Kabar
kematian Lantra cepat menyebar seperti wabah sampar. Seisi desa langsung
gempar. Warung-warung, masjid, surau, meja-meja gaple, balai desa, persimpangan
jalan, semua disimpangsiuri obrolan dan spekulasi-spekulasi seputar kematian
Lantra. Orang-orang membicarakannya sambil mengunyah juadah, menanti
kumandang azan, membanting kartu gaple, bahkan sambil ncelingkik ’duduk
mencangklung’ di atas batu-batu sungai, membombardir air dengan limbah
pencernaan.
Lantra
menggeliat hidup lagi dalam perbincangan.
***
Ketika
melewati portal desa—tidak jauh setelah tikungan ketiga—langkah kaki pedagang
kain itu terhenti sendiri. Ada yang dirasakannya tidak biasa. Ya, benaknya
mempertanyakan ketiadaan seorang lelaki yang biasanya duduk menekur dengan
mulut komat-kamit; bersandar pada tiang portal. Mata Karé liar mencari-cari. Tangannya meraba saku pentalonnya, dan menemukan
bungkus rokok kretek yang masih berisi beberapa batang. Cukup untuk diberikan
kepada lelaki itu, pikirnya. Beberapa saat ia mengernyitkan kening. Tetapi,
kumandang azan dari kejauhan membuyarkan pikirannya, dan menyeret kakinya lagi.
Karé memutuskan akan menunaikan salat asar di batu
dampar.
Batu
berpermukaan rata itu letaknya di tikungan kelima. Untuk sampai ke sana, orang harus melalui jalan setapak yang menyelinap turun di antara serumpun
bambu kuning, semak perdu seduduk, dan gerumbulan kastuba. Tetumbuhan liar itu
menyembunyikan jalan setapak dari penglihatan orang-orang yang melintasi atas
jalan aspal. Jalan setapak itu berujung tepat di hadapan sebuah pancuran bambu
yang sengaja dibuat orang untuk berwuduk, mandi, atau sekadar membasuh muka
setelah seharian bersimbah peluh mengolah sawah atau kebun kopi. Pancuran bambu
itu menggelontorkan air yang abadi sepanjang musim. Air yang segar-jernih
mengalir ke hilir melewati batu dampar yang separonya menjorok ke siring yang
membatasi tebing dan bibir area persawahan yang menghampar berbatas kaki-kaki
perbukitan.
Tiba
di hadapan pancuran bambu, Karé langsung menyingsingkan lengan kemeja dan ujung
pentalon untuk berwuduk. Kesegaran meruap ketika ia membasuh kedua telapak
tangannya. Lalu ditadahinya air untuk dikumurkan ke mulutnya. Pada saat itulah
ia terkesiap. Gerakan tangannya berhenti seketika. Jantungnya berdegup kencang.
Betapa tidak, kira-kira selunjuran bambu di hadapannya, sepasang mata membeliak
seperti hendak menelannya bulat-bulat; mata dari sebatang tubuh manusia yang
membujur kaku, menelungkup memeluk pematang dengan leher seperti berderak
dipaksa mengarah kepadanya. Dari pinggang ke bawah, tubuh itu tidak kelihatan,
tersuruk masuk ke dalam gerumbulan padi yang mulai menguning.
”Masya
Allah! Lantra!” pekiknya setelah beberapa saat tenggorokannya tercekat. Ia
bergidik ngeri melihat bibir si mayat membiru dan berbusa ungu. Ia sama sekali
tidak pernah membayangkan jawaban keheranannya ketika melewati portal desa
justru di ada situ; dan sengeri itu.
***
Bagaimanapun
keadaan Lantra yang separo usianya ditelikung ketidaksadaran pikiran,
kematiannya tetap menyisakan kehilangan bagi sebagian penduduk desa. Bersandar
pada keterangan Karé, orang-orang menyimpulkan Lantra mati sebab memakan remah
nasi yang telah dilumuri tube ’racun tuba’ yang sengaja dipasang orang
untuk membunuh babi hutan-babi hutan yang acapkali turun dari hutan-hutan di
perbukitan untuk mengganyang tanaman-tanaman.
Yang
paling merasakan kehilangan sebenarnya anak-anak. Lantra telah menjadi bagian
dari keriangan mereka. Mereka senang sekali menggodanya, mengajaknya bercanda,
dan bernyanyi. Bagi mereka Lantra adalah teman yang jenaka dan menyenangkan.
