March 23, 2014

PO dan Pemaksimalan Potensi Individual Menuju Efektivitas Organisasi


Judul Buku: Perilaku Organisasi 1, Edisi 12 (Edisi asli dalam bahasa Inggris: Organizational Behavior 1, 12nd, Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey, 07458 | Penulis: Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge | Alih Bahasa: Diana Angelica | Editor: Resthi Widyaningrum | Penerbit: Salemba Empat, Jakarta | Tahun Terbit: 2008 | Jumlah Halaman: xx, 517 | Ukuran: 19 x 26 cm.


Buku ini merupakan jilid pertama dari dua jilid yang membahas kompleksitas perilaku perseorangan (personal) yang diperlihatkan oleh seseorang dalam posisinya sebagai karyawan atau manajer dan implikasinya pada suatu organisasi atau perusahaan.

Dengan judul Perilaku Organisasi 1, buku ini—dan juga buku kedua—ditulis oleh dua penulis ternama Amerika Serikat, yaitu Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge. Robbins—Ph.D. University of Arizona—adalah profesor pada San Diego State University, Southern Illinois University di Edwardsville, University of Baltimore, Concordia University di Montreal, dan University of Nebraska di Omaha. Minat-minat penelitiannya berfokus pada konflik, kekuatan, dan politik dalam organisasi, pembuatan keputusan yang berhubungan dengan perilaku, dan perkembangan keterampilan antarperseorangan yang efektif. Biodata pada bagian awal buku ini menerangkan bahsa Robbins adalah salah seorang penulis dengan penjualan terbaik di dunia dari buku-buku pelajaran dalam bidang manajemen dan perilaku organisasi (selanjutnya disingkat: PO).

Buku-bukunya telah digunakan di lebih dari seribu perguruan tinggi dan univerisitas di AS; telah diterjemahkan ke dalam enam belas bahasa; dan mempunyai edisi-edisi saduran untuk Kanada, Australia, Afrika Selatan, dan India. Buku-buku itu meliputi Essentials of Organizational Behavior, edisi ke-8 (Prentice Hall, 2005), Management, edisi ke-8, bersama Mary Coulter (Prentice Hall, 2005), Human Resource Management, edisi ke-8, bersama David deCenzo (Wiley, 2005), Prentice Hall’s Self-Assessment Library 3.0 (Prentice Hall, 2005), Fundamentals of Management, edisi ke-5, bersama David deCenzo (Prentice Hall, 2006), Supervision Today!, edisi ke-4, bersama David deCenzo (Prentice Hall, 2004), Training in Interpersonal Skills, edisi ke-3, bersama Philip Hunsaker (Prentice Hall, 2003), Managing Today!, edisi ke-2 (Prentice Hall, 2000), Organization Theory, edisi ke-3 (Prentice Hall, 1990), The Truth About Managing People … And Nothing But the Truth (Financial Times/Prentice Hall, 2002), dan Decide and Conquer: Make Winning Decisions and Take Control of Your Life (Financial Times/Prentice Hall, 2003).

Judge—Ph.D. University of Illinois di Urbana-Champaign—adalah sarjana ulung Matherly-McKethan dalam bidang Manajemen, Warrington College of Business Administration, University of Florida, profesor Stanley M. Howe dalam bidang epemimpinan, Henry B. Tippie College of Business, University of Iowa, profesor rekanan (dengan kedudukan tetap), Departement of Human Resource Studies, School of Industrial and Labor Relations, Cornell University, lektor Charles University, Republik Czech, dan Comenius University, Slovakia, guru Industrial/Organizational Psychology, University of Illinois di Urbana- Champaigne.

Minat penelitian utama Judge adalah (1) kepribadian, suasana hati, dan emosi-emosi, (2) sikap-sikap kerja, (3) kepemimpinan dan perilaku yang memengaruhi, dan (4) karier. Ia telah menerbitkan lebih dari sembilan puluh artikel dalam bidang-bidang itu dan topik-topik utama lain dalam jurnal-jurnal seperti Journal of Organizational Behavioar, Personnel Psychology, Academy of Management Journal, Journal of Applied Psychology, European Journal of Personality, dan European Journal of Work and Organizational Psychology. Bukunya yang telah terbit antara lain adalah Staffing Organizations, edisi ke-4, bersama H.G. Heneman (Madison, WI: Mendota House/Irwin, 2003).

