A. Pendahuluan
Perkembangan filsafat pada hakikatnya selalu berhubungan dengan tradisi
pemikiran. Karena tradisi pemikiran itu hidup dan berkembang dalam masyarakat
maka filsafat menemukan bentuk dan warna sesuai dengan masyarakat tempat
filsafat itu berkembang.
Tradisi
pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat
dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini
kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam
pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri karena kita akan dapat
melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi
negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Mengutip (Mustansyir, 2008:
58—59), Syekhuddin (2009) menyatakan bahwa ditinjau dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat
periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada
waktu itu yang dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, adalah Zaman Yunani Kuno. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno
adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
sebagai ikhtiar menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal
terjadinya gejala-gejala. Para filsuf pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan
jagad raya sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris.
Kedua, Zaman Abad Pertengahan. Ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris.
Para filsuf pada
masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama
Kristiani. Akibatnya, perkembangan alam pemikiran Eropa pada Abad Pertengahan
sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama sehingga
pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang seakan-akan tidak penting
bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya.
Ketiga, adalah Zaman Abad Modern. Karena para filsuf zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat. Corak
filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern
dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan.
Letak perbedaan itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu
pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh
Gereja dengan dogma-dogmanya, pada zaman modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal
manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan
mana pun,
kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri, yaitu akal. Kekuasaan
yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya
yang bersifat absolut.
Keempat, abad kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris yang menekankan teks sebagai tema
sentral diskursus filsafat. Logosentrisme (Karyanto,
2007: 46—47) memiliki implikasi yang luas terhadap pembicaraan tentang dekonstruksi bahasa yang—mau tidak mau—mesti
dikaitkan dengan semangat yang melahirkannya, yaitu gerakan postmodernisme.
Gerakan postmodernisme sampai saat ini masih mencari kejelasan format dan
metodologinya. Sejauh ini kejelasan bukanlah ciri yang menonjol dari gerakan
ini. Hidayat (2006: 199—200), misalnya, melansir beberapa pertanyaan yang
pantas diajukan pada gerakan ini. Apakah ia merupakan periode sejarah dari
kebudayaan postmodernitas, atau justru hanya merupakan mode masa kini? Apakah
ini konsep filosofis, atau sastra dan arsitektur masa sekarang, ataukah hanya
merupakan perlawanan dan reaksi serta oposisi terhadap modernisme? Apakah ini
merupakan reaksi terhadap gaya seni global dan fenomena sosial ataukah reaksi
dan model kritik terhadap epistemologi objektif modernisme?
Pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada filsafat
modern dan perkembangannya yang difokuskan pada tiga topik utama yaitu
perkembangan (1) filsafat Barat pada Era Renaisans, (2) filsafat modern aliran rasionalisme, dan (3) filsafat
modern aliran empirisme.
B.
Filsafat pada Era Renaisans
Zaqzuq (1988) menyatakan bahwa tidak
mudah menentukan batas yang jelas mengenai akhir Zaman Pertengahan dan awal yang pasti dari Zaman Modern. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan para ahli
sejarah tentang peralihan kedua zaman itu. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa Zaman Pertengahan
berakhir ketika Konstantinopel ditaklukkan oleh Turki Usmani pada tahun 1453 M.
Peristiwa tersebut dianggap sebagai akhir Zaman Pertengahan dan titik awal Zaman Modern. Ada juga yang berpendapat bahwa penemuan Benua Amerika oleh Columbus pada
tahun 1492 M
menandai awal Zaman Modern. Para ahli yang lain
cenderung menganggap Era Gerakan Reformasi Keagamaan yang dimotori oleh Martin Luther pada tahun 1517 M sebagai akhir Zaman Pertengahan. Namun, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa akhir abad ke-14 sekaligus menjadi akhir Zaman Pertengahan yang ditandai oleh suatu gerakan yang disebut Renaisans (Renaissance) pada abad ke-15 dan 16. Dengan demikian, abad ke-17 menjadi bagian awal dari zaman filsafat modern (Syekhuddin, 2009).
