July 31, 2013

Rumah Mbah Ti

Dengan penerangan nyala korek api, Mas Arya berjalan ke arah lampu teplok yang menempel di dinding pelupuh di ruang tamu. Siluet yang dihasilkan cahaya korek api membuat bayang-bayang wajah dan tubuhnya seperti Frankenstein yang gentayangan di lorong gelap di antara dinding-dinding tembok yang dingin dan berlumut. Sejurus kemudian, lampu teplok menyala. Frankenstein lenyap dari wajah suamiku itu.

”Yang di kamar juga, Mas!” teriakku. ”Sekalian pasangkan obat nyamuk! Gelap begini nyamuk nyamuk pasti berseliweran di mana-mana. Jangan terlalu besar api lampunya! ‘Kan belum dipakai juga.”

Dari dalam kamar yang sekarang sudah terang terdengar keriyut dipan. Itu pasti Mas Arya merebahkan diri. Aku dan Nana tetap di sini, di ruang tengah, di depan televisi, masih berharap listrik akan menyala lagi, penasaran dengan kelanjutan sinetron yang kami tonton tadi.

Ya, inilah kenyataan hidup di daerah pelosok. Begitu banyak keterbatasan. Di antaranya yang hampir menjadi santapan tiap hari, ya listrik ini. Byar-pet sudah lumrah. Bisa belasan kali dalam seminggu. Kadang-kadang dua-tiga hari tanpa aliran listrik sama sekali. Alasannya macam-macam. Pohon tumbanglah, longsorlah, tapi yang paling sering tanpa alasan yang jelas. Lima tahun sudah kami ”terdampar” di desa ini. Mas Arya ditugaskan sebagai pegawai negeri di kecamatan di ujung tenggara Provinsi Sumatera Selatan ini.

”Bu,” tiba-tiba Nana bergumam, ”Mbah Ti dulu waktu meninggal, dimasukkan ke dalam tanah sepelti di tipi tadi?” 

Lha iya. Kenapa?”

”Nanti gimana kalau Mbah Ti digigit cacing? Di dalam tanah ’kan banyak cacing.”

”Ya, ndak-lah, Na. Mbah Ti itu orangnya baik. Jadi, ndak digigit cacing.”

Dalam remang cahaya lampu teplok, kulihat kening Nana berkerut.

”Kenapa Mbah Ti meninggal, Bu?”

”Mbah Ti ’kan sudah tua. Ya meninggal.”

”Mbah Kung juga sudah tua. Kok, ndak meninggal?”

”Ya, nanti juga meninggal.  Mbah Ti duluan karena sakit.”