Buku PO 1 ini diorganisasikan dalam tiga bagian. Bagian Satu: “Pendahuluan” terdiri atas satu bab tentang ‘Apakah PO itu?’ (halaman 2—53). Bagian Dua: “Individual” memuat tujuh bab, yaitu ‘Dasar-dasar Perilaku Individual’ (54—89), ‘Sikap dan Kepuasan Kerja’ (90—123), ‘Kepribadian dan Nilai’ (124—171), ‘Persepsi dan Pembuatan Keputusan Individual’ (172—219), ‘Konsep-konsep Motivasi’ (220—265), ‘Motivasi: Dari Konsep Menuju Aplikasi’ (266—305), dan ‘Emosi dan Suasana Hati’ (306—353). Bagian Tiga: “Kelompok” meliputi dua bab, yaitu ‘Dasar-dasar Perilaku Kelompok’ (354—401) dan ‘Memahami Kerja Sama Tim’ (402—512). Pada bagian akhir buku ini juga dilengkapi dengan “Indeks” (513—517) yang memudahkan pembaca untuk menemukan penjelasan tentang entri-entri kata atau istilah penting.

Bab 1 ‘Apakah PO Itu?’ menguraikan tentang (1) apakah yang dilakukan oleh manajer dalam kaitannya dengan fungsi manajemen, peran manajemen, keahlian manajemen, aktivitas manajerial yang sukses versus aktivitas manajemen yang efektif, dan kajian atas tugas manajer; (2) memasuki PO; (3) melengkapi intuisi dengan studi sistematis; (4) disiplin ilmu yang mendukung PO yang meliputi psikologi, psikologi sosial, sosiologi, dan antropologi; (5) beberapa hal mutlak dalam PO; (6) tantangan dan peluang untuk PO dalam mererpons globalisasi, mengelola keragaman angkatan kerja, meningkatkan kualitas dan produktivitas, merespons kurangnya tenaga kerja, meningkatkan layanan pelanggan, meningkatkan keahlian personal, memberdayakan orang, menstimulasi inovasi dan perubahan, mengatasi “kesementaraan”, bekerja dalam organisasi berjaringan, membantu karyawan menyeimbangkan konflik, kehidupan—pekerjaan, dan meningkatkan perilaku etis; dan (7) atraksi berikutnya: mengembangkan model PO yang ditinjau dari tinjauan luas, variabel dependen, variabel independen, dan menuju model PO kontijensi.

Bab 2 ‘Dasar-dasar Perilaku Individual’ menjelaskan dimensi-dimensi (1) kemampuan yang meliputi kemampuan intelektual, kemampuan fisik, dan kesesuaian kemampuan—pekerjaan; (2) karakteristik-karakteristik biografis yang meliputi usia, gender, ras, dan masa jabatan; dan (3) pembelajaran yang membahas definisi pembelajaran, teori pembelajaran, dan pembentukan: alat manajerial. Bab 3 ‘Sikap dan Kepuasan Kerja’ mendeskripsikan dua dimensi yaitu (1) sikap dan (2) kepuasan kerja. Deskripsi tentang dimensi sikap menjawab pertanyaan-pertanyaan: Apa saja komponen utama sikap? Seberapa konsistenkah sikap itu? Apakah perilaku mengikuti sikap? Apakah sikap kerja yang utama? Bagaimana sikap karyawan dapat diukur? Apa arti penting sikap terhadap keberagaman di tempat kerja?

Bab 4 ‘Kepribadian dan Nilai’ menjelaskan (1) kepribadian, (2) nilai, dan (3) menghubungkan kepribadian dan nilai seseorang individu dengan tempat kerja. Tentang dimensi kepribadian, Robbins dan Judge menguraikan apakah itu kepribadian, faktor-faktor penentu kepribadian, sifat-sifat kepribadian, menilai kepribadian, sifat kepribadian utama yang memengaruhi PO, serta kepribadian dan kultur nasional. Tentang nilai mereka menjelaskan pentingnya nilai; jenis-jenis nilai; nilai, kesetiaan, dan perilaku etis; serta nilai lintas kultur. Untuk dimensi terakhir dijelaskan tentang kesesuaian individu—pekerjaan dan kesesuaian individu—organisasi.