Renaisans
berasal dari istilah bahasa Prancis renaissance yang berarti ‘kelahiran kembali’ (rebirth). Istilah ini
biasanya digunakan oleh para ahli sejarah untuk menunjuk berbagai periode
kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia sepanjang
abad ke-15 dan ke-16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh seorang ahli sejarah
terkenal yang bernama Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860)
untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme,
kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang
dioposisikan dengan periode Abad Pertengahan.
Abad
Pertengahan, menurut Tafsir (1998: 109) adalah abad ketika alam pikiran dikungkung oleh Gereja.
Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat dibatasi sehingga perkembangan
sains sulit terjadi. Demikian pula dengan filsafat yang tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia
tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari
alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif itulah orang teringat
pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju, pemikiran tidak
dikungkung sehingga sains berkembang, yaitu Zaman Yunani Kuno. Pada Zaman Yunani Kuno tersebut orang melihat kemajuan
kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan
kembali (Syekhuddin, 2009).
Pada
pertengahan abad ke-14, di Italia muncul gerakan pembaruan di bidang keagamaan
dan kemasyarakatan yang dipelopori oleh kaum humanis Italia. Tujuan utama
gerakan ini adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani
dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Gerakan ini
berusaha meyakinkan Gereja bahwa sifat pikiran-pikiran klasik itu tidak dapat
binasa. Dengan memanfaatkan kebudayaan dan bahasa klasik itu mereka berupaya
menyatukan kembali Gereja yang terpecah-pecah dalam banyak sekte (Syekhuddin, 2009).
Tidak
dapat dinafikan bahwa pada abad pertengahan orang telah mempelajari karya-karya
para filsuf Yunani dan Latin. Namun, apa yang telah dilakukan oleh orang pada masa itu berbeda
dengan apa yang diinginkan dan dilakukan oleh kaum humanis. Para humanis
bermaksud meningkatkan perkembangan yang harmonis dari kecakapan serta berbagai
keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan adanya kepustakaan
yang baik dan mengikuti kultur klasik Yunani. Para humanis pada umumnya
berpendapat bahwa hal-hal yang alamiah pada diri manusia adalah modal yang
cukup untuk meraih pengetahuan dan menciptakan peradaban manusia. Tanpa wahyu,
manusia dapat menghasilkan karya budaya yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa humanisme telah memberi sumbangannya kepada renaisans untuk
menjadikan kebudayaan bersifat alamiah (Syekhuddin, 2009).
Zaman Renaisans banyak memberikan perhatian
pada aspek realitas. Perhatian yang sebenarnya difokuskan pada hal-hal yang
bersifat konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula
terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal
diberi kepercayaan dan porsi yang lebih besar karena ada suatu keyakinan bahwa
akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan
pemecahannya. Hal ini dibuktikan dengan perang terbuka terhadap kepercayaan
yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya. Asumsi
yang digunakan adalah semakin besar kekuasaan akal maka akan lahir dunia baru
yang dihuni oleh manusia-manusia yang dapat merasakan kepuasan atas dasar
kepemimpinan akal yang sehat.
Pada
zaman ini, menurut Mustansyir (2008: 70), berbagai gerakan bersatu untuk
menentang pola pemikiran Abad Pertengahan yang dogmatis sehingga melahirkan suatu perubahan
revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru
dalam filsafat. Zaman renaisans terkenal dengan era kelahiran kembali
kebebasan manusia dalam berpikir seperti pada Zaman Yunani Kuno. Manusia dikenal sebagai animal rationale karena pada masa ini pemikiran
manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil
usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Ilahi. Saat itu manusia
Barat mulai berpikir secara baru dan berangsur-angsur melepaskan diri dari
otoritas kekuasaan Gereja yang sebelumnya telah mengungkung kebebasan dalam
mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan (Syekhuddin, 2009).