”Kalau sudah tua sepelti Mbah Ti, Ibu juga meninggal?”
”Iya”.
”Ayah?”
”Iya”.
”Nana juga?”
”Nana ’kan masih kecil.”
”Jadi, sudah Mbah Ti, Mbah Kung. Telus Ayah, telus Ibu, balu Nana? Begitu?”
Aku hanya tersenyum.
Mamak—Nana menyebutnya Mbah Ti, maksudnya ”Mbah Putri”—sudah lama meninggalkan kami. Aku ingat sekali, pada takziah hari ketiga Bapak membuat kami belingsatan dengan pernyataannya: ingin kawin lagi!
”Bu, kalau Nana meninggal, tempatnya di dalam tanah, boleh ndak sama-sama Ibu?”
Lho, ndak bisa. Ndak boleh sama-sama begitu.”
”Kenapa ndak boleh, Bu? Ndak muat?”
Aku tersenyum sambil mengangguk.
”Iya, ya, mana muat. Tapi ... kalau sama-sama Ibu, ’kan enak. Ada teman. Nana takut sendilian di dalam tanah.”
”Kenapa takut? ’Kan dijaga sama malaikat.”
Ndak...!” teriak Nana, ”Nana ndak mau dijaga sama malaikat! Nanti Nana dicambuk! Nana ndak mau dicambuk! Malaikat ‘kan sukanya mencambuk olang di dalam tanah!”
Lho, kata siapa?”
Bu Gulu!”
Aku terperangah. Mengapa pula guru TK mengajarkan perihal malaikat seperti itu, pikirku.
”Begini, Na. Yang dicambuk itu orang yang waktu hidupnya jahat sama orang lain, nakal, suka bohong. Kalau Nana ndak nakal, kenapa takut dicambuk? Sama anak baik, malaikatnya baik, kok.”
Nana kelihatan merenung.
”Jadi, Mbah Ti ndak dicambuk sama malaikat, ya Bu?”
”Kan sudah Ibu bilang, Mbah Ti itu orangnya baik. Ndak bakalan dicambuk.”
”Jadi malaikatnya baik sama Mbah Ti?”
”He-eh!”
Temenan?”
Aku hanya tersenyum dan terpaksa mengangguk.
Berbagai cara kami lakukan untuk menghadang keinginan Bapak. Tetapi, Bapak tetap bersikukuh dengan keinginannya. ”Kamu harus mengerti, La, Jeng” kata Bapak ketika aku dan Mbak La menyampaikan keberatan kami dan mencoba meluluhkan hatinya, ”Bapak ingin nikah lagi bukan semata-mata untuk kepentingan Bapak. Untuk kepentingan kalian juga. Ya, agar ada yang mengurus Bapak di saat-saat terakhir hidup Bapak. Dengan begitu kamu dan adik-adikmu tidak perlu repot-repot merawat Bapak.”
”Tapi, kami sanggup merawat Bapak sampai Bapak ...” kalimat Mbak La menggantung di situ.
”Sampai Bapak mati? Begitu maksud kamu?” kejar Bapak. ”La, La. Ingat, La, kamu itu punya suami dan anak-anak. Han, suamimu itu, tidak selamanya akan rela bila tenaga dan pikiranmu terbagi antara mengurus rumah tanggamu dan merawat Bapakmu yang sudah tua bangka ini. Bapak tidak ingin membebani kalian.”
”Pak, yang akan merawat Bapak nanti bukan hanya kami berdua,” tukasku, ”masih ada Wien, Puji, dan Sum. Bahkan mereka bertiga, dan juga aku, akan selalu ada di rumah karena kami belum berkeluarga.”
”Kamu jangan berpikiran pendek, Jeng. Wien, Puji, Sum, juga kamu, kalau tiba saatnya akan berkeluarga juga. Terutama kamu, Jeng, yang sudah berhubungan rapat dengan si Arya. Tidak mungkin selamanya bisa mengurus Bapak. Kalian juga akan punya suami dan anak yang harus kalian urus. Tetapi, kalau Bapak menikah lagi, ibu kalian nanti akan sepenuhnya bisa merawat Bapak.”
Ibu kalian? Huh, alangkah jengah aku mendengar kata itu keluar dari mulut Bapak.
”Pak, kami anak-anak Bapak ini semuanya perempuan. Kami bisa merawat Bapak seperti dulu Mamak merawat Bapak. Kami ....”  
”He, dengar!” Bapak memotong kata-kata Mbak La. ”Benar kalian semuanya perempuan. Tetapi, ada kebutuhan-kebutuhan Bapak yang hanya bisa dipenuhi oleh seorang istri, bukan oleh seorang anak perempuan.”
”Kalau begitu jalan pikiran Bapak, berarti ...” aku tidak tega melanjutkan kata-kataku. Aku melihat gurat-gurat di wajah Bapak yang kian mempertegas ketuaannya.
”Berarti apa maksud kamu, Jeng?” kejar Bapak. Matanya membeliak dengan bibir menggeletar.