Bab 5 ‘Persepsi dan Pembuatan Keputusan Individual’ mendeskripsikan (1) apa itu persepsi, (2) faktor-faktor yang memengaruhi persepsi, (3) persepsi seseorang: membuat penilaian tentang individu lain, meliputi teori hubungan, jalan pintas yang sering digunakan dalam menilai individu lain, dan berbagai aplikasi khusus dari jalan pintas dalam organisasi (4) hubungan antara persepsi dan pembuatan keputusan individual, (5) bagaimana seharusnya keputusan dibuat, meliputi proses pembuatan keputusan yang rasional dan meningkatkan kreativitas dalam pembuatan keputusan, (6) bagaimanakah sebenarnya keputusan dalam organisasi dibuat, meliputi rasionalitas yang dibatasi, bias dan kesalahan umum, intuisi, perbedaan-perbedaan individual, batasan-batasan organisasional, dan perbedaan-perbedaan kultural, dan (7) bagaimana dengan etika dalam pembuatan keputusan yang menjelaskan tiga kriteria keputusan etis (utilitarian, hak, dan keadilan) serta etika dan kultur nasional.

Bab 6 ‘Konsep-konsep Motivasi’ menjelaskan (1) definisi motivasi, (2) teori-teori motivasi pada zaman dahulu, (3) teori-teori motivasi kontemporer, (4) mengintegrasikan teori-teori motivasi kontemporer, dan (5) caveat emptor: teori-teori motivasi sering dibatasi oleh kultur. Pada pembahasan tentang teori-teori motivasi pada zaman dahulu diuraikan perihal hierarki teori kebutuhan, teori X dan teori Y, serta teori dua faktor. Sementara itu, teori-teori motivasi kontemporer meliputi teori kebutuhan McClelland, teori evaluasi kognitif, teori penentuan tujuan, program-program MBO, teori efektivitas diri, teoti penguatan, teori keadilan, dan teori harapan.

Bab 7 ‘Motivasi: Dari Konsep Menuju Aplikasi’ menguarikan topik-topik tentang (1) memotivasi dengan mengubah sifat dari lingkungan kerja, meliputi model karakteristik pekerjaan, bagaimana pekerjaan bisa dirancang ulang, susunan pekerjaan alternatif, dan jangan melupakan kemampuan dan peluang, (2) keterlibatan karyawan, meliputi contoh program keterlibatan karyawan dan menghubungkan program keterlibatan karyawan dan teori motivasi, dan (3) memberikan penghargaan kepada karyawan, yang meliputi membentuk struktur bayaran, memberikan penghargaan kepada karyawan individual melalui program variabel bayaran dan melalui rencana bayaran berdasarkan keterampilan dengan teori motivasi, bayaran berdasarkan keterampilan dalam praktiknya, tunjangan yang fleksibel, dan penghargaan intrinsik: program pengakuan karyawan.

Bab 8 ‘Emosi dan Suasana Hati’ mendeskripsikan (1) apakah emosi dan suasana hati itu yang menjelaskan tentang kumpulan dasar emosi, beberapa aspek emosi, suasana hati sebagai afek positif dan negatif, sumber-sumber emosi dan suasana hati, dan batasan-batasan eksternal pada emosi, (2) kerja emosional yang menguraikan emosi yang dirasakan versus emosi yang ditampilkan dan apakah pekerjaan-pekerjaan yang menuntut secara emosional dibayar lebih tinggi, (3) teori peristiwa afektif, (4) kecerdasan emosional (EI), meliputi kasus mendukung EI dan kasus yang menentang EI, dan (5) aplikasi-aplikasi PO terhadap emosi dan suasana hati yang meguraikan seleksi, pengambilan keputusan, kreativitas, motivasi, kepemimpinan, konflik antarpersonal, negosiasi, pelayanan pelanggan, sikap kerja, perilaku menyimpang di tempat kerja, dan bagaimana para manajer memengaruhi suasana hati.