Tafsir (1998: 110) mengatakan zaman ini
juga sering disebut sebagai zaman humanisme. Maksud
ungkapan tersebut adalah manusia diangkat dari Abad Pertengahan. Pada abad tersebut
manusia kurang dihargai kemanusiaannya. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran
gereja, bukan menurut ukuran yang dibuat oleh manusia sendiri. Humanisme
menghendaki ukurannya haruslah manusia karena manusia mempunyai kemampuan berpikir. Bertolak dari
sini, humanisme
menganggap manusia mampu mengatur dirinya sendiri dan mengatur dunia. Karena
semangat humanisme tersebut, akhirnya agama Kristen semakin ditinggalkan,
sementara pengetahuan rasional dan sains berkembang pesat terpisah dari agama
dan nilai-nilai spiritual (Syekhuddin, 2009).
Renaisans
tidak lahir secara kebetulan, tetapi ada prakondisi yang mengawali terjadinya
kelahiran tersebut. Menurut Zaqzuq (1988), ada beberapa faktor penting yang memengaruhi
kelahiran Renaisans, yaitu yang diuraikan sebagai berikut.
Pertama, implikasi
yang sangat signifikan yang ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat.
Gerakan tersebut lahir sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam
bahasa latin selama dua abad, yaitu abad ke-13 dan 14. Bahkan sebelumnya telah
terjadi penerjemahan kitab-kitab Arab di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal itu dilakukan setelah Barat sadar bahwa Arab memiliki kunci-kunci khazanah pemikiran
klasik Yunani.
Hasil
dari penerjemahan karya-karya Muslim berpengaruh terhadap kurikulum Eropa Barat
secara revolusioner, terutama di bidang matematika, kedokteran, astronomi,
filologi, fisika, ilmu kimia, geografi, sejarah, musik, teologi, dan filsafat.
Transformasi tersebut menumbuhkan universitas-universitas Eropa abad ke-12 dan ke-13. Hal itu, menurut Nakosteen (1996: 271), telah menstimulasi perkembangan lebih lanjut teori dan
praktik kedokteran, memodifikasi doktrin-doktrin teologi, memprakarsai dunia
baru dalam matematika, menghasilkan kontroversi baru dalam teologi dan
filsafat.
Kedua, pasca-penaklukan Konstantinopel oleh
Turki Usmani, terjadi migrasi para pendeta dan sarjana ke Italia dan
negara-negara Eropa lainnya. Para sarjana tersebut menjadi pionir-pionir bagi
pengembangan ilmu di Eropa. Mereka secara bahu-membahu menghidupkan pemikiran klasik
Yunani di Florensia dengan membawa teks-teks dan manuskrip-manuskrip yang belum
dikenal sebelumnya.
Ketiga, pendirian
berbagai lembaga ilmiah yang mengajarkan beragam ilmu, seperti berdirinya
Akademi Florensia dan College de France di Paris. Dalam universitas-universitas abad ke-12 dan ke-13, ilmu
pengetahuan telah didasarkan hampir sepenuhnya pada tulisan-tulisan dari para penulis
Muslim atau Yunani, sebagaimana diterjemahkan dari sumber-sumber bahasa Arab
dan Yunani. Ilmu pengetahuan Muslim Aristotelian tetap merupakan inti dari
kurikulum Universitas Paris hingga abad ke-16. Tidak sampai pertengahan abad ke-16 dan
datangnya Copernicus dalam astronomi, Paracelsus dalam ilmu kedokteran, dan Vesalius dalam anatomi; ilmu pengetahuan Muslim-Helenistik telah
membuka jalan kepada konsep-konsep baru tentang manusia dan dunianya sehingga menimbulkan keruntuhan
periode Abad Pertengahan (Nakosteen, 1996: 276).
