July 31, 2013

Binar di Mata Arina

Bukan sekali dua kali Mbak Arina, kakak iparku, mengeluhkan kepenatannya menanti dan menanti. Rasa putus asa mulai membayangi ambang ketabahannya. Gurat-gurat rasa sunyi, rasa tak sempurna, rasa tak mampu memberikan kebahagiaan yang lengkap kepada suami, rasa tak berarti sebagai perempuan tergambar jelas pada raut wajah cantiknya. Ia tahu Mas Ardi, suaminya, menuntut meski itu disamarkannya dalam diam; dalam sikap serba gamang. Ah, aku sering merasa terharu-biru setiap kali menangkap sinyal-sinyal pedih menyelinap di relung matanya, lalu mengendap di balik senyumnya yang tak lepas. Hambar, dan pudar.

Telah banyak upaya yang mereka ikhtiarkan untuk bisa mendapat keturunan. Dari pengobatan medis, pengobatan tradisional, terapi alternatif ke paranormal, bahkan pernah pula kudengar mereka mendatangi dukun, meski kemudian itu mereka sesali. Tetapi, sampai usia kedelapan perkawinan, rumah mereka yang mungil belum juga dihiasi tangis bayi yang mereka idam-idamkan.

Akhir-akhir ini kegamangan sikap Mbak Arina semakin terasa. Aku tahu itu karena apa yang dialaminya kontras sekali dengan keadaanku dan keadaan Yu Ismi. Pada usia perkawinan kami yang saat ini memasuki tahun keempat, kini di dalam rahimku telah mekar kuncup kedua buah cinta kami. Lebih kurang tiga bulan lagi aku akan menjalani lagi salah satu kodratku sebagai perempuan. Kodrat yang kata Mas Gi, suamiku, mengamanatkan tugas teramat mulia bagi kelangsungan silsilah kehidupan. Gita, anak kami yang pertama, lahir pada bulan kesepuluh perkawinan kami.

Keadaan serupa sedang dialami pula oleh Yu Ismi. Dia istri Kak Is—kakak Mas Gi. Sekitar sebulan lagi Yu Ismi akan melahirkan anak kelima dalam usia tiga puluh enam tahun. Anaknya yang pertama, Rien, kini duduk di kelas pertama sebuah SMK. Viena, anak kedua, kelas terakhir SMP. Berikutnya Arum, kelas V SD; dan yang terakhir Lesmana, tahun depan masuk SD. Sebenarnya, setelah kelahiran Lesmana mereka tidak menghendaki ”nambah” lagi. Tetapi kenyataannya, Yu Ismi malah ”berisi” lagi. Apa boleh buat?

***

Pagi tadi telepon di rumah berdering. Rien mengabarkan mamanya telah dibawa ke klinik bersalin. Mamanya, kata Rien, telah merasakan saatnya tiba. Aku dan Mas Gi segera bergegas ke klinik yang kalau tidak salah ingat juga merupakan tempat Viena, Arum, dan Lesmana dilahirkan. Rien sendiri yang lahir di rumah sakit. Nana kami ajak.

Tak ada yang mencemaskan dari proses persalinan Yu Ismi. Kami berkumpul dalam suasana cair di ruang tunggu. Apalagi, dokter baru saja memastikan kondisi Yu Ismi normal-noemal saja. Mas Is terlihat tenang. Ibu mertuaku sesekali dibuat sibuk oleh kelincahan Gita yang berlari ke sana ke mari bersama Lesmana.

Tiba-tiba Gita menarik-narik tanganku; menunjuk-nunjuk ke arah depan.

”Mama, sini, Ma! Ada kepiting!” teriaknya.

”Kepiting? Masak di sini ada kepiting, Git?” tanyaku heran.

”Iya, Ma! Itu, di depan!”

Gita terus menarik-narik tanganku. Aku mengikutinya.

”Itu, Ma, kepitingnya!”

Aku tertawa. Gita menunjuk ke arah patung replika rahim di taman bagian depan klinik.

”Sayang, itu bukan kepiting. Itu patung tiruan tempat dedek bobok di dalam perut Mama. Di sini.” Aku menunjuk ke arah perutku. ”Dulu, Gita juga tidul di situ.”

Gita tampak tidak puas. ”Masak di tempat bobok dedek ada capitnya, Ma?” desaknya sambil menunjuk-nunjuk ke arah sepasang tuba fallopi1 dari bagian replika rahim itu. Istilah itu kukenal dulu sebelum Gita lahir. Kehamilan pertama membuat aku ingin tahu banyak mengenai seluk-beluk obstentri2 dan ginekologi3. Tetapi, bagaimana menjelaskan semua itu kepada anak kecil ini?

”Ada apa, Gita?” Kudengar seseorang menyapa anakku dari arah belakang. Suara perempuan yang amat kukenal. Mbak Arina! Ketika aku menoleh, kulihat dia bersisian dengan Mas Ardi. Tangan Mas Ardi memeluk pada pundaknya.

Kejutan! Setelah terakhir ikut menunggui kelahiran Arum, Mbak Arina tidak pernah lagi hadir dalam ”acara” seperti ini. Termasuk saat Gita lahir. Kami mengerti. Tetapi, kali ini dia ada di sini. Dengan Mas Ardi lagi! Dan ... apakah aku salah membaca pancaran wajah mereka karena kulihat wajah-wajah itu bukan wajah-wajah yang kemarin-kemarin. Aku tidak melihat lembayung sendu yang selama ini membayang dari rona wajah mereka.

”Kok, malah bengong, Dik. Mana yang lain? Sudah lahir?” tanya Mbak Arina.

”Eh, belum, belum,” aku tergagap. Kejutan oleh kehadiran mereka belum sepenuhnya hilang. ”Mereka di sana, di ruang tunggu,” lanjutku. Aku tidak tahu kapan Mbak Arina menarik Nana ke pangkuannya. Bahkan, aku tidak mendengar kalimat apa yang diucapkan Mas Ardi. Aku baru sadar ketika Gita berteriak, ”Ayo, Ma. Lihat dedek!” Aku pun tergopoh-gopoh mengikuti langkah mereka.

Begitu melihat kedatangan Mbak Arina dan Mas Ardi, mereka—Ibu, Mas Is, dan Mas Gi—memperlihatkan reaksi yang kira-kira sama dengan reaksiku. Terpana beberapa saat dengan wajah terkejut. Ibu yang lebih dahulu pulih dari keterkejutan sesaat itu. Dia bangkit dan memeluk serta menciumi kedua pipi Mbak Arina lalu membimbing anak perempuan satu-satunya itu duduk. Baru beberapa detik Mbak Arina duduk, dokter menghampiri Mas Is dan menjabat tangannya sambil mengucapkan selamat. ”Putri Bapak sehat dan cantik sekali. Ibunya juga sehat. Selamat ya, Pak.”

Mas Gi bangkit dan memeluk Mas Is yang sekarang ayah lima anak itu. Demikian juga Mas Ardi. Sungguh! Aku tidak melihat ketidakwajaran sikap Mbak Arina dan Mas Ardi. Semuanya begitu lepas. Justru kami yang lainnya yang tampak agak kaku menyambutnya.

Lalu, kemana kegamangan yang selama ini menggayuti sikap mereka?

”Kak Is, Ibu, juga semuanya,” Mas Ardi angkat bicara, ”saya senang sekali anak Kak Is, Yu Asma, telah lahir dengan selamat. Dan, saya ... eh, maksud saya, kami...,” ia melirik penuh arti ke arah Mbak Arina. Lalu, lanjutnya, ”Kami rasanya lebih bahagia hari ini, karena ....”

”Saya positif, Bu,” potong Mbak Arina sambil mengalihkan pandangan ke arah Ibu, kemudian kepadaku.

”Oh, sungguh, Mbak?” Tak sadar aku berteriak, lalu memeluknya erat-erat. Ketika kucium pipinya, ada yang terasa basah di sana.

***

Aku baru saja menidurkan Bagus—si kecilku yang baru lahir dua bulan yang lalu—di boks setelah menyusuinya ketika Ibu memberitahukan kedatangan Mas Ardi. Sejak kelahiran Bagus Ibu memang tinggal bersama kami. Mas Gi belum pulang, dan Gita entah ke mana. Tadi temannya menjemputnya main. Aku segera ke depan menemui Mas Ardi.

”Lho, kok sendirian Mas? Mana Mbak Arina?”

Dia tidak langsung menjawab. Malah dalam gerakan lamban dan tidak pasti, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tarikan napas terasa berat. Aku merasakan firasat tidak enak.

”Mbak Arina kurang sehat, Mas?” desakku.

”Itulah, Dik Tita. Dia ....”

Dengan suara lemah, Mas Ardi menuturkan apa yang dialami istrinya. Sekitar dua minggu setelah dipastikan positif hamil, terasa ada yang perih luar biasa di dalam perut Mbak Arina. Dugaan Mas Ardi, itu gejala biasa yang dialami setiap perempuan hamil. Tetapi, rasa perih itu lama tak hilang-hilang juga. Lalu, ia membawanya ke dokter. Di depan mereka berdua, dokter juga hanya mengatakan itu gejala biasa. Tetapi, diam-diam, tanpa sepengetahuan Mbak Arina, dokter itu meminta Mas Ardi untuk menemuinya lagi esoknya.

Ketika ditemui keesokan harinya, dokter mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan rahim Mbak Arina. Hasil USG dengan dukungan pemeriksaan sebelumnya memperlihatkan ada gumpalan yang melekat di dinding sebelah dalam rahim kakak iparku itu. Ia merekomendasikan tindakan PA di rumah sakit.

Alangkah nelangsanya Mas Ardi ketika dokter di rumah sakit itu, berdasarkan tes darah, tes urine, USG ulang, foto rontgen, dan dikuatkan hasil analisi PA, memvonis ada kista yang diperkirakan telah bersarang jauh sebelum pembuahan terjadi di rahim Mbak Arina. Pertumbuhan kista itu sudah dalam stadium perkembangan yang mengkhawatirkan.

”Rahim Arina harus diangkat, Bu,” keluhnya putus asa sambil menatap Ibu yang bergabung setelah melihat betapa seriusnya percakapan kami, Dan itu artinya ... artinya ...” Tak ada kekuatan Mas Ardi untuk menyelesaikan kalimatnya. Dia ambruk di pangkuan Ibu. Perempuan yang kucinta seperti kecintaanku terhadap Mama itu menatapku meminta penjelasan. Sorot mata Ibu sering mengingatkanku pada sorot mata mendiang Mama.

”Artinya ... Mbak Arina ... tak mungkin punya ... a-nak, Bu.”

Masya Allah ...!” suara Ibu tercekat. Awan kelabu menggurat pada matanya yang tua. Tetapi, pada mata itu juga dapat kutangkap lintasan perjalanan hidup yang menempanya untuk bisa tabah. Ketabahan yang perlahan ia alirkan kepada Mas Ardi lewat belaian-belaian lembut penuh cinta pada rambut lelaki itu.

***

Operasi pengangkatan rahim Mbak Arina berjalan mulus. Masa penyembuhan dilewatinya dengan baik. Tetapi, itu hanya secara fisik. Mbak Arina tak kuasa menahan kepedihan yang begitu keras menghempas jiwanya. Ia mengalami depresi berat. Kami tidak punya pilihan selain merawatnya di rumah sakit jiwa atas saran Dokter Hermien, psikiater yang menangani Mbak Arina.

***

Pada kunjungan pertama kami tidak diperbolehkan menemui Mbak Arina. Dokter hanya mengizinkan Mas Ardi. Itu pun hanya sesekali saja. Kata Mas Ardi, Mbak Arina lebih banyak tidur. Tentu itu karena pengaruh obat penenang dengan dosis tinggi. Dia hanya terjaga pada jam-jam tertentu saja. Pada kesempatan tersebut, Mas Ardi meminta kami untuk tidak menjenguknya lagi sampai dokter memastikan kondisi Mbak Arina memungkinkan.

Kami mengerti.

Sebulan kemudian aku menjenguknya lagi. Sendiri. Bagus, juga Gita, kutitipkan kepada Ibu yang memesanku untuk segera pulang. Tidak baik, katanya, meninggalkan anak usia baru tiga bulan lama-lama. Aku meyakinkan Ibu bahwa aku akan mengindahkan pesannya itu.

Kali ini aku sudah bisa menemuinya.

Mbak Arina duduk di sofa di luar kamarnya. Badannya terlihat jauh lebih kurus dengan mata yang terlihat layu. Mas Ardi kulihat mendampinginya di sisi kanannya. Aku segera duduk di sisi kiri Mbak Arina setelah menyapa dan menyalami Mas Ardi.

”Apa kabar, Mbak Arina?” aku mencoba menyapanya.

Ia tak bereaksi sama sekali. Tatapan matanya kosong. Jauh menerawang seperti hendak menembus dinding; seperti ada rahasia di balik sana. Kugenggam tangannya.

Tiba-tiba ia menatapku. ”Dokter, bagaimana kandungan saya?” tanyanya.

Ah, dia tidak mengenaliku.