Tetapi, kadang-kadang juga menakutkan. Dia tidak akan mengganggu kalau
perasaannya tidak terusik. Tetapi, kalau sudah marah, anak-anak itu akan
dibuatnya panik; lari pontang-panting manakala Lantra meradang sambil
mengacung-acungkan tongkat kayu merdika yang selalu dibawanya ke
mana-mana.
Bagi
sebagian orang, Lantra nyatanya ada manfaatnya juga. Dengan sepincuk nasi,
secangkir kopi, dan sebungkus rokok murahan, dia bersedia disuruh ini-itu.
Membalik-balik jemuran padi, biji-biji kopi, kulit kayu manis, atau cacahan
daun nilam adalah ”orderan” yang sering diterimanya. Ada kalanya juga,
membersihkan siring depan rumah yang mampat oleh timbunan sampah atau endapan
pasir yang tergerus aliran air dari hulu.
Tetapi,
ada satu hal yang begitu kukuh dipertahankan Lantra: kesetiaannya kepada
matahari. Semenarik apa pun ajakan bermain dari anak-anak; sebesar apa pun
upah yang diiming-imingkan ke ujung hidungnya; sekeras apa pun orang
menahannya; akan ia tampik—jika perlu dengan memberontak—apabila matahari telah
mengisyaratkan petang. Barangkali hanya hujan yang mampu menghadangnya.
Ada
semacam kekuatan gaib memanggil-manggil dan menghelanya segera bergegas pergi
ke portal desa; duduk menekur di sana; dan beranjak pulang—ke mana pun dia
ingin pulang—ketika langit senja mengisyaratkan azan magrib akan segera
berkumandang. Pertemuan dengan portal desa, atau ”sesuatu” yang baginya ”ada”
di portal desa, seolah pertemuan sakral yang tak sekali-kali hendak
diabaikannya.
***
Pada
awalnya, terasa betapa sulit Suradi menjalani hidup di desa pelariannya itu.
Tatapan curiga mengepungnya di mana-mana. Bibir-bibir mencibir ke arahnya.
Perempuan-perempuan menyingkirkan anak-anak mereka dari hadapannya. Suradi
merasa penduduk desa memandangnya sebagai duri yang menyelinap diam-diam ke
dalam lipatan-lipatan daging.
Sepenuhnya
Suradi sadar dirinya pantas menerima perlakuan seperti itu. Tidak akan ada
orang yang mau menerima seseorang yang telah dicatat oleh sejarah sebagai
anggota komplotan ”pengacau keamanan”, pikirnya. Namun, dia tidak punya
pilihan lain. Dia bertahan sambil berharap waktu perlahan-lahan akan mengubah
keadaan.
Masih
segar dalam ingatannya bagaimana peristiwa demi peristiwa berdarah itu terjadi
di dusunnya, Talangsari, Way Jepara, Lampung Tengah. Enam Februari 1989, dia melihat
serombongan aparat keamanan dari Koramil Way Jepara, didampingi unsur Muspika,
mendatangi dusunnya. Kedatangan mereka, menurut cerita yang dia dengar, untuk
memintai keterangan dari Warsidi dan pengikutnya yang dicurigai melakukan
aktivitas radikal yang meresahkan masyarakat. Namun, entah bagaimana
asal-mulanya, pengikut Warsidi menyambutnya dengan perlawanan. Akibatnya,
Kapten Soetiman, sang danramil, tewas terkena panah beracun dan dua orang
anggota TNI lainnya terluka parah. Di pihak Warsidi didengarnya enam orang
tewas.
Esoknya,
Korem 043 Garuda Hitam bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri
dibantu beberapa kompi Brimob, CPM, dan Polisi setempat mengepung dan menyerbu
perkampungan Cihideung yang menjadi pusat kegiatan Warsidi dan pengikutnya.
Pasukan tentara bergerak dengan konfigurasi tapal kuda dari arah utara (Pakuan
Aji), selatan (Kelahang), dan timur (Kebon Coklat). Sementara arah barat
dibiarkan terbuka. Pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm),
granat, dan dua buah helikopter membentengi arah barat.
Karena
kekuatan tidak seimbang, kelompok Warsidi yang kemudian terkenal dengan sebutan
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Way Jepara, dengan cepat dapat dilumpuhkan.
Puluhan, bahkan ada yang menyebutkan ratusan orang tewas, dan yang lainnya
berhasil melarikan diri, termasuk Suradi yang terseret masuk walaupun
sesungguhnya dia tidak tahu-menahu persoalan yang sesungguhnya. Yang dia tahu
dia hanya ikut menyelamatkan diri karena takut ikut menjadi korban keberingasan
tentara.