Selain
itu, ada beberapa faktor lain yang melahirkan
Renaisans, yaitu:
1)
hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan
Prancis membuat para pendeta mendapat kesempatan belajar di Spanyol kemudian
mereka kembali ke Prancis untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka
peroleh di lembaga-lembaga pendidikan di Prancis.
2)
Perang Salib (1100—1300 M) yang terulang sampai enam kali,
tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, tetapi juga menjadikan para tentara
atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan
negara-negara Islam sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu
sekembalinya di negara-negara masing-masing (Syekhuddin, 2009).
Pada Zaman Renaisans ada banyak penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di
antara tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut.
1.
Nicolaus Copernicus (1473—1543)
Ia
dilahirkan di Torun, Polandia dan belajar di Universitas Cracow. Walaupun ia
tidak mengambil studi astronomi, namun ia mempunyai koleksi buku-buku astronomi
dan matematika. Ia sering disebut sebagai Founder of Astronomy. Ia
mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat jagad raya dan bumi mempunyai
dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan perputaran
tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut heliocentric menggeser
teori Ptolemaic. Ini adalah perkembangan besar, tetapi yang lebih
penting adalah metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup penelitian
terhadap benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan benda-benda
tersebut (Titus et al., 1984: 258).
2.
Galileo Galilei (1564—1642)
Galileo
Galilei adalah salah seorang penemu terbesar di bidang ilmu pengetahuan. Ia
menemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak parabola,
bukan gerak horizontal yang kemudian berubah menjadi gerak vertikal. Ia menerima
pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan teleskopnya, ia
mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari
bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri sendiri.
Selain itu, ia juga berhasil mengamati bentuk Venus dan menemukan beberapa
satelit Jupiter (Hadiwijono, 1993: 14; lihat Syekhuddin, 2009).
3.
Francis Bacon (1561-1626)
Francis
Bacon adalah seorang filsuf dan politikus Inggris. Ia belajar di Cambridge University
dan kemudian menduduki jabatan penting di pemerintahan serta pernah terpilih
menjadi anggota parlemen. Ia adalah pendukung penggunaan scientific methods. Ia
berpendapat bahwa pengakuan tentang pengetahuan pada zaman dahulu kebanyakan
salah, tetapi ia percaya bahwa orang dapat mengungkapkan kebenaran dengan inductive
method, tetapi lebih dahulu harus membersihkan fikiran dari prasangka yang
ia namakan idols atau arca (Titus et al., 1984: 258).
Bacon
telah memberi kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir
dalam bukunya Idols of the Mind. Pertama,
Arca-arca Suku (Idols of the Tribes), yang memperlihatkan bahwa kita cenderung menerima bukti-bukti dan kejadian-kejadian yang
menguntungkan pihak atau kelompok (suku atau bangsa) kita semata. Kedua,
Arca-arca Gua (Idols of Cave) yang memperlihatkan bahwa kita cenderung memandang diri kita sebagai pusat dunia dan
menekankan pendapat kita yang terbatas. Ketiga, Arca-arca Pasar (Idols
of the Market) yang menjadikan kita terpengaruh oleh kata-kata atau
nama-nama yang kita kenal dalam percakapan kita sehari-hari. Kita disesatkan
oleh kata-kata yang diucapkan secara emosional. Sebagai contoh, dalam masyarakat Amerika kata-kata komunis, radikal, dan teroris. Keempat,
Arca-arca Panggung (Idols of Theatre) yang timbul karena sikap kita
berpegang pada partai, kepercayaan, atau keyakinan. Tingkah laku, cara-cara, dan aliran-aliran pikiran adalah
seperti panggung, dalam arti bahwa mereka membawa kita ke dunia khayal.
Akhirnya arca panggung membawa kita kepada kesimpulan yang salah dasar (Titus et al., 1984: 191).
