July 18, 2013

Saya, Laura, dan Film Indonesia

Kenangan masa kecil saya tentang film adalah kenangan tentang perjumpaan yang terpilah di antara dua dunia yang kontradiktif. Di dalamnya berlangsung semacam konfrontasi yang sangat mungkin memberi rona pada keseluruhan personalitas saya. Dunia pertama adalah dunia yang menyemilir tenteram, lirih, dan murni. Sebaliknya, dunia kedua adalah dunia yang berdegup kencang oleh pengumbaran kekerasan, syahwat, dan klenik. Dunia pertama ada dalam citra kelembutan humanisme; kontras dengan dunia kedua yang beraroma pemenuhan naluri primordial. Dunia pertama tersaji di satu tempat yang begitu dekat dan akrab: rumah. Dunia kedua bergemuruh pada satu arena terbuka di malam hari: layar tancap.
***
Saya begitu terpesona oleh film serial drama keluarga Little House on the Prairie—di lingkungan kami lebih dikenal dengan sebutan film Laura—yang ditayangkan tiap Minggu siang di TVRI pada awal era ’80-an. Eksotisme visual alam desa di kawasan Walnut Grove, Minessota, AS; detail karakterisasi tokoh-tokoh yang begitu natural; kemesraan interaksi sosial yang tergambar pada setiap episodenya, mungkin itu yang membuat serial ini melekat begitu kuat di dalam alam kenangan masa kecil saya. Kekuatan kenangan itu bahkan tidak bisa dibandingkan dengan kenangan saya terhadap serial-serial lainnya yang mengangkat tema dasar yang relatif sama yang juga ditayangkan TVRI pada periode waktu yang sama pula seperti Please Don’t Eat the Daisies (dibintangi oleh Patricia Crowley dan Mark Miller) dan Rumah Masa Depan (Deddy Sutomo, Aminah Cendrakasih, Septian Dwi Cahyo, dan Andi Ansi).
Masih bisa diperdebatkan apakah keterpesonaan saya itu muncul secara alamiah sebagai respons atas estetika sinematografi dan dramaturgi serial ini; ataukah tumbuh karena kebiasaan berulang saja sebagai konsekuensi logis dari ketiadaan pilihan. Yang pasti, ingatan di dalam kepala saya masih mampu merekonstruksi beberapa frame adegan film seri itu, dan mungkin sekali ingatan itu akan menjadi abadi dalam hidup saya. Sekadar ilustrasi, ingatan saya masih mampu merekam—meski samar-samar, tentunya—adegan Carrie (Lindsay Sidney Greenbush) terpaku penuh hasrat menatap permen lolipop yang tergeletak dengan manisnya di etalase toko Tuan Oleson. Melihat itu Nellie (putri Tuan dan Nyonya Oleson; diperankan oleh Alison Arngrim) mengambil permen itu, membuka plastik kemasannya, lalu secara provokatif mengisap dan menjilatinya. Laura (Melissa Gilbert) dengan susah-payah membujuk Carrie, adiknya. Esoknya Laura membelikan Carrie permen itu dengan uang urunan dengan kakaknya, Mary (Melissa Sue Anderson). Saya masih mampu merekonstruksi kilatan mata Sidney yang penuh damba; kerling mata Nelly yang jumawa; tatapan lembut Laura yang penuh iba.
***
Sampai dengan usia tiga belas, saya tinggal di sebuah kampung di wilayah sebuah desa yang saat itu masuk Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Tentu saja di kampung ini tidak ada bioskop. Bioskop terdekat ada di kota Kecamatan Majalaya. Tetapi, hampir setiap malam Minggu digelar layar tancap yang di halaman kompleks SD tempat saya belajar. Pergelaran rutin ini tidak gratis. Pengelolanya—perangkat desa—mencetak karcis yang dapat dibeli dengan harga sekian rupiah. Untuk anak-anak disediakan karcis khusus yang harganya lebih murah. Tentu saja film-film itu dilepas ke arena layar tancap setelah berbulan-bulan lewat masa putarnya di bioskop-bioskop.
Romantisme kenangan ini otomatis mengarahkan ingatan saya pada sejumlah judul film Indonesia yang pernah saya tonton di arena hiburan rakyat itu. (Beberapa film Amerika, India, dan Cina saya ingat juga pernah digelar di arena itu. Namun, mungkin karena jumlahnya tidak banyak; mungkin juga karena faktor lain, film-film tersebut tidak terlalu memberi kesan yang kuat di dalam ingatan saya.) Dengan mengandalkan daya ingat yang saya miliki—yang tentu saja terbatas—hasilnya adalah sederet judul ini: Gita Cinta dari SMA (1979), Darah Muda (1977), Cinta Segitiga (1979), Pembalasan Si Pitung (1979), Sundel Bolong (1981), Dendam Manusia Harimau (1981), Pengabdi Setan (1980), Di Balik Kelambu (1983), Inem Pelayan Sexy (1976), Guna-guna Istri Muda (1977), Dewi Malam (1978), Godaan Siluman Perempuan (1978), Janur Kuning (1979), Kabut Sutra Ungu (1979), Mana Tahaaan (1979), Jaka Sembung (1981), Bayi Ajaib (1982), Nyi Blorong (1983), Pengkhianatan G30S/PKI (1984), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Budak Nafsu (1981), Jaka Tingkir (1983), Pendekar Kelelawar (1978), Roda-roda Gila (1978), Si Buta dari Gua Hantu (1977), dan Gundala Putra Petir (1982)[1].
Apakah saya benar-benar pernah menonton kedua-puluh-enam film itu? Jangan-jangan saya hanya pernah melihat highlight-nya; hanya pernah mempercakapkannya; hanya pernah mendengar ulasannya; atau hanya melihat iklan promosinya. Sebaliknya, mungkin saja jumlah sesungguhnya lebih banyak dari itu. Mengingat keterbatasan kapasitas potensi ingatan manusia, keraguan ini sangat wajar muncul. Tetapi, yang kemudian menjadi elementer bagi saya adalah kenyataan bahwa dari 26 judul itu hanya 4 judul yang menurut pandangan subjektif saya relatif “aman” dikonsumsi oleh bocah seusia saya saat itu, yaitu Gita Cinta dari SMA, Janur Kuning, Pengkhianatan G30S/PKI, dan Gundala Putra Petir. Bahkan, 7 judul di antaranya dengan yakin dapat saya katakan masuk kategori film yang membahayakan perkembangan kepribadian anak, yaitu Sundel Bolong, Pengabdi Setan, Inem Pelayan Sexy, Guna-guna Istri Muda, Dewi Malam, Godaan Siluman Perempuan, dan Nyi Blorong.
Saya tidak tahu apakah orang tua saya—juga orang tua-orang tua lainnya—saat itu merasa jengah atau tidak ketika membawa-serta anak-anak ke arena layar tancap itu dan melihat anak-anak itu terperangah melihat citra-citra visual yang keras, vulgar, dan berkecenderungan libidis itu. Tetapi, saya kira kita sepakat bahwa bocah seusia saya saat itu secara psikologis akan lebih aman jika dilokalisasi agar konstatasi pengalamannya tidak bersentuhan dengan materi-materi tayangan seperti itu.
***
Dua gambaran di atas memperlihatkan betapa konstatasi pengalaman masa kecil saya tentang film Indonesia dihadapkan pada kontradiksi yang terhadirkan dalam dunia yang sarat nilai-nilai kemanusiaan di satu pihak, dan dunia yang berimplikasi menegasikan nilai-nilai kemanusiaan itu di pihak lain. Yang penting bagi kita—utamanya bagi saya sendiri—adalah bagaimana menyiasati langkah agar anak-anak kita tidak terjerembab ke dalam konstatasi pengalaman yang sama. Apa boleh buat, kini kita memang hidup di tengah eskalasi keberagaman media hiburan, termasuk media film—baik yang disajikan dalam format konvensional maupun yang digital—yang tersedia begitu mudah dan dekat dari jangkauan keseharian mereka. Bukan medianya itu sendiri yang perlu kita waspadai, melainkan muatannya yang tidak bisa dimungkiri banyak mengandung elemen-elemen yang membahayakan perkembangan kepribadian anak-anak kita.

Baturaja, Januari 2013



[1] Sumber data tahun produksi: http://filmindonesia.or.id

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...