July 31, 2013

Lelaki di Portal Desa

Kabar kematian Lantra cepat menyebar seperti wabah sampar. Seisi desa langsung gempar. Warung-warung, masjid, surau, meja-meja gaple, balai desa, persimpangan jalan, semua disimpangsiuri obrolan dan spekulasi-spekulasi seputar kematian Lantra. Orang-orang membicarakannya sambil mengunyah juadah, menanti kumandang azan, membanting kartu gaple, bahkan sambil ncelingkik ’duduk mencangklung’ di atas batu-batu sungai, membombardir air dengan limbah pencernaan.

Lantra menggeliat hidup lagi dalam perbincangan.

***


Hari itu, bubar kalangan, Karé tidak langsung pulang. Katanya, ada urusan dagang yang harus diselesaikan. Buntalan barang dagangan ia titipkan kepada Buci, sopir colt pick-up langganannya yang biasa mengantar-jemput orang dan barang dagangan dari dan ke kalangan. Menjelang asar, urusannya selesai. Karena tidak ada kendaraan apa pun yang melintas di jalan, Karé pulang ke desanya dengan berjalan kaki menempuh jarak kira-kira lima kilometer.

Ketika melewati portal desa—tidak jauh setelah tikungan ketiga—langkah kaki pedagang kain itu terhenti sendiri. Ada yang dirasakannya tidak biasa. Ya, benaknya mempertanyakan ketiadaan seorang lelaki yang biasanya duduk menekur dengan mulut komat-kamit; bersandar pada tiang portal. Mata Karé liar mencari-cari. Tangannya meraba saku pentalonnya, dan menemukan bungkus rokok kretek yang masih berisi beberapa batang. Cukup untuk diberikan kepada lelaki itu, pikirnya. Beberapa saat ia mengernyitkan kening. Tetapi, kumandang azan dari kejauhan membuyarkan pikirannya, dan menyeret kakinya lagi. Karé memutuskan akan menunaikan salat asar di batu dampar.

Batu berpermukaan rata itu letaknya di tikungan kelima. Untuk sampai ke sana, orang harus melalui jalan setapak yang menyelinap turun di antara serumpun bambu kuning, semak perdu seduduk, dan gerumbulan kastuba. Tetumbuhan liar itu menyembunyikan jalan setapak dari penglihatan orang-orang yang melintasi atas jalan aspal. Jalan setapak itu berujung tepat di hadapan sebuah pancuran bambu yang sengaja dibuat orang untuk berwuduk, mandi, atau sekadar membasuh muka setelah seharian bersimbah peluh mengolah sawah atau kebun kopi. Pancuran bambu itu menggelontorkan air yang abadi sepanjang musim. Air yang segar-jernih mengalir ke hilir melewati batu dampar yang separonya menjorok ke siring yang membatasi tebing dan bibir area persawahan yang menghampar berbatas kaki-kaki perbukitan.

Tiba di hadapan pancuran bambu, Karé langsung menyingsingkan lengan kemeja dan ujung pentalon untuk berwuduk. Kesegaran meruap ketika ia membasuh kedua telapak tangannya. Lalu ditadahinya air untuk dikumurkan ke mulutnya. Pada saat itulah ia terkesiap. Gerakan tangannya berhenti seketika. Jantungnya berdegup kencang. Betapa tidak, kira-kira selunjuran bambu di hadapannya, sepasang mata membeliak seperti hendak menelannya bulat-bulat; mata dari sebatang tubuh manusia yang membujur kaku, menelungkup memeluk pematang dengan leher seperti berderak dipaksa mengarah kepadanya. Dari pinggang ke bawah, tubuh itu tidak kelihatan, tersuruk masuk ke dalam gerumbulan padi yang mulai menguning.

Masya Allah! Lantra!” pekiknya setelah beberapa saat tenggorokannya tercekat. Ia bergidik ngeri melihat bibir si mayat membiru dan berbusa ungu. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan jawaban keheranannya ketika melewati portal desa justru di ada situ; dan sengeri itu.

***

Bagaimanapun keadaan Lantra yang separo usianya ditelikung ketidaksadaran pikiran, kematiannya tetap menyisakan kehilangan bagi sebagian penduduk desa. Bersandar pada keterangan Karé, orang-orang menyimpulkan Lantra mati sebab memakan remah nasi yang telah dilumuri tube ’racun tuba’ yang sengaja dipasang orang untuk membunuh babi hutan-babi hutan yang acapkali turun dari hutan-hutan di perbukitan untuk mengganyang tanaman-tanaman.