”Berarti Bapak hanya memikirkan diri sendiri,” sambung Mbak La dengan nafas mulai tersengal, ”... sedangkan kami berpikir tentang keluarga kita. Keluarga kita, Pak. Coba Bapak pikir, beban ekonomi kita akan semakin berat dengan hadirnya orang lain di rumah ini. Sementara, Bapak tidak lama lagi akan pensiun. Dari mana kita bisa mencukupi kebutuhan keluarga ini, Pak?”
”Namanya orang hidup, ya bagaimana caranya hidup,” jawab Bapak enteng.
”Hidup bagaimana yang Bapak bayangkan? Hidup susah yang ditambah susah oleh keadaan yang tercipta hanya karena ego yang tidak bisa dihalangi? Begitu?” tukas Mbak La.
Aku tidak melihat kelebat tangan Bapak. Tiba-tiba saja terdengar bunyi ”plak” dan jerit Mbak La yang tubuhnya terjajar ke dinding.
Lamunanku terputus tiba-tiba oleh cahaya yang berdenyar dari lampu neon. Listrik menyala lagi. Televisi dan digital reciever langsung menyala pula karena memang tidak dimatikan. Layar televisi menayangkan iklan layanan masyarakat tentang subsidi BBM. Lalu, ... pet! Mati lagi. Huh, ini artinya listrik akan mati paling tidak sampai pagi nanti. Setelah menekan tombol off televisi, kuajak Nana ke kamar. Kulihat Mas Arya tergolek di dipan sambil membaca buku dengan penerangan lampu teplok.
Di luar hujan turun. Tidak terlalu deras, tetapi cukup membuatku merapatkan selimut.
“Bu, kasihan Mbah Ti. Pasti kedinginan,” celetuk Nana.
”Ya, ndak, Na. Di sana hangat, kok.”
”’Kan hujan, Bu. Ailnya ’kan masuk ke dalam tanah. Kita enak lumahnya ada atapnya. Lumah Mbah Ti ’kan ndak ada atapnya.”
”Rumah?”
”Iya, lumah Mbah Ti ’kan sekalang di dalam tanah itu.”
”Mbah Ti ndak apa-apa kok,  Na. Malaikat yang menjaga Mbah Ti ‘kan melindunginya dari hujan.”
”Dipayungi?”
Karena bingung harus menjawab apa, aku hanya mengangguk. Kulihat Mas Arya melirikku sambil tersenyum. ”Sudah, Na. Tidurlah! Besok ’kan sekolah. Nanti kesiangan,” ujarnya. Nana mengubah posisi tidurnya. Menelungkup. Mas Arya masih sibuk dengan bukunya. Aku mencoba memejamkan mata. Tidak bisa.
Usaha kami untuk menggagalkan rencana perkawinan Bapak tidak berhenti. Bahkan, aku memaksa diri menemui perempuan yang digadang-gadang Bapak sebagai bakal calon mempelainya.
”Coba Ibu bayangkan,” ungkapku di ruang tamu rumah perempuan itu, ”Bapak itu bukanlah orang yang berkecukupan. Tidak lama lagi Beliau pensiun. Satu orang adik kami masih bersekolah di SMA. Belum lagi yang satunya ingin kuliah. Apa semua itu cukup dengan gaji pensiun yang tidak seberapa, Bu?”
Perempuan itu diam.
”Ibu perempuan. Saya juga perempuan. Sebagai sesama perempuan, kita pasti bisa membayangkan akan bagaimana nantinya kehidupan keluarga kita jika pernikahan itu terjadi. Ibu tidak akan bisa diterima oleh keluarga kami. Tidak akan! Jadi, saya minta, bujuklah Bapak untuk mengurungkan keinginannya.”
”Ibu tidak tahu, Nak Ajeng. Semua terserah Bapak.”
”O, itu artinya Ibu memang berambisi kawin dengan Bapak!” tukasku dengan suara ditekan.
”Terserah apa kata Nak Ajeng. Ibu hanya kasihan melihat Bapak.”
”Apa? Kasihan?” tanyaku dengan mata terbeliak. Ingin sekali rasanya aku mendamprat perempuan itu. Tapi aku tidak mau mempermalukan diri. Rumah perempuan itu di tengah sebuah lorong yang padat. Di luar kulihat banyak orang duduk-duduk sambil mengobrol. Bahkan beberapa di antara mereka melongok-longok ke arah ruang tamu tempat kami berhadapan. Aku segera beranjak dengan meninggalkan kata-kata yang saat itu kuharap bisa mempengaruhi pendirian perempuan itu: ”Ingat, Ibu sedang menghancurkan keluarga kami.”
