Kenangan masa kecil saya tentang film adalah kenangan
tentang perjumpaan yang terpilah di antara dua dunia yang kontradiktif. Di
dalamnya berlangsung semacam konfrontasi yang sangat mungkin memberi rona pada
keseluruhan personalitas saya. Dunia pertama adalah dunia yang menyemilir
tenteram, lirih, dan murni. Sebaliknya, dunia kedua adalah dunia yang berdegup
kencang oleh pengumbaran kekerasan, syahwat, dan klenik. Dunia pertama ada
dalam citra kelembutan humanisme; kontras dengan dunia kedua yang beraroma
pemenuhan naluri primordial. Dunia pertama tersaji di satu tempat yang begitu
dekat dan akrab: rumah. Dunia kedua bergemuruh pada satu arena terbuka
di malam hari: layar tancap.
***
Saya begitu terpesona oleh film serial drama keluarga Little
House on the Prairie—di lingkungan kami lebih dikenal dengan sebutan film Laura—yang
ditayangkan tiap Minggu siang di TVRI pada awal era ’80-an. Eksotisme visual
alam desa di kawasan Walnut Grove, Minessota, AS; detail karakterisasi tokoh-tokoh
yang begitu natural; kemesraan interaksi sosial yang tergambar pada setiap
episodenya, mungkin itu yang membuat serial ini melekat begitu kuat di dalam
alam kenangan masa kecil saya. Kekuatan kenangan itu bahkan tidak bisa
dibandingkan dengan kenangan saya terhadap serial-serial lainnya yang
mengangkat tema dasar yang relatif sama yang juga ditayangkan TVRI pada periode
waktu yang sama pula seperti Please Don’t Eat the Daisies (dibintangi
oleh Patricia
Crowley dan Mark Miller) dan Rumah Masa Depan (Deddy
Sutomo, Aminah Cendrakasih, Septian Dwi Cahyo, dan Andi Ansi).
***
Sampai dengan usia tiga belas, saya tinggal di sebuah
kampung di wilayah sebuah desa yang saat itu masuk Kecamatan Majalaya,
Kabupaten Bandung. Tentu saja di kampung ini tidak ada bioskop. Bioskop
terdekat ada di kota Kecamatan Majalaya. Tetapi, hampir setiap malam Minggu
digelar layar tancap yang di halaman kompleks SD tempat saya belajar.
Pergelaran rutin ini tidak gratis. Pengelolanya—perangkat desa—mencetak karcis
yang dapat dibeli dengan harga sekian rupiah. Untuk anak-anak disediakan karcis
khusus yang harganya lebih murah. Tentu saja film-film itu dilepas
ke arena layar tancap setelah berbulan-bulan lewat masa putarnya di
bioskop-bioskop.
Romantisme kenangan ini otomatis mengarahkan ingatan saya
pada sejumlah judul film Indonesia yang pernah saya tonton di arena hiburan
rakyat itu. (Beberapa film Amerika, India, dan Cina saya ingat juga pernah
digelar di arena itu. Namun, mungkin karena jumlahnya tidak banyak; mungkin
juga karena faktor lain, film-film tersebut tidak terlalu memberi kesan yang
kuat di dalam ingatan saya.) Dengan mengandalkan daya ingat yang saya miliki—yang
tentu saja terbatas—hasilnya adalah sederet judul ini: Gita Cinta dari SMA (1979),
Darah Muda (1977), Cinta Segitiga (1979), Pembalasan Si Pitung (1979),
Sundel Bolong (1981), Dendam Manusia Harimau (1981), Pengabdi
Setan (1980), Di Balik Kelambu (1983), Inem Pelayan Sexy (1976),
Guna-guna Istri Muda (1977), Dewi Malam (1978), Godaan Siluman
Perempuan (1978), Janur Kuning (1979), Kabut Sutra Ungu (1979),
Mana Tahaaan (1979), Jaka Sembung (1981), Bayi Ajaib (1982),
Nyi Blorong (1983), Pengkhianatan G30S/PKI (1984), Titian
Serambut Dibelah Tujuh (1982), Budak Nafsu (1981), Jaka Tingkir (1983),
Pendekar Kelelawar (1978), Roda-roda Gila (1978), Si Buta dari
Gua Hantu (1977), dan Gundala Putra Petir (1982)[1].
Apakah saya benar-benar pernah menonton kedua-puluh-enam
film itu? Jangan-jangan saya hanya pernah melihat highlight-nya; hanya
pernah mempercakapkannya; hanya pernah mendengar ulasannya; atau hanya
melihat iklan promosinya. Sebaliknya, mungkin saja jumlah sesungguhnya lebih
banyak dari itu. Mengingat keterbatasan kapasitas potensi ingatan manusia,
keraguan ini sangat wajar muncul. Tetapi, yang kemudian menjadi elementer bagi
saya adalah kenyataan bahwa dari 26 judul itu hanya 4 judul yang menurut
pandangan subjektif saya relatif “aman” dikonsumsi oleh bocah seusia saya saat
itu, yaitu Gita Cinta dari SMA, Janur Kuning, Pengkhianatan G30S/PKI, dan
Gundala Putra Petir. Bahkan, 7 judul di antaranya dengan yakin dapat saya
katakan masuk kategori film yang membahayakan perkembangan kepribadian anak,
yaitu Sundel Bolong, Pengabdi Setan, Inem Pelayan Sexy, Guna-guna Istri
Muda, Dewi Malam, Godaan Siluman Perempuan, dan Nyi Blorong.
Saya tidak tahu apakah orang tua saya—juga orang tua-orang
tua lainnya—saat itu merasa jengah atau tidak ketika membawa-serta anak-anak ke
arena layar tancap itu dan melihat anak-anak itu terperangah melihat
citra-citra visual yang keras, vulgar, dan berkecenderungan libidis itu.
Tetapi, saya kira kita sepakat bahwa bocah seusia saya saat itu secara
psikologis akan lebih aman jika dilokalisasi agar konstatasi pengalamannya
tidak bersentuhan dengan materi-materi tayangan seperti itu.
***
Dua gambaran di atas memperlihatkan betapa konstatasi
pengalaman masa kecil saya tentang film Indonesia dihadapkan pada kontradiksi
yang terhadirkan dalam dunia yang sarat nilai-nilai kemanusiaan di satu pihak,
dan dunia yang berimplikasi menegasikan nilai-nilai kemanusiaan itu di pihak
lain. Yang penting bagi kita—utamanya bagi saya sendiri—adalah bagaimana menyiasati
langkah agar anak-anak kita tidak terjerembab ke dalam konstatasi pengalaman
yang sama. Apa boleh buat, kini kita memang hidup di tengah eskalasi keberagaman
media hiburan, termasuk media film—baik yang disajikan dalam format
konvensional maupun yang digital—yang tersedia begitu mudah dan dekat dari
jangkauan keseharian mereka. Bukan medianya itu sendiri yang perlu kita
waspadai, melainkan muatannya yang tidak bisa dimungkiri banyak mengandung
elemen-elemen yang membahayakan perkembangan kepribadian anak-anak kita. ■
Baturaja, Januari 2013