Yang paling merasakan kehilangan sebenarnya anak-anak. Lantra telah menjadi bagian dari keriangan mereka. Mereka senang sekali menggodanya, mengajaknya bercanda, dan bernyanyi. Bagi mereka Lantra adalah teman yang jenaka dan menyenangkan. Tetapi, kadang-kadang juga menakutkan. Dia tidak akan mengganggu kalau perasaannya tidak terusik. Tetapi, kalau sudah marah, anak-anak itu akan dibuatnya panik; lari pontang-panting manakala Lantra meradang sambil mengacung-acungkan tongkat kayu merdika yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Bagi sebagian orang, Lantra nyatanya ada manfaatnya juga. Dengan sepincuk nasi, secangkir kopi, dan sebungkus rokok murahan, dia bersedia disuruh ini-itu. Membalik-balik jemuran padi, biji-biji kopi, kulit kayu manis, atau cacahan daun nilam adalah ”orderan” yang sering diterimanya. Ada kalanya juga, membersihkan siring depan rumah yang mampat oleh timbunan sampah atau endapan pasir yang tergerus aliran air dari hulu.

Tetapi, ada satu hal yang begitu kukuh dipertahankan Lantra: kesetiaannya kepada matahari. Semenarik apa pun ajakan bermain dari anak-anak; sebesar apa pun upah yang diiming-imingkan ke ujung hidungnya; sekeras apa pun orang menahannya; akan ia tampik—jika perlu dengan memberontak—apabila matahari telah mengisyaratkan petang. Barangkali hanya hujan yang mampu menghadangnya.

Ada semacam kekuatan gaib memanggil-manggil dan menghelanya segera bergegas pergi ke portal desa; duduk menekur di sana; dan beranjak pulang—ke mana pun dia ingin pulang—ketika langit senja mengisyaratkan azan magrib akan segera berkumandang. Pertemuan dengan portal desa, atau ”sesuatu” yang baginya ”ada” di portal desa, seolah pertemuan sakral yang tak sekali-kali hendak diabaikannya.

***

Pada awalnya, terasa betapa sulit Suradi menjalani hidup di desa pelariannya itu. Tatapan curiga mengepungnya di mana-mana. Bibir-bibir mencibir ke arahnya. Perempuan-perempuan menyingkirkan anak-anak mereka dari hadapannya. Suradi merasa penduduk desa memandangnya sebagai duri yang menyelinap diam-diam ke dalam lipatan-lipatan daging.

Sepenuhnya Suradi sadar dirinya pantas menerima perlakuan seperti itu. Tidak akan ada orang yang mau menerima seseorang yang telah dicatat oleh sejarah sebagai anggota komplotan ”pengacau keamanan”, pikirnya. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Dia bertahan sambil berharap waktu perlahan-lahan akan mengubah keadaan.

Masih segar dalam ingatannya bagaimana peristiwa demi peristiwa berdarah itu terjadi di dusunnya, Talangsari, Way Jepara, Lampung Tengah. Enam Februari 1989, dia melihat serombongan aparat keamanan dari Koramil Way Jepara, didampingi unsur Muspika, mendatangi dusunnya. Kedatangan mereka, menurut cerita yang dia dengar, untuk memintai keterangan dari Warsidi dan pengikutnya yang dicurigai melakukan aktivitas radikal yang meresahkan masyarakat. Namun, entah bagaimana asal-mulanya, pengikut Warsidi menyambutnya dengan  perlawanan. Akibatnya, Kapten Soetiman, sang danramil, tewas terkena panah beracun dan dua orang anggota TNI lainnya terluka parah. Di pihak Warsidi didengarnya enam orang tewas.

Esoknya, Korem 043 Garuda Hitam bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa kompi Brimob, CPM, dan Polisi setempat mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung yang menjadi pusat kegiatan Warsidi dan pengikutnya. Pasukan tentara bergerak dengan konfigurasi tapal kuda dari arah utara (Pakuan Aji), selatan (Kelahang), dan timur (Kebon Coklat). Sementara arah barat dibiarkan terbuka. Pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter  membentengi arah barat.

Karena kekuatan tidak seimbang, kelompok Warsidi yang kemudian terkenal dengan sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Way Jepara, dengan cepat dapat dilumpuhkan. Puluhan, bahkan ada yang menyebutkan ratusan orang tewas, dan yang lainnya berhasil melarikan diri, termasuk Suradi yang terseret masuk walaupun sesungguhnya dia tidak tahu-menahu persoalan yang sesungguhnya. Yang dia tahu dia hanya ikut menyelamatkan diri karena takut ikut menjadi korban keberingasan tentara.