Apa daya, akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Meski hanya mengundang jiran-tetangga dan kenalan dekat, tak urung undangan yang datang seratusan biji juga. Pakai resepsi segala. Ppffuiih... menyebalkan sekali. Kejengkelan kami—aku dan lima saudaraku, semuanya perempuan—kami lampiaskan dengan bertingkah sesuka hati. Kami cekakak-cekikik, tidak peduli tatapan risih para tamu undangan. Saat akad nikah diucapkan, kami tidak masuk untuk menyaksikan peristiwa yang mestinya mendatangkan nuansa sakral itu. Puncaknya saat menikmati hidangan.
”Sikat saja, Meck! Ini ’kan duit Bapak kita tercinta juga!” seru Wien, adikku yang dikenal paling ngablak, ”Wah, ini dia nih, pepes gurami! Wwuiihhh..., pasti uweeenak tenan! Lihat tuh body-nya, montok seperti Miss Piggy! Pasti sebelum masuk kukusan, jadi rebutan semua pejantan seempang!”
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Jeng? Kesambet?” tiba-tiba Mas Arya mengejutkanku dari lamunan.
”Ah, ndak,” jawabku tersipu-sipu.
Nana menggeliat. Lalu bisiknya, ”Bu, nanti kalau pulang, kita ke lumah Mbah Ti, ya! Kita belsihkan dulu biar ndak ada lumputnya.”
Lho, kok banyak rumputnya? Maksud Nana rumah Mbah Ti yang di kuburan itu?”
”Iya.”
“Tapi, untuk apa ke sana, Na?”
Bial ketemu Mbah Ti-lah, Bu. Gimana sih Ibu ini?”
”Ya, ndak bisalah, Na. Mbah Ti-nya ’kan di dalam tanah. Ndak bisa keluar.”
”Masak ndak bisa. Sebentaaal saja!”
Ndak bisa, Na. Mbah Ti-nya ndak bisa bangun. ’Kan sudah meninggal. Mbah Ti sudah tinggal dengan Tuhan. Ndak boleh lagi kembali ke kita.”
Ndak boleh sama siapa? Sama Tuhan?”
”Mmm... iya.”
”Kok Tuhan begitu?”
”Begitu gimana, Na?”
”Masak ketemu sebental saja ndak boleh? Memang itu Mbah Ti-nya Tuhan apa? Tuhan jahat ya, Bu?”
”Huss... ndak boleh ngomong begitu! Tuhan itu baik. Tuhan itu Maha Penyayang. Di sana Tuhan menjaga Mbah Ti. Mbah Ti senang di sana.”
”Di sana? Di mana?”
”Ya, di sana. Eee... mmm... di rumahnya Tuhan.”
”Katanya lumah Mbah Ti di dalam tanah?”
“Ya..., mmm... begini, Na. Badan Mbah Ti di dalam tanah. Tapi ....” sampai di situ aku kelabakan sendiri. Bagaimana menjelaskan perihal roh dan alam akhirat kepada anak kecil ini?
“Tapi apa, Bu?” kejar Nana lagi.
“Sudah, sudah! Nanya yang lain saja!”
Kulihat Nana memberengut. Tetapi kemudian dia memulai lagi, “Masak Mbak Fani pelnah melihat Mbah Ti, pelnah digendong Mbah Ti, dikasih jajanan sama Mbah Ti; Nana mau ketemu sebental saja, ndak boleh. Itu ‘kan Mbah Ti Nana juga.”
Aku tercenung mendengar keluhan Nana. Aku jadi teringat, ketika Mamak pergi, Fani—anak Mbak La—baru berumur sekitar tiga setengah tahun. Dia sama sekali tidak mengerti kalau Mbah Ti-nya tidak akan pernah dilihatnya lagi. Yang dia tahu, Mamak sedang tidur saja. Baru ketika malam harinya dia mencari-cari Mamak hendak menciumnya—itu biasa dilakukannya kalau mau tidur—dia menangis karena Mbah Ti-nya itu tidak ada. Dini hari dia baru tertidur karena kelelahan menangis. Saat itu, alangkah teriris-irisnya hatiku.
Lho, Ibu kok nangis? Malah ya sama Nana?” bisik Nana.
Ndak kok, Na. Ibu ndak nangis,” jawabku sambil menyeka air mata. Kulirik Mas Arya yang tampaknya sudah terlelap. Kubenamkan wajah Nana ke dadaku. Dia tidak perlu tahu duka yang kini tengah merajam hati ibunya. ”Tidurlah, Nak. Nanti kita ke rumah Mbah Ti, ya.”
Nana mengangguk di dadaku.                       




                                                                                                                                                                           Baturaja, November 2012



Keterangan:

Pelupuh: lempeng yang terbuat dari bambu yang dicacah

Miss Piggy: tokoh babi seksi dalam film boneka The Muffet Show; ditayangkan di TVRI tahun ’80-an


 

Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...