Ketika
tentara melakukan pembersihan, dia ikut menyingkir dari dusun yang telah
memberinya kehidupan. Puluhan pengikut Warsidi ditangkap dan dijebloskan ke
dalam tahanan. Tidak ada pilihan lain bagi Suradi kecuali terus melakukan
pelarian.
Dalam
pelariannya, Suradi sempat tinggal selama dua minggu di Banding Agung,
menumpang di rumah kenalannya. Tetapi, dia tidak dapat bertahan lama di kota
kecil di tepian Danau Ranau di perbatasan barat daya Sumatera Selatan dan
Lampung itu. Setidaknya ada dua alasan yang mengharuskannya merambah kembali
pelariannya. Pertama, kota itu dinilainya tidak terlalu rapat
menyembunyikan dirinya. Kedua,—dan ini yang dirasakannya lebih
mendesak—dia tidak tahan dengan sikap istri sang kenalan yang secara
terselubung memperlihatkan penerimaan yang setengah hati, bahkan akhirnya
secara setengah terus terang menyatakan terbebani.
Di
tengah kecemasan, Suradi merasakan tangan Tuhan begitu mudah memutar jentera
nasib hidup manusia seperti dirinya. Dia bertemu Dulamit, seorang pedagang
terkemuka, penguasa berpuluh bidang kebun kopi dan sawah di desanya. Dulamit
berada di Banding Agung untuk menyelesaikan pembelian sebuah truk dengan
seorang penduduk kota itu.
Mulanya,
Suradi minta izin menumpang truk yang baru dibeli Dulamit itu. Dia berniat
merambah kembali pelariannya ke Muaradua, sekitar dua jam perjalanan ke arah
timur dari Banding Agung. Merasa simpati mendengar cerita hidup Suradi, Dulamit
tidak hanya mengizinkan menumpang truknya, tetapi juga mengajaknya serta ke
desanya. Suradi dimintanya menjadi pekerja di kebun kopinya. Tentu saja tawaran
itu disambut Suradi dengan suka-cita.
Tahun
demi tahun dilaluinya dengan tetes demi tetes keringat jatuh di atas jengkal
demi jengkal kebun kopi milik Dulamit. Pada akhirnya Suradi dapat hidup cukup
dan tenang, meski hanya tinggal di dangau ’pondok’ di tengah kebun kopi
Dulamit. Cukup kebutuhan untuk hidup sehari-hari; tenang karena tidak lagi
diteror oleh ketakutan ditangkap aparat tentara atau polisi.
Tetapi,
siapa bisa dengan begitu saja seseorang memutuskan rantai sejarah yang mengikat
hidupnya? Sebagai manusia biasa Suradi pun kerap didera rasa hampa. Apalagi,
hampa yang dirasakannya bersumber dari keterpisahan oleh tangan-tangan nasib
yang menurutnya semena-mena memperlakukan hidupnya. Ada saat-saat sunyi yang
kerap menghimpitnya dalam kesengsaraan batin sebab terpisah dari orang-orang
yang dicintainya: istri dan anak-anaknya.
Pada
masa-masa awal tinggal di desa itu, dia masih bisa berhubungan dengan istrinya
melalui surat. Tetapi, lama-lama hubungan itu terputus sepenuhnya karena
surat-surat yang dikirimnya tidak lagi berbalas. Dia hanya bisa terhenyak
sendirian, meresapi kesengsaraan. Bayangan istri dan tiga orang anaknya kerap
melintas-lintas pada dinding pelupuh dangau tempat tinggalnya.
Bayangan-bayangan itu lama-lama mengkristal dalam pikirannya dan pada akhirnya
menggiringnya kepada keputusan untuk menjemput istri dan anak-anak meski sangat
disadarinya itu keputusan yang mengandung risiko yang tidak kecil.
Pertemuannya
kembali dengan istri dan anak-anaknya nyatanya menghadapkan Suradi kepada
sayatan perih lain pada kepahitan hidupnya. Perjalanan diam-diamnya dari desa
ini dengan beban segala kekhawatiran, tetapi dipenuhi gambar-gambar kebahagiaan
hidup masa depan di tanah pelarian yang diputuskannya akan menjadi tempat
menghabiskan umur dan berkubur, tertumbuk cadas kekerasan hati sang istri. Ada
yang rengkah di dalam hati Suradi ketika istrinya menetapkan pilihan bagi
dirinya sendiri untuk mengakhiri kebersamaan dengan lelaki itu. Ya, kebersamaan
yang baginya terasa semu dan melelahkan, tanpa secercah kepastian. ”Biarlah
kita menjalani hidup masing-masing, Kang. Aku lelah hidup terus-menerus dalam
ketakutan.”