Ketika tentara melakukan pembersihan, dia ikut menyingkir dari dusun yang telah memberinya kehidupan. Puluhan pengikut Warsidi ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan. Tidak ada pilihan lain bagi Suradi kecuali terus melakukan pelarian.

Dalam pelariannya, Suradi sempat tinggal selama dua minggu di Banding Agung, menumpang di rumah kenalannya. Tetapi, dia tidak dapat bertahan lama di kota kecil di tepian Danau Ranau di perbatasan barat daya Sumatera Selatan dan Lampung itu. Setidaknya ada dua alasan yang mengharuskannya merambah kembali pelariannya. Pertama, kota itu dinilainya tidak terlalu rapat menyembunyikan dirinya. Kedua,—dan ini yang dirasakannya lebih mendesak—dia tidak tahan dengan sikap istri sang kenalan yang secara terselubung memperlihatkan penerimaan yang setengah hati, bahkan akhirnya secara setengah terus terang menyatakan terbebani.

Di tengah kecemasan, Suradi merasakan tangan Tuhan begitu mudah memutar jentera nasib hidup manusia seperti dirinya. Dia bertemu Dulamit, seorang pedagang terkemuka, penguasa berpuluh bidang kebun kopi dan sawah di desanya. Dulamit berada di Banding Agung untuk menyelesaikan pembelian sebuah truk dengan seorang penduduk kota itu.

Mulanya, Suradi minta izin menumpang truk yang baru dibeli Dulamit itu. Dia berniat merambah kembali pelariannya ke Muaradua, sekitar dua jam perjalanan ke arah timur dari Banding Agung. Merasa simpati mendengar cerita hidup Suradi, Dulamit tidak hanya mengizinkan menumpang truknya, tetapi juga mengajaknya serta ke desanya. Suradi dimintanya menjadi pekerja di kebun kopinya. Tentu saja tawaran itu disambut Suradi dengan suka-cita.

Tahun demi tahun dilaluinya dengan tetes demi tetes keringat jatuh di atas jengkal demi jengkal kebun kopi milik Dulamit. Pada akhirnya Suradi dapat hidup cukup dan tenang, meski hanya tinggal di dangau ’pondok’ di tengah kebun kopi Dulamit. Cukup kebutuhan untuk hidup sehari-hari; tenang karena tidak lagi diteror oleh ketakutan ditangkap aparat tentara atau polisi.

Tetapi, siapa bisa dengan begitu saja seseorang memutuskan rantai sejarah yang mengikat hidupnya? Sebagai manusia biasa Suradi pun kerap didera rasa hampa. Apalagi, hampa yang dirasakannya bersumber dari keterpisahan oleh tangan-tangan nasib yang menurutnya semena-mena memperlakukan hidupnya. Ada saat-saat sunyi yang kerap menghimpitnya dalam kesengsaraan batin sebab terpisah dari orang-orang yang dicintainya: istri dan anak-anaknya.

Pada masa-masa awal tinggal di desa itu, dia masih bisa berhubungan dengan istrinya melalui surat. Tetapi, lama-lama hubungan itu terputus sepenuhnya karena surat-surat yang dikirimnya tidak lagi berbalas. Dia hanya bisa terhenyak sendirian, meresapi kesengsaraan. Bayangan istri dan tiga orang anaknya kerap melintas-lintas pada dinding pelupuh dangau tempat tinggalnya. Bayangan-bayangan itu lama-lama mengkristal dalam pikirannya dan pada akhirnya menggiringnya kepada keputusan untuk menjemput istri dan anak-anak meski sangat disadarinya itu keputusan yang mengandung risiko yang tidak kecil.

Pertemuannya kembali dengan istri dan anak-anaknya nyatanya menghadapkan Suradi kepada sayatan perih lain pada kepahitan hidupnya. Perjalanan diam-diamnya dari desa ini dengan beban segala kekhawatiran, tetapi dipenuhi gambar-gambar kebahagiaan hidup masa depan di tanah pelarian yang diputuskannya akan menjadi tempat menghabiskan umur dan berkubur, tertumbuk cadas kekerasan hati sang istri. Ada yang rengkah di dalam hati Suradi ketika istrinya menetapkan pilihan bagi dirinya sendiri untuk mengakhiri kebersamaan dengan lelaki itu. Ya, kebersamaan yang baginya terasa semu dan melelahkan, tanpa secercah kepastian. ”Biarlah kita menjalani hidup masing-masing, Kang. Aku lelah hidup terus-menerus dalam ketakutan.”

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Suradi selain pasrah dan mengakui kenyataan itu sebagai konsekuensi lain dari pilihannya. Apa lagikah kekuatan seorang suami yang telah sekian tahun menelantarkan istrinya, membiarkan kekeringan hati dan raganya? Masih adakah kekuatan untuk memaksa seseorang menerima kembali sesuatu yang telah dianggapnya hilang; sesuatu yang tidak diinginkannya lagi pulang? Pada akhirnya Suradi harus memaksakan diri untuk berbesar hati menerima kenyataan. Tetapi, dia bersyukur. Anak sulungnya yang saat itu berusia tiga belas tahun bersikukuh ikut bersamanya. Dalam bayangan anak itu, bapaknya itu tetaplah seorang pahlawan. Cerita-cerita yang didengarnya tentang sepak-terjang bapaknya telah memupuk kebanggaan di dalam hatinya yang naif dan belia.

***

Hari itu Lantra gelisah di dangau-nya. Suradi, bapaknya, yang berjanji langsung pulang setelah membeli pupuk dan pestisida serta keperluan lain di Muaradua atas perintah Dulamit, sudah tiga hari tidak pulang-pulang. Kegelisahannya terjawab ketika petangnya Dulamit menyambangi dangaunya.

”Ntra, kaba harus sabar. Tuhan sedang menguji iman kaba. Bapang kaba tidak akan pulang. Dia ditangkap tentara di Muaradua. Tidak ada yang tahu sekarang dibawa ke mana”, tutur Dulamit.

Lantra yang belia terpaku beberapa jenak, sebelum tersungkur di lantai pelupuh dangau.

”Sudahlah,” hibur Dulamit, ”mulai besok kaba tinggal di rumah kami saja. Temani si Rana belajar. Kabarnya, kaba pintar di sekolah. Kaba masih bisa terus sekolah, sambil membantu Kasman mengerjakan kebunku ini. Masalah sekolah, biar aku yang tanggung jawab. Mulai sekarang, akulah pengganti bapang kaba.”

***

Tidak pernah ada yang tahu sebelumnya, di balik kewajaran pergaulan Lantra dan Rana yang layaknya kakak-adik, tersimpan rahasia besar yang mereka simpan rapat-rapat. Orang-orang baru gempar ketika mengetahui Rana berhenti sekolah, dan Lantra dihajar habis-habisan oleh Dulamit. Rana hamil! Kegemparan berlanjut ketika Lantra dan Rana menghilang dari desa. Mereka sebambangan ’kawin lari’.

Sesungguhnya, bagi penduduk desa itu, dan di desa-desa sekitarnya, sebambangan bukanlah hal yang sangat tidak lumrah. Anak yang sebambangan akan diterima lagi oleh kedua orang tuanya kalau mereka kembali. Kasih sayang kepada anak, darah daging sendiri, mengetuk dan membuka kembali pintu hati mereka. Tetapi, bagi Dulamit, dan sangat mungkin juga bagi sebagian orang apit juray-nya, keadaannya sama sekali berbeda. Siapa Lantra yang membuat diri dan kehormatannya tercabik-cabik di mata warga? Dia hanya anak seorang makar yang kebetulan ditolongnya; diberinya jalan untuk hidup; dan ditampung di rumahnya; dihidupi dan dididiknya. Luka di hati Dulamit terlalu rengkah menganga. Maka ketika Rana bersama Lantra tersungkur di kakinya, mengiba-iba memohon pengampunan, bukan penerimaan yang mereka dapatkan, melainkan sumpah serapah yang berujung pengusiran untuk kedua kalinya. Tidak seorang pun yang mampu meluluhkan hati Dulamit. Dan, itu harus dibayarnya mahal sekali: Rana mati bunuh diri dengan mulut beraroma keras pestisida bersama janin yang bersemayam di rahimnya.

Sejak itu, bila petang menjelang, orang-orang bisa melihat Lantra duduk menekur di portal desa, tempat sebuah sumpah diikrarkan dengan penuh rahasia.





Baturaja, Juli 2012



Catatan bahasa Semenda:
kaba: kau
bapang: bapak, ayah
apit juray: sanak keluarga







Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...