Telah
banyak upaya yang mereka ikhtiarkan untuk bisa mendapat keturunan. Dari pengobatan
medis, pengobatan tradisional, terapi alternatif ke paranormal, bahkan pernah
pula kudengar mereka mendatangi dukun, meski kemudian itu mereka sesali.
Tetapi, sampai usia kedelapan perkawinan, rumah mereka yang mungil belum juga
dihiasi tangis bayi yang mereka idam-idamkan.
Akhir-akhir
ini kegamangan sikap Mbak Arina semakin terasa. Aku tahu itu karena apa yang
dialaminya kontras sekali dengan keadaanku dan keadaan Yu Ismi. Pada usia
perkawinan kami yang saat ini memasuki tahun keempat, kini di dalam rahimku
telah mekar kuncup kedua buah cinta kami. Lebih kurang tiga bulan lagi aku akan
menjalani lagi salah satu kodratku sebagai perempuan. Kodrat yang kata Mas Gi,
suamiku, mengamanatkan tugas teramat mulia bagi kelangsungan silsilah
kehidupan. Gita, anak kami yang pertama, lahir pada bulan kesepuluh perkawinan
kami.
Keadaan
serupa sedang dialami pula oleh Yu Ismi. Dia istri Kak Is—kakak Mas Gi. Sekitar
sebulan lagi Yu Ismi akan melahirkan anak kelima dalam usia tiga puluh enam
tahun. Anaknya yang pertama, Rien, kini duduk di kelas pertama sebuah SMK.
Viena, anak kedua, kelas terakhir SMP. Berikutnya Arum, kelas V SD; dan yang
terakhir Lesmana, tahun depan masuk SD. Sebenarnya, setelah kelahiran Lesmana
mereka tidak menghendaki ”nambah” lagi. Tetapi kenyataannya, Yu Ismi malah
”berisi” lagi. Apa boleh buat?
***
Pagi
tadi telepon di rumah berdering. Rien mengabarkan mamanya telah dibawa ke
klinik bersalin. Mamanya, kata Rien, telah merasakan saatnya tiba. Aku dan Mas
Gi segera bergegas ke klinik yang kalau tidak salah ingat juga merupakan tempat
Viena, Arum, dan Lesmana dilahirkan. Rien sendiri yang lahir di rumah sakit.
Nana kami ajak.
Tak
ada yang mencemaskan dari proses persalinan Yu Ismi. Kami berkumpul dalam
suasana cair di ruang tunggu. Apalagi, dokter baru saja memastikan kondisi Yu
Ismi normal-noemal saja. Mas Is terlihat tenang. Ibu mertuaku sesekali dibuat
sibuk oleh kelincahan Gita yang berlari ke sana ke mari bersama Lesmana.
Tiba-tiba
Gita menarik-narik tanganku; menunjuk-nunjuk ke arah depan.
”Mama,
sini, Ma! Ada kepiting!” teriaknya.
”Kepiting?
Masak di sini ada kepiting, Git?” tanyaku heran.
”Iya,
Ma! Itu, di depan!”
Gita
terus menarik-narik tanganku. Aku mengikutinya.
”Itu,
Ma, kepitingnya!”
Aku
tertawa. Gita menunjuk ke arah patung replika rahim di taman bagian depan
klinik.
”Sayang,
itu bukan kepiting. Itu patung tiruan tempat dedek bobok di dalam perut Mama.
Di sini.” Aku menunjuk ke arah perutku. ”Dulu, Gita juga tidul di situ.”
Gita
tampak tidak puas. ”Masak di tempat bobok dedek ada capitnya, Ma?”
desaknya sambil menunjuk-nunjuk ke arah sepasang tuba fallopi1 dari
bagian replika rahim itu. Istilah itu kukenal dulu sebelum Gita lahir.
Kehamilan pertama membuat aku ingin tahu banyak mengenai seluk-beluk obstentri2
dan ginekologi3. Tetapi, bagaimana menjelaskan semua itu
kepada anak kecil ini?
”Ada
apa, Gita?” Kudengar seseorang menyapa anakku dari arah belakang. Suara
perempuan yang amat kukenal. Mbak Arina! Ketika aku menoleh, kulihat dia
bersisian dengan Mas Ardi. Tangan Mas Ardi memeluk pada pundaknya.
Kejutan!
Setelah terakhir ikut menunggui kelahiran Arum, Mbak Arina tidak pernah lagi
hadir dalam ”acara” seperti ini. Termasuk saat Gita lahir. Kami mengerti.
Tetapi, kali ini dia ada di sini. Dengan Mas Ardi lagi! Dan ... apakah aku salah
membaca pancaran wajah mereka karena kulihat wajah-wajah itu bukan wajah-wajah
yang kemarin-kemarin. Aku tidak melihat lembayung sendu yang selama ini
membayang dari rona wajah mereka.
”Kok,
malah bengong, Dik. Mana yang lain? Sudah lahir?” tanya Mbak Arina.
”Eh,
belum, belum,” aku tergagap. Kejutan oleh kehadiran mereka belum sepenuhnya
hilang. ”Mereka di sana, di ruang tunggu,” lanjutku. Aku tidak tahu kapan Mbak
Arina menarik Nana ke pangkuannya. Bahkan, aku tidak mendengar kalimat apa yang
diucapkan Mas Ardi. Aku baru sadar ketika Gita berteriak, ”Ayo, Ma. Lihat
dedek!” Aku pun tergopoh-gopoh mengikuti langkah mereka.
Begitu
melihat kedatangan Mbak Arina dan Mas Ardi, mereka—Ibu, Mas Is, dan Mas
Gi—memperlihatkan reaksi yang kira-kira sama dengan reaksiku. Terpana beberapa
saat dengan wajah terkejut. Ibu yang lebih dahulu pulih dari keterkejutan
sesaat itu. Dia bangkit dan memeluk serta menciumi kedua pipi Mbak Arina lalu
membimbing anak perempuan satu-satunya itu duduk. Baru beberapa detik Mbak
Arina duduk, dokter menghampiri Mas Is dan menjabat tangannya sambil
mengucapkan selamat. ”Putri Bapak sehat dan cantik sekali. Ibunya juga sehat.
Selamat ya, Pak.”
Mas
Gi bangkit dan memeluk Mas Is yang sekarang ayah lima anak itu. Demikian juga
Mas Ardi. Sungguh! Aku tidak melihat ketidakwajaran sikap Mbak Arina dan Mas
Ardi. Semuanya begitu lepas. Justru kami yang lainnya yang tampak agak kaku
menyambutnya.
Lalu,
kemana kegamangan yang selama ini menggayuti sikap mereka?
”Kak
Is, Ibu, juga semuanya,” Mas Ardi angkat bicara, ”saya senang sekali anak Kak
Is, Yu Asma, telah lahir dengan selamat. Dan, saya ... eh, maksud saya,
kami...,” ia melirik penuh arti ke arah Mbak Arina. Lalu, lanjutnya, ”Kami
rasanya lebih bahagia hari ini, karena ....”
”Saya
positif, Bu,” potong Mbak Arina sambil mengalihkan pandangan ke arah Ibu,
kemudian kepadaku.
”Oh,
sungguh, Mbak?” Tak sadar aku berteriak, lalu memeluknya erat-erat. Ketika
kucium pipinya, ada yang terasa basah di sana.
***
Aku
baru saja menidurkan Bagus—si kecilku yang baru lahir dua bulan yang lalu—di
boks setelah menyusuinya ketika Ibu memberitahukan kedatangan Mas Ardi. Sejak
kelahiran Bagus Ibu memang tinggal bersama kami. Mas Gi belum pulang, dan Gita
entah ke mana. Tadi temannya menjemputnya main. Aku segera ke depan menemui Mas
Ardi.
”Lho,
kok sendirian Mas? Mana Mbak Arina?”
Dia
tidak langsung menjawab. Malah dalam gerakan lamban dan tidak pasti, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tarikan napas terasa berat. Aku merasakan
firasat tidak enak.
”Mbak
Arina kurang sehat, Mas?” desakku.
”Itulah,
Dik Tita. Dia ....”
Dengan
suara lemah, Mas Ardi menuturkan apa yang dialami istrinya. Sekitar dua minggu
setelah dipastikan positif hamil, terasa ada yang perih luar biasa di dalam
perut Mbak Arina. Dugaan Mas Ardi, itu gejala biasa yang dialami setiap
perempuan hamil. Tetapi, rasa perih itu lama tak hilang-hilang juga. Lalu, ia
membawanya ke dokter. Di depan mereka berdua, dokter juga hanya mengatakan itu
gejala biasa. Tetapi, diam-diam, tanpa sepengetahuan Mbak Arina, dokter itu
meminta Mas Ardi untuk menemuinya lagi esoknya.
Ketika
ditemui keesokan harinya, dokter mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan
rahim Mbak Arina. Hasil USG dengan dukungan pemeriksaan sebelumnya memperlihatkan
ada gumpalan yang melekat di dinding sebelah dalam rahim kakak iparku itu. Ia
merekomendasikan tindakan PA di rumah sakit.
Alangkah
nelangsanya Mas Ardi ketika dokter di rumah sakit itu, berdasarkan tes darah,
tes urine, USG ulang, foto rontgen, dan dikuatkan hasil analisi PA,
memvonis ada kista yang diperkirakan telah bersarang jauh sebelum pembuahan
terjadi di rahim Mbak Arina. Pertumbuhan kista itu sudah dalam stadium
perkembangan yang mengkhawatirkan.
”Rahim
Arina harus diangkat, Bu,” keluhnya putus asa sambil menatap Ibu yang bergabung
setelah melihat betapa seriusnya percakapan kami, Dan itu artinya ... artinya
...” Tak ada kekuatan Mas Ardi untuk menyelesaikan kalimatnya. Dia ambruk di
pangkuan Ibu. Perempuan yang kucinta seperti kecintaanku terhadap Mama itu
menatapku meminta penjelasan. Sorot mata Ibu sering mengingatkanku pada sorot
mata mendiang Mama.
”Artinya
... Mbak Arina ... tak mungkin punya ... a-nak, Bu.”
”Masya
Allah ...!” suara Ibu tercekat. Awan kelabu menggurat pada matanya yang
tua. Tetapi, pada mata itu juga dapat kutangkap lintasan perjalanan hidup yang
menempanya untuk bisa tabah. Ketabahan yang perlahan ia alirkan kepada Mas Ardi
lewat belaian-belaian lembut penuh cinta pada rambut lelaki itu.
***
Operasi
pengangkatan rahim Mbak Arina berjalan mulus. Masa penyembuhan dilewatinya
dengan baik. Tetapi, itu hanya secara fisik. Mbak Arina tak kuasa menahan
kepedihan yang begitu keras menghempas jiwanya. Ia mengalami depresi berat.
Kami tidak punya pilihan selain merawatnya di rumah sakit jiwa atas saran
Dokter Hermien, psikiater yang menangani Mbak Arina.
***
Pada
kunjungan pertama kami tidak diperbolehkan menemui Mbak Arina. Dokter hanya
mengizinkan Mas Ardi. Itu pun hanya sesekali saja. Kata Mas Ardi, Mbak Arina
lebih banyak tidur. Tentu itu karena pengaruh obat penenang dengan dosis
tinggi. Dia hanya terjaga pada jam-jam tertentu saja. Pada kesempatan tersebut,
Mas Ardi meminta kami untuk tidak menjenguknya lagi sampai dokter memastikan
kondisi Mbak Arina memungkinkan.
Kami
mengerti.
Sebulan
kemudian aku menjenguknya lagi. Sendiri. Bagus, juga Gita, kutitipkan kepada
Ibu yang memesanku untuk segera pulang. Tidak baik, katanya, meninggalkan anak
usia baru tiga bulan lama-lama. Aku meyakinkan Ibu bahwa aku akan mengindahkan
pesannya itu.
Kali
ini aku sudah bisa menemuinya.
Mbak
Arina duduk di sofa di luar kamarnya. Badannya terlihat jauh lebih kurus dengan
mata yang terlihat layu. Mas Ardi kulihat mendampinginya di sisi kanannya. Aku
segera duduk di sisi kiri Mbak Arina setelah menyapa dan menyalami Mas Ardi.
”Apa
kabar, Mbak Arina?” aku mencoba menyapanya.
Ia
tak bereaksi sama sekali. Tatapan matanya kosong. Jauh menerawang seperti
hendak menembus dinding; seperti ada rahasia di balik sana. Kugenggam
tangannya.
Tiba-tiba
ia menatapku. ”Dokter, bagaimana kandungan saya?” tanyanya.
Ah,
dia tidak mengenaliku.
”Sayang,
ini Dik Tita. Masak lupa,” Mas Ardi berusaha menutupi kepedihan hati melihat
betapa asingnya aku di mata istrinya. Tangannya membelai-belai rambutnya.
Mbak
Arina tidak memedulikan kata-kata suaminya. Kini giliran tangannya erat-erat
menggenggam tanganku seperti tak hendak melepaskannya lagi. ”Katakan, Dokter,
katakan anakku baik-baik saja di sini!” desaknya. Telapak tangannya
mengusap-usap perutnya.
Mataku
terasa panas .
”Ayolah,
Dokter! Katakan!”
Tiba-tiba
sepasang mata Mbak Arina menatapku lekat-lekat, bola matanya dibukanya
lebar-lebar seperti ada yang dicarinya di dalam mataku. Lalu, dengan gerakan
kasar direnggutkan tangannya dari genggamanku. ”Hey, kau bukan dokter! Siapa
kau, ha? Ooo ... aku tahu, kau pasti mau mencuri anakku! Iya, ’kan? Kau mau
mencuri anakku!” Telunjuknya menunjuk-nunjuk mukaku.
Aku
terkesiap.
Lalu
ia menoleh ke arah suaminya; mengguncang-guncang bahunya. ”Mas, tolong suruh
dia pergi! Aku takut! Takut! Bagaimana kalau anak kita diambilnya?”
Cepat-cepat
Mas Ardi memeluknya; berusaha menenangkannya. Lewat isyarat mata dan gerakan
kepala, ia memintaku meninggalkan mereka. Isyarat yang sesungguhnya
mencabik-cabik perasaanku. Tetapi, aku harus bisa menekan perasaan itu. Aku
harus mengerti.
Seorang
perawat menghampiri kami, dan membujuk Mbak Arina.
Aku
pamit dengan air mata jatuh di pipi.
***
Pada
bulan keempat, Mbak Arina sudah bisa diajak bicara, hanya saja tatapannya masih
kosong. Tetapi, pada saat-saat tertentu, ada binar samar membias di matanya.
Dan, pada bulan keenam, Mas Ardi sudah diperbolehkan membawanya pulang dengan
catatan seminggu sekali diharuskan kontrol ulang untuk penanganan pasca
perawatan di rumah sakit itu.
***
Kami
berkumpul di rumah Yu Ismi. Mas Is meminta kami datang untuk membicarakan
masalah Mbak Arina. Dalam pertemuan itu ia menyampaikan niat dirinya dan
istrinya untuk menyerahkan pemeliharaan Lala—anak mereka yang paling
kecil—kepada Mbak Arina dan Mas Ardi. Sebenarnya mereka telah membicarakannya
dengan Mas Ardi. Tetapi, mereka sama-sama memerlukan waktu untuk memikirkannya
lebih mendalam sebelum pertemuan ini diadakan. Yang jelas, kata Mas Ardi, Mbak
Arina memperlihatkan sikap senang menerima kemungkinan itu. Seiring perjalanan
waktu, mereka menemukan keyakinan itu.
”Nah,
Bapak, Ibu, Mas Is, Yu Ismi, juga Dik Gi dan Dik Tita, rencana saya, kami akan
pindah dari rumah yang kami tinggali selama ini. Kami ingin memulai kehidupan
baru. Kami ingin meninggalkan kenangan pahit yang selama ini menghimpit
kehidupan kami. Dan dengan itu—mohon maaf Mas Is dan Yu Ismi—mungkin Lala akan
lebih mudah membiasakan diri menjadi anak kami,” sejenak ia menghentikan
kata-katanya, lalu memandang ke arah kedua mertua kami. ”Dan, ... Bapak, Ibu,
kami mohon doa dan restu dari kalian berdua.”
Bapak
yang sejak tadi diam, menarik napas dalam-dalam sebelum mengawali kata-katanya.
”Ya, kalau itu sudah jadi keputusan kalian, kami orang tua ini hanya bisa
mendoakan. Kami merasa bangga, kalian semuanya selalu menjalin kebersamaan
dalam menghadapi berbagai persoalan. Dan, Bapak minta itu senantiasa kalian
pertahankan. Bukan begitu ya, Bu?”
Ibu
tersenyum lega. ”Benar apa kata Bapak kalian. Nah, sekarang,” lanjutnya,
menatap lembut Mbak Arina, ”Bagaimana, Anakku sudah siap menjadi mamanya Lala?”
Mbak
Arina tidak menjawab. Binar di matanya sudah cukup menjelaskan semuanya.■
Baturaja, Oktober 2012