Tidak
ada lagi yang bisa dilakukan Suradi selain pasrah dan mengakui kenyataan itu
sebagai konsekuensi lain dari pilihannya. Apa lagikah kekuatan seorang suami
yang telah sekian tahun menelantarkan istrinya, membiarkan kekeringan hati dan
raganya? Masih adakah kekuatan untuk memaksa seseorang menerima kembali sesuatu
yang telah dianggapnya hilang; sesuatu yang tidak diinginkannya lagi pulang?
Pada akhirnya Suradi harus memaksakan diri untuk berbesar hati menerima
kenyataan. Tetapi, dia bersyukur. Anak sulungnya yang saat itu berusia tiga
belas tahun bersikukuh ikut bersamanya. Dalam bayangan anak itu, bapaknya itu
tetaplah seorang pahlawan. Cerita-cerita yang didengarnya tentang sepak-terjang
bapaknya telah memupuk kebanggaan di dalam hatinya yang naif dan belia.
***
Hari
itu Lantra gelisah di dangau-nya. Suradi, bapaknya, yang berjanji
langsung pulang setelah membeli pupuk dan pestisida serta keperluan lain di
Muaradua atas perintah Dulamit, sudah tiga hari tidak pulang-pulang.
Kegelisahannya terjawab ketika petangnya Dulamit menyambangi dangaunya.
”Ntra,
kaba harus sabar. Tuhan sedang menguji iman kaba. Bapang kaba
tidak akan pulang. Dia ditangkap tentara di Muaradua. Tidak ada yang tahu
sekarang dibawa ke mana”, tutur Dulamit.
Lantra
yang belia terpaku beberapa jenak, sebelum tersungkur di lantai pelupuh
dangau.
”Sudahlah,”
hibur Dulamit, ”mulai besok kaba tinggal di rumah kami saja. Temani si
Rana belajar. Kabarnya, kaba pintar di sekolah. Kaba masih bisa
terus sekolah, sambil membantu Kasman mengerjakan kebunku ini. Masalah
sekolah, biar aku yang tanggung jawab. Mulai sekarang, akulah pengganti bapang
kaba.”
***
Tidak
pernah ada yang tahu sebelumnya, di balik kewajaran pergaulan Lantra dan Rana
yang layaknya kakak-adik, tersimpan rahasia besar yang mereka simpan
rapat-rapat. Orang-orang baru gempar ketika mengetahui Rana berhenti sekolah,
dan Lantra dihajar habis-habisan oleh Dulamit. Rana hamil! Kegemparan berlanjut
ketika Lantra dan Rana menghilang dari desa. Mereka sebambangan ’kawin
lari’.
Sesungguhnya,
bagi penduduk desa itu, dan di desa-desa sekitarnya, sebambangan bukanlah
hal yang sangat tidak lumrah. Anak yang sebambangan akan diterima lagi
oleh kedua orang tuanya kalau mereka kembali. Kasih sayang kepada anak, darah
daging sendiri, mengetuk dan membuka kembali pintu hati mereka. Tetapi, bagi
Dulamit, dan sangat mungkin juga bagi sebagian orang apit juray-nya,
keadaannya sama sekali berbeda. Siapa Lantra yang membuat diri dan
kehormatannya tercabik-cabik di mata warga? Dia hanya anak seorang makar yang
kebetulan ditolongnya; diberinya jalan untuk hidup; dan ditampung di rumahnya;
dihidupi dan dididiknya. Luka di hati Dulamit terlalu rengkah menganga. Maka
ketika Rana bersama Lantra tersungkur di kakinya, mengiba-iba memohon
pengampunan, bukan penerimaan yang mereka dapatkan, melainkan sumpah serapah
yang berujung pengusiran untuk kedua kalinya. Tidak seorang pun yang mampu
meluluhkan hati Dulamit. Dan, itu harus dibayarnya mahal sekali: Rana mati
bunuh diri dengan mulut beraroma keras pestisida bersama janin yang bersemayam
di rahimnya.
Sejak
itu, bila petang menjelang, orang-orang bisa melihat Lantra duduk menekur di
portal desa, tempat sebuah sumpah diikrarkan dengan penuh rahasia. ■
Baturaja,
Juli 2012
Catatan bahasa Semenda:
kaba: kau
bapang: bapak, ayah
apit juray: sanak keluarga