Bab 9 ‘Dasar-dasar Perilaku Kelompok’ membahas (1) bagaimana mendefinisikan dan mengklasifikasikan kelompok, (2) tahap-tahap perkembangan kelompok, meliputi model lima tahap, dan sebuah model alternatif: bagi kelompok sementara dengan tenggat waktu, (3) hal-hal mengenai kelompok: peran, norma, status, ukuran, dan kekohesifan, dan (4) pengambilan keputusan kelompok yang membahas kelompok versus individual, pemikiran kelompok dan pergeseran kelompok, dan teknik-teknik pengambilan keputusan kelompok. Bab 10 ‘Memahami Kerja Sama Tim’ menguraikan (1) mengapa tim menjadi begitu populer, (2) perbedaan antara kelompok dan tim, (3) jenis-jenis tim, meliputi tim penyeleksi masalah, tim kerja yang mengelola diri sendiri, tim lintas fungsional, dan tim virtual, (4) menciptakan tim yang kreatif, meliputi konteks, komposisi, rancangan kerja, dan proses, (5) mengubah individu menjadi pemain tim, meliputi tantangan dan membentuk pemain tim, (6) tim dan kualitas manajemen, dan (7) tim tidak selalu merupakan jawaban.

Hal menarik sekaligus yang menjadi salah satu keunggulan buku ini adalah penulis menyajikan uraiannya dengan bahasa yang “ringan” tetapi tetap mempertahankan kecermatan teoretis sehingga secara epistemologis bisa tetap dipertanggungjawabkan. Buku ini berhasil keluar dari pakem kaku dan text book yang menjadi prototipe buku-buku ilmiah tentang administrasi dan manajemen. Sebagai perbandingan, buku ini jauh lebih “enak dibaca dan perlu” (pinjam istilah Gunawan Mohamad) dibandingkan dengan, misalnya, buku John M. Bryson, Perencanaan Strategis bagi Organisasi Sosial[1] atau buku Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein, Educational Administration: Concepts and Practices[2].

Keunggulan lainnya adalah format penyajian yang lebih menggunakan pendekatan kasus. Pembahasan tiap bab selalu diawali dengan ilustrasi dari tokoh atau perusahaan yang memperlihatkan keberhasilan yang ditempuh dengan menggunakan pendekatan praktis dan efektif sehingga menunjang pencapaian tujuan organisasi. Pada bab 1, misalnya, diilustrasikan bagaimana Lakshmi Gopalkrisnan—salah seorang manajer Microsoft di Redmond, Washington—berhasil memimpin sebuah tim yang terdiri atas enam belas karyawan purnawaktu dan sejumlah kontraktor di Denmark, North Dakota, dan Washington dengan pendekatan menciptakan visi yang memotivasi, memberdayakan keterampilan yang saling melengkapi, serta menciptakan cara untuk menginspirasi dan menantang anggota tim dalam pemasaran melalui web.

Pada akhir setiap bab, Robbins dan Judge menyertakan ringkasan dan implikasi untuk manajer, isu-isu PO yang berkaitan dengan Mitos dan Ilmu Pengetahuan, PO dalam Berita, PO Internasional, dan Pro/Kontra seputar praksis PO. Untuk mempertajam pemahaman pembaca, juga disertakan Pertanyaan untuk Berpikir Kritis, Tugas Kelompok, Dilema Etika, dan Studi Kasus. Penyertaan isu-isu dan tugas-tugas ini memungkinkan pembaca menjelajahi perkembangan PO dalam kasus-kasus yang dapat menginspirasi pembaca dalam memahami secara lebih empiris dinamika PO di dunia.

Hanya saja, bagi pembaca Indonesia barangkali contoh-contoh kasus yang ditampilkan di dalam buku ini relatif agak asing, terutama yang menyangkut dimensi kultural dari PO yang ilustrasi-ilustrasinya merepresentasikan karakteristik budaya AS yang pasti jauh berbeda dengan kasus-kasu kultural PO di Indonesia. Meskipun demikian, itu bukanlah hal yang terlalu mendasar bagi pembaca untuk memanfaatkan buku ini sebagai bahan referensial tentang perilaku perorangan dalam hubungannya dengan team work dalam dimensi PO.