Bacon
menolak silogisme sebab silogisme dipandang tanpa arti dalam ilmu pengetahuan karena tidak
mengajarkan kebenaran-kebenaran yang baru. Ia juga menekankan bahwa ilmu
pengetahuan hanya dapat dihasilkan melalui pengamatan, eksperimen, dan harus berdasarkan data-data
yang tersusun. Dengan demikian, Bacon dapat dipandang sebagai peletak dasar-dasar metode
induksi modern dan pelopor dalam usaha sistematisasi secara logis dalam prosedur ilmiah (Syekhuddin, 2009).
Dalam
bidang filsafat, Zaman Renaisans tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan
dengan bidang seni dan sains. Filsafat berkembang bukan pada zaman itu,
melainkan kelak pada zaman sesudahnya yaitu Zaman Modern. Meskipun terdapat berbagai perubahan mendasar, tetapi
abad-abad Renaisans
tidaklah secara langsung menjadi lahan subur bagi pertumbuhan filsafat. Baru
pada abad ke-17 dengan dorongan daya hidup yang kuat sejak Era Renaisans, filsafat mendapatkan pengungkapannya yang lebih
jelas. Jadi, pada Zaman Modern filsafat didahului oleh Zaman Renaisans. Ciri-ciri filsafat Renaisans dapat ditemukan pada filsafat modern. Ciri
tersebut antara lain, menghidupkan kembali rasionalisme Yunani, individualisme,
humanisme, lepas dari pengaruh agama, dan lain-lain (Tafsir, 1998: 111; lihat Syekhuddin, 2009).
Pada
abad ke-17,
pemikiran Renaisans
mencapai kesempurnaannya pada diri beberapa tokoh besar. Pada abad ini tercapai
kedewasaan pemikiran sehingga ada kesatuan yang memberi semangat yang diperlukan
pada abad-abad berikutnya. Pada masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanyalah apa yang
secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman
(empiri). Sebagai akibat dari kecenderungan berbeda dalam memberi penekanan
kepada salah satu dari keduanya maka pada abad ini lahir dua aliran yang saling
bertentangan, yaitu rasionalisme yang memberi penekanan pada rasio dan empirisme
yang memberi penekanan pada empiri.
C. Filsafat Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal
sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir Renaisans masih berlanjut terus sampai abad
ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam
artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang
besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal
segala macam persoalan dapat dijelaskan; semua permasalahan dapat dipahami dan
dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan
yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang
terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya; terhadap kepercayaan yang
bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan; terhadap
norma-norma yang bersifat tradisi; dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal
termasuk keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan
kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih
sempurna; dipimpin dan dikendalikan oleh
akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam
bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a
priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak
berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam filsafat dikenal dengan
nama aliran rasionalisme (Syekhuddin, 2009).
Pada
zaman filsafat modern, tokoh
pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (1595—1650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza
(1632—1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646—1716).
Descartes
dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak”
pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern
itu yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang
dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang pertama di akhir Abad Pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas
yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan
iman, bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak
puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban.
Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama
Kristen dan selanjutnya
kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada
akal.
Descartes
sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar
filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh
pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam
jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk
meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya
dalam sebuah metode yang sering disebut cogito Descartes atau sering disebut metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga
dengan Metode Keraguan Descartes (Cartesian
Doubt) (Syekhuddin, 2009).
Uraian Descartes yang lebih jelas tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih
dari metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes
Discourse on Methods yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut
ini.
1)
Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali
bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas sehingga tidak ada suatu keraguan
apa pun yang mampu merobohkannya.
2)
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak
mungkin bagian sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu
merobohkannya.
3)
Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal
yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang
paling sulit dan kompleks.
4)
Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit,
selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan
yang menyeluruh sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang
terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu (Praja, 2008: 96; lihat Syekhuddin, 2009).
Atas
dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia
meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan
hal-hal yang berkaitan dengan pancaindera. Ia meragukan adanya badannya
sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi,
ilusi, dan pengalaman tentang roh halus, ada
yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat ke-ada-an itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam
keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami
sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi. Begitu pula
pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan
jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, ”Aku dapat meragukan bahwa aku di
sini sedang siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena
kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku ada di tempat tidur
sedang bermimpi”. Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa yang sedang kita alami
sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan mimpi?