”Sayang, ini Dik Tita. Masak lupa,” Mas Ardi berusaha menutupi kepedihan hati melihat betapa asingnya aku di mata istrinya. Tangannya membelai-belai rambutnya.

Mbak Arina tidak memedulikan kata-kata suaminya. Kini giliran tangannya erat-erat menggenggam tanganku seperti tak hendak melepaskannya lagi. ”Katakan, Dokter, katakan anakku baik-baik saja di sini!” desaknya. Telapak tangannya mengusap-usap perutnya.

Mataku terasa panas .

”Ayolah, Dokter! Katakan!”

Tiba-tiba sepasang mata Mbak Arina menatapku lekat-lekat, bola matanya dibukanya lebar-lebar seperti ada yang dicarinya di dalam mataku. Lalu, dengan gerakan kasar direnggutkan tangannya dari genggamanku. ”Hey, kau bukan dokter! Siapa kau, ha? Ooo ... aku tahu, kau pasti mau mencuri anakku! Iya, ’kan? Kau mau mencuri anakku!” Telunjuknya menunjuk-nunjuk mukaku.

Aku terkesiap.

Lalu ia menoleh ke arah suaminya; mengguncang-guncang bahunya. ”Mas, tolong suruh dia pergi! Aku takut! Takut! Bagaimana kalau anak kita diambilnya?”

Cepat-cepat Mas Ardi memeluknya; berusaha menenangkannya. Lewat isyarat mata dan gerakan kepala, ia memintaku meninggalkan mereka. Isyarat yang sesungguhnya mencabik-cabik perasaanku. Tetapi, aku harus bisa menekan perasaan itu. Aku harus mengerti.

Seorang perawat menghampiri kami, dan membujuk Mbak Arina.

Aku pamit dengan air mata jatuh di pipi.

***

Pada bulan keempat, Mbak Arina sudah bisa diajak bicara, hanya saja tatapannya masih kosong. Tetapi, pada saat-saat tertentu, ada binar samar membias di matanya. Dan, pada bulan keenam, Mas Ardi sudah diperbolehkan membawanya pulang dengan catatan seminggu sekali diharuskan kontrol ulang untuk penanganan pasca perawatan di rumah sakit itu.

***

Kami berkumpul di rumah Yu Ismi. Mas Is meminta kami datang untuk membicarakan masalah Mbak Arina. Dalam pertemuan itu ia menyampaikan niat dirinya dan istrinya untuk menyerahkan pemeliharaan Lala—anak mereka yang paling kecil—kepada Mbak Arina dan Mas Ardi. Sebenarnya mereka telah membicarakannya dengan Mas Ardi. Tetapi, mereka sama-sama memerlukan waktu untuk memikirkannya lebih mendalam sebelum pertemuan ini diadakan. Yang jelas, kata Mas Ardi, Mbak Arina memperlihatkan sikap senang menerima kemungkinan itu. Seiring perjalanan waktu, mereka menemukan keyakinan itu.

”Nah, Bapak, Ibu, Mas Is, Yu Ismi, juga Dik Gi dan Dik Tita, rencana saya, kami akan pindah dari rumah yang kami tinggali selama ini. Kami ingin memulai kehidupan baru. Kami ingin meninggalkan kenangan pahit yang selama ini menghimpit kehidupan kami. Dan dengan itu—mohon maaf Mas Is dan Yu Ismi—mungkin Lala akan lebih mudah membiasakan diri menjadi anak kami,” sejenak ia menghentikan kata-katanya, lalu memandang ke arah kedua mertua kami. ”Dan, ... Bapak, Ibu, kami mohon doa dan restu dari kalian berdua.”

Bapak yang sejak tadi diam, menarik napas dalam-dalam sebelum mengawali kata-katanya. ”Ya, kalau itu sudah jadi keputusan kalian, kami orang tua ini hanya bisa mendoakan. Kami merasa bangga, kalian semuanya selalu menjalin kebersamaan dalam menghadapi berbagai persoalan. Dan, Bapak minta itu senantiasa kalian pertahankan. Bukan begitu ya, Bu?”

Ibu tersenyum lega. ”Benar apa kata Bapak kalian. Nah, sekarang,” lanjutnya, menatap lembut Mbak Arina, ”Bagaimana, Anakku sudah siap menjadi mamanya Lala?”

Mbak Arina tidak menjawab. Binar di matanya sudah cukup menjelaskan semuanya.



                                                                   Baturaja, Oktober 2012








Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...