekarang tampaknya
tidak lagi. Songkok putih bisa dan biasa dikenakan oleh siapa saja, termasuk
oleh orang yang belum pernah beribadah haji.
Saya pun merasa tidak perlu mempertanyakan mengapa Buyung
mengenakan songkok putih. Siapa Buyung? Nama aslinya saya tidak tahu. Tetapi,
seluruh warga Muaradua menyebutnya begitu; mungkin karena dia asli kelahiran
Minangkabau. Yang pasti, dia tukang semir dan sol sepatu yang mangkal di
trotoar Jalan A. Yani, Muaradua, Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan. Saya
justru terkejut setelah seorang teman saya yang sekarang sudah almarhum,
Ustaz Kapi Nuryadi (semasa hidupnya Beliau salah seorang imam Masjid Agung
Muaradua) mengatakan bahwa Buyung memang benar-benar seorang haji—benar-benar
telah melaksanakan ibadah haji. Rasa terkejut itu berkembang menjadi rasa kagum
setelah teman tadi bercerita tentang hal-ihwal Buyung naik haji pada tahun
2009.
Alkisah begini. Buyung memang sudah lama memimpikan
dirinya bisa menunaikan ibadah haji. Tetapi, dia “tahu diri” bahwa ongkos naik
haji tidaklah sedikit. Mana mungkin itu terjangkau oleh seorang yang hanya
tukang semir dan sol sepatu, pikirnya. Ternyata, diam-diam mimpi itu tetap
dipeliharanya. Selama bertahun-tahun dia menyisihkan hasil usaha menyemir dan
mengesol sepatu. Seperak demi seperak “cling” masuk ke dalam celengannya. Tiba
saatnya, celengannya penuh dan sudah waktunya dipecahkan. Setelah dihitung,
uang celengannya itu disimpannya di bawah kasur.
Suatu
hari, Buyung dihampiri seseorang yang tidak lain adalah Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten OKU Selatan. Buyung mengenal baik sang Kadin yang kemudian meminta
Buyung ke rumahnya untuk mengesol beberapa sepatu. Buyung pun datang dan
“menunaikan tugasnya”. Begitu selesai, sang Kadin menyodorkan uang seratus ribu
rupiah sebagai upahnya. Buyung terkejut karena uang sebesar itu jauh di atas
ekspektasi harga yang dibayangkannya. Alih-alih menerima uang itu, Buyung
justru menolaknya. Sang Kadin “memaksa” Buyung menerimanya karena memang dia
ikhlas ingin membantu. Buyung bergeming. Sang Kadin tetap memaksa. Akhirnya,
Buyung berujar begini: “Kalau Bapak ingin membantu, tolong bukakan rekening
bank untuk saya.” Sang Kadin setuju. Besoknya dia mengutus salah seorang
stafnya untuk mengantar Buyung ke bank. Maka jadilah Buyung nasabah Bank
SumselBabel (bank daerah Sumatera Selatan dan Bangka-Belitung). Tidak lupa sang
staf Kadin mengajari Buyung cara mengisi slip penyetoran dan slip penarikan
uang di bank itu.
Sejak itu Buyung tidak pernah lagi membeli celengan.
Seminggu sekali dia menyambangi Bank SumselBabel untuk mengisi slip penyetoran
dan menyerahkan uang sisihan hasil usaha semir dan sol sepatu kepada teller
yang lama-lama menjadi begitu familiar dengan wajah Buyung. Slip penarikan sama
sekali tidak pernah disentuhnya. Otomatis buku rekening Buyung hanya mencatat
sandi 01 untuk “Setoran Tunai”; sandi 05 untuk “Bunga”; dan sandi 18 untuk
“Biaya Pengelolaan” beserta tanggal dan besaran transaksi, saldo, serta kode
petugas yang mencatat transaksi-transaksi itu. “Prosesi” ini terus dilakukan
oleh Buyung selama bertahun-tahun.
Buyung
yang makmum tetap di Masjid Agung Muaradua suatu hari, bakda salat Asar,
menceritakan kepada Ustaz Kapi tentang keinginannya naik haji dan tentang
tabungannya yang sudah cukup banyak. Mendengar angka yang disebutkan Buyung,
sang Ustaz tersenyum dan mengatakan bahwa itu masih belum cukup. Tetapi, dia
berpesan kepada Buyung untuk terus menabung, bekerja keras, dan berdoa. Allah
ternyata memperlihatkan Kemahaasihan-Nya. Ustaz Kapi tidak tahu siapa yang
mengusahakannya, tiba-tiba saja suatu hari di tahun 2008 Buyung diminta Bupati
OKU Selatan, H. Muhtadin Sera’i untuk menemuinya di rumahnya. Ternyata, Pak
Bupati terketuk hatinya untuk membantu mewujudkan impian Buyung. Syahdan,
dengan tambahan uang dari Pak Bupati plus saldo rekening yang ada, singkat
cerita berangkatlah Buyung ke Tanah Suci pada tahun 2009. Yang lebih
membunga-bungakan hati Buyung, dia sepesawat dengan H. Wancik Rasyid, Wakil
Bupati OKU Selatan yang saat itu bertindak selaku amirul-hajj.
Sekembali dari Tanah Suci, tidak ada perubahan yang
berarti dari sikap dan penampilan Buyung. Dia tetap menjalankan usahanya
sebagai tukang semir dan sol sepatu; tetap mangkal di Jalan A. Yani; tetap
sederhana dan apa adanya; tetap menjadi makmum Masjid Agung Muaradua; tetap
seminggu sekali menyambangi Bank SumselBabel. Hanya dua hal yang berubah: sejak
saat itu dia selalu mengenakan songkok putih dan sesekali dia menerima orderan
dengan kata pengantar: “Pak Haji, tolong semirkan sepatu saya!”
Ketika
masih tinggal di Muaradua—sejak Mei 2010 saya tinggal di Baturaja, Kabupaten
Ogan Komering Ulu—setiap kali lewat di Jalan A. Yani, Muaradua, dan melihat
Buyung dengan songkok putihnya, saya selalu teringat kata-kata almarhum Ustaz
Kapi, “Pak Uum, Allah tidak pernah memilih-milih hamba-Nya untuk diundang ke
rumah-Nya”.
Subhanallah. ■
Baturaja, 10 Desember 2012