Pada langkah
pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera.
Sekarang , apa yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut
Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, dan hal gaib), juga dalam
jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu muncul baik dalam jaga
maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah, dan besaran (volume). Ketiga hal tersebut adalah
matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini benar-benar ada, Descartes pun meragukannya. Ia
mengatakan bahwa matematika bisa salah. “Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur besaran,
demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan,
meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti itu
dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct” (Syekhuddin, 2009).
Sampailah
ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito. Satu-satunya hal
yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang
ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat
menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian ia
disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada maka penyesatan itu pun bagi
Descartes merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan.
Ini bukan khayalan, melainkan kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini
diekspresikan dalam bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena
itu saya ada).
Dalam
usaha untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya
ada) adalah benar, Descartes berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh
kejelasan dan ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa
semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul
dalam pikiran kita: ”Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas
adalah benar”.
Dengan
demikian, menurut Suriasumantri (2003: 100—101) falsafah rasional mempercayai bahwa
pengetahuan yang dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia pengalaman
melainkan dari dunia pikiran. Descartes mengakui bahwa pengetahuan dapat
dihasilkan oleh indera tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa
menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan, maka dia terpaksa mengambil
kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat diandalkan (Syekhuddin, 2009).
Cogito
ergo sum
dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut
sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophium). Aku
sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan
hakikatnya terdiri atas pikiran dan keberadaannya tidak butuh kepada suatu
tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Untuk
menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan (innate ideas).
Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang telah
ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan, dan keluasan. Argumen tentang ide bawaan tersebut
adalah ketika saya memahami diri saya sebagai makhluk yang
berpikir maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
Ketika saya mempunyai ide sempurna maka pasti ada penyebab sempurna bagi ide tersebut karena akibat tidak mungkin
melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah Tuhan. Adapun,
alasan tentang keluasan karena saya mengerti ada materi sebagai keluasan,
sebagaimana diketahui dan dipelajari dalam ilmu geometri.
Mengenai
substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi,
yaitu jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang
hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan
adanya dunia di luar dirinya maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut.
Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah
bahwa Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan.
Namun tidak mungkin Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya.
Jadi, di luar saya benar-benar ada dunia material.
Adapun, Spinoza beranggapan bahwa hanya
ada satu substansi, yaitu Tuhan. Jika Descartes membagi substansi menjadi tiga,
yaitu tubuh (bodies), jiwa (mind) dan Tuhan, Spinoza menyimpulkan
hanya ada satu substansi. Adapun bodies dan mind bukan substansi
yang berdiri sendiri, melainkan sifat dari satu substansi yang tak terbatas.
Ketika ia ditanya,”Bagaimana membedakan atribut bodies dan mind?”
Spinoza memberi jawaban mengejutkan: ”Anda hanyalah satu bagian dari substansi
kosmik (universe)”. Jika demikian, alam semesta juga adalah Tuhan. Bagi
Spinoza, Tuhan dan alam semesta adalah satu dan sama. Ya, Spinoza percaya
kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan
Spinoza itu tidak berkemauan, tidak melakukan sesuatu, tak mempedulikan manusia
dan tak terbatas (ultimate). Inilah penjelasan logis dan dapat diketahui
tentang Tuhan menurut Spinoza (Syekhuddin, 2009).
Sebagai penganut rasionalisme, Spinoza dianggap sebagai
orang yang tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh
penganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang
menyerupai sistem ilmu ukur (geometri). Seperti halnya orang Yunani, Spinoza
mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak
perlu dibuktikan lagi. Spinoza meyakini bahwa jika seseorang memahami makna
yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur maka ia pasti
akan memahami makna yang terkandung dalam pernyataan “sebuah garis lurus
merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”, maka kita harus mengakui
kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran yang demikian menjadi aksioma (Syekhuddin, 2009).
Contoh
ilmu ukur (geometri) yang dikemukakan oleh Spinoza di atas adalah salah satu
contoh favorit kaum rasionalis. Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri
seperti “sebuah garis lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik”
adalah idea yang jelas dan tegas yang baru kemudian dapat diketahui oleh
manusia. Dari aksioma dasar itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri
dari subaksioma-subaksioma. Hasilnya adalah sebuah jaringan pernyataan yang
formal dan konsisten yang secara logis tersusun dalam batas-batas yang telah
digariskan oleh suatu aksioma dasar yang sudah pasti.
D.
Filsafat Empirisme
Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda
dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti jejak
Francis Bacon, yaitu aliran empirisme. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan
peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan
mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria
yang berarti ‘pengalaman’. Sebagai suatu doktrin, empirisme
adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak
sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka
empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme (Syekhuddin, 2009).
Orang
pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah
Thomas Hobbes (1588—1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode
penelitian maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah
menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen.
Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode
yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan
rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada
zaman modern.
Menurut
Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum sebab
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat,
atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan
pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran
filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun, alatnya adalah
pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan
fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam
bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini
dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian: ruang, waktu, bilangan, dan gerak yang diamati pada
benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada
benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari
bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan
sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala
yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan
ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran
kita.
Sebagai
penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman.
Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan
diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan kepastian.
Berbeda
dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah
mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan
pengurangan,
misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam
ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan
apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak
benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita.
Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul
reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Untuk
mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal
kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata.
Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa
tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak
benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan
membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang.
Selanjutnya
tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632—1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris
kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke,
yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha
menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes
dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran
empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas
pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan
datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada
waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan
dari dirinya sendiri (Syekhuddin, 2009).
Pada waktu manusia dilahirkan,
akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh
dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tetapi, menurut
Locke, pikiran bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang
dari luar. Beberapa aktivitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang
dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai, meragukan, dan dengan demikian memunculkan
apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke
menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan
sederhana. Ketika kita makan apel, misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu
penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan
sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar, dan sebagainya. Setelah kita makan
apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran
kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit
atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa
semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.
Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman
inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang
menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak
kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Di
tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme
Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari
pengalaman maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari
segala pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan
yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat.
Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang
sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.
E.
Penutup
Dari
pembahasan terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1) Kemunculan renaisans telah membawa hidupnya kembali ilmu
pengetahuan, filsafat, dan perubahan di berbagai lini kehidupan sehingga para sejarawan
menganggapnya sebagai awal zaman modern. Berbagai perubahan yang terjadi selama
era renaisans menjadi persiapan bagi pembentukan filsafat pad abad ke-17, atau
yang dikenal dengan filsafat modern.
2) Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah
akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman
dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan
yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari
dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan diri
yang metafisik, ketika Descartes meragukan aku yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
3) Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan.
Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data
yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif.
Jika rasionalisme menonjolkan aku yang metafisik, maka empirisme menonjolkan aku yang
empiris. ∎
Kepustakaan
Hidayat, Asep
Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda,
Cet. I. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Karyanto, Uum G.
2007. “Dekonstruksi Bahasa sebagai Strategi Puitik Kalung dari Teman”
dalam 27 Naskah Terbaik LMKS 2006. Jakarta: Ditjen Mandikdasmen,
Departemen Pendidikan Nasional.
Syekhuddin. 2009.
“Filsafat Modern dan Pembentukannya (Renaisans, Rasionalisme, & Empirisme)”
http://jaringskripsi.wordpress.com, diakses pada 22
Oktober 2013.
Titus, Harold H., Marilyn Smith, dan Richard Nolan. 1984. Living Issues in philosophy.
Diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I. Jakarta: Bulan Bintang.