[1] Cet. VI (Resource Management and Development Consultant, Institute for Social Transformation, dan Pustaka Pelajar, 2003). Buku ini merupakan edisi terjemahan oleh M. Miftahuddin dari buku asli Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations: A Guide Strengthening and Sustaining Organizational Achievement.
[2] 3rd Edition (Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning, 1999)

Filsafat dan Kebenaran

Pengertian Filsafat
Secara etimologis, kata ”filsafat” berasal dari kata dalam bahasa Yunani philia atau philein yang berarti ’cinta’ atau ’mencintai’, dan sophos yang berarti ”kearifan” atau ”kebijaksanaan”. Kata ini juga bisa dirunut secara etimologis ke bahasa Inggris: phylosophy yang dibentuk dari kata philos dan shopia yang berarti ’mencintai kebijaksanaan’.

Prof. Dr. Belferik Manullang
Menurut Prof. Dr. Belferik Manullang (selanjutnya disingkat: BM), filsafat dapat dibatasi sebagai pengetahuan tentang hakikat ilmu pengetahuan, atau sari, inti, esensi segala sesuatu untuk menemukan kebenaran hakiki. Lebih lanjut dikatakan BM bahwa filsafat merupakan regina sientrum (ratu segala ilmu) yang mencakup alam semesta dengan segala isinya (dunia makrokosmos) sampai kepada hal-hal kecil yang melibatkan proses mental manusia (dunia mikrokosmos), bahkan juga mencakup berbagai persoalan dan pemikiran praktis sampai kepada hal-hal pemikiran yang bersifat jenius. Batasan ini mengimplikasikan sejumlah dimensi yang cakupannya luas, komprehensif, dan sekaligus esensial tentang filsafat, termasuk di dalamnya hakikat kebenaran. Dimensi hakikat kebenaran inilah yang menjadi pokok persoalan yang dikembangkan secara mendalam dan menarik oleh BM dalam pembicaraannya. Fokus pada dimensi ini pulalah yang direfleksikan penulis dalam artikel sederhana yang lebih merupakan refleksi pribadi atas keterpesonaan ketika mengikuti pembicaraan BM.
Hakikat Kebenaran
Bagaimanakah pandangan filsafat tentang kebenaran? Kebenaran adalah sikap persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide-ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti apa adanya. Akan tetapi, karena kita tidak selalu dapat membandingkan pertimbangan kita dengan situasi yang sebenarnya, maka kita uji pertimbangan tersebut dengan konsistensinya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap salah dan benar, atau kita uji dengan faedahnya dan akibat-akibatnya yang praktis[2]. Definisi dan uraian Titus, Smith, dan Nolan ini amat relevan dengan realitas bahwa kecenderungan manusia mengkonstruksi pemahaman tentang kebenaran dengan pendekatan mekanistik—suatu pendekatan yang tidak dianjurkan dan justru menurut BM idealnya pendekatan vitalistiklah yang dipilih untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran yang hakiki.
BM menggambarkan alur pendekatan mekanistik sebagai berikut. Pertama, realita memperlihatkan kecenderungan manusia masa kini pada umumnya mendekati kebenaran dengan mengonstruksi kebenaran itu dalam fase ilmiah-praktis. Inilah yang menjadi akar segala ketidakselarasan kehidupan manusia modern. Dengan persepsi semacam ini kebenaran hanya tampak dalam wujudnya yang empiris, bersandar hanya kepada akal sehat (logika), sehingga parameter kebenaran adalah ”benar karena biasa” sebab itulah yang menjadi persepsi umum atau common sense di lingkungan masyarakat. Menggejalanya praktik-praktik korupsi, demikian dicontohkan BM, antara lain disebabkan oleh implikasi cara pandang ilmiah-praktis ini.
Pada fase kedua, manusia mendekati kebenaran dari perspektif ilmiah-teoretis. Kebenaran didekati tidak hanya sebatas mengandalkan logika empiris yang bersandar kepasa common sense, tetapi sudah menggunakan perspektif rasional-objektif; pemahaman atas fenomena empiris telah disistematisasi dengan metodologi yang analitis; dan melalui proses bernalar yang verifikatif dengan pengujian-pengujian yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian, jika manusia mempersepsikan kebenaran hanya sebatas fase ini, maka kualitas hidup manusia belum sampai pada taraf yang diharapkