July 18, 2013

Songkok Putih

Dahulu, songkok putih menjadi simbol eksklusif seorang muslim (lelaki) yang pernah menunaikan ibadah haji. Sekarang tampaknya tidak lagi. Songkok putih bisa dan biasa dikenakan oleh siapa saja, termasuk oleh orang yang belum pernah beribadah haji.

Saya pun merasa tidak perlu mempertanyakan mengapa Buyung mengenakan songkok putih. Siapa Buyung? Nama aslinya saya tidak tahu. Tetapi, seluruh warga Muaradua menyebutnya begitu; mungkin karena dia asli kelahiran Minangkabau. Yang pasti, dia tukang semir dan sol sepatu yang mangkal di trotoar Jalan A. Yani, Muaradua, Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan. Saya justru terkejut setelah seorang teman saya yang sekarang sudah almarhum, Ustaz Kapi Nuryadi (semasa hidupnya Beliau salah seorang imam Masjid Agung Muaradua) mengatakan bahwa Buyung memang benar-benar seorang haji—benar-benar telah melaksanakan ibadah haji. Rasa terkejut itu berkembang menjadi rasa kagum setelah teman tadi bercerita tentang hal-ihwal Buyung naik haji pada tahun 2009.

Alkisah begini. Buyung memang sudah lama memimpikan dirinya bisa menunaikan ibadah haji. Tetapi, dia “tahu diri” bahwa ongkos naik haji tidaklah sedikit. Mana mungkin itu terjangkau oleh seorang yang hanya tukang semir dan sol sepatu, pikirnya. Ternyata, diam-diam mimpi itu tetap dipeliharanya. Selama bertahun-tahun dia menyisihkan hasil usaha menyemir dan mengesol sepatu. Seperak demi seperak “cling” masuk ke dalam celengannya. Tiba saatnya, celengannya penuh dan sudah waktunya dipecahkan. Setelah dihitung, uang celengannya itu disimpannya di bawah kasur. 

Suatu hari, Buyung dihampiri seseorang yang tidak lain adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan. Buyung mengenal baik sang Kadin yang kemudian meminta Buyung ke rumahnya untuk mengesol beberapa sepatu. Buyung pun datang dan “menunaikan tugasnya”. Begitu selesai, sang Kadin menyodorkan uang seratus ribu rupiah sebagai upahnya. Buyung terkejut karena uang sebesar itu jauh di atas ekspektasi harga yang dibayangkannya. Alih-alih menerima uang itu, Buyung justru menolaknya. Sang Kadin “memaksa” Buyung menerimanya karena memang dia ikhlas ingin membantu. Buyung bergeming. Sang Kadin tetap memaksa. Akhirnya, Buyung berujar begini: “Kalau Bapak ingin membantu, tolong bukakan rekening bank untuk saya.” Sang Kadin setuju. Besoknya dia mengutus salah seorang stafnya untuk mengantar Buyung ke bank. Maka jadilah Buyung nasabah Bank SumselBabel (bank daerah Sumatera Selatan dan Bangka-Belitung). Tidak lupa sang staf Kadin mengajari Buyung cara mengisi slip penyetoran dan slip penarikan uang di bank itu.

Sejak itu Buyung tidak pernah lagi membeli celengan. Seminggu sekali dia menyambangi Bank SumselBabel untuk mengisi slip penyetoran dan menyerahkan uang sisihan hasil usaha semir dan sol sepatu kepada teller yang lama-lama menjadi begitu familiar dengan wajah Buyung. Slip penarikan sama sekali tidak pernah disentuhnya. Otomatis buku rekening Buyung hanya mencatat sandi 01 untuk “Setoran Tunai”; sandi 05 untuk “Bunga”; dan sandi 18 untuk “Biaya Pengelolaan” beserta tanggal dan besaran transaksi, saldo, serta kode petugas yang mencatat transaksi-transaksi itu. “Prosesi” ini terus dilakukan oleh Buyung selama bertahun-tahun.

Buyung yang makmum tetap di Masjid Agung Muaradua suatu hari, bakda salat Asar, menceritakan kepada Ustaz Kapi tentang keinginannya naik haji dan tentang tabungannya yang sudah cukup banyak. Mendengar angka yang disebutkan Buyung, sang Ustaz tersenyum dan mengatakan bahwa itu masih belum cukup. Tetapi, dia berpesan kepada Buyung untuk terus menabung, bekerja keras, dan berdoa. Allah ternyata memperlihatkan Kemahaasihan-Nya. Ustaz Kapi tidak tahu siapa yang mengusahakannya, tiba-tiba saja suatu hari di tahun 2008 Buyung diminta Bupati OKU Selatan, H. Muhtadin Sera’i untuk menemuinya di rumahnya. Ternyata, Pak Bupati terketuk hatinya untuk membantu mewujudkan impian Buyung. Syahdan, dengan tambahan uang dari Pak Bupati plus saldo rekening yang ada, singkat cerita berangkatlah Buyung ke Tanah Suci pada tahun 2009. Yang lebih membunga-bungakan hati Buyung, dia sepesawat dengan H. Wancik Rasyid, Wakil Bupati OKU Selatan yang saat itu bertindak selaku amirul-hajj

Sekembali dari Tanah Suci, tidak ada perubahan yang berarti dari sikap dan penampilan Buyung. Dia tetap menjalankan usahanya sebagai tukang semir dan sol sepatu; tetap mangkal di Jalan A. Yani; tetap sederhana dan apa adanya; tetap menjadi makmum Masjid Agung Muaradua; tetap seminggu sekali menyambangi Bank SumselBabel. Hanya dua hal yang berubah: sejak saat itu dia selalu mengenakan songkok putih dan sesekali dia menerima orderan dengan kata pengantar: “Pak Haji, tolong semirkan sepatu saya!”

Ketika masih tinggal di Muaradua—sejak Mei 2010 saya tinggal di Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu—setiap kali lewat di Jalan A. Yani, Muaradua, dan melihat Buyung dengan songkok putihnya, saya selalu teringat kata-kata almarhum Ustaz Kapi, “Pak Uum, Allah tidak pernah memilih-milih hamba-Nya untuk diundang ke rumah-Nya”.
Subhanallah.

Baturaja, 10 Desember 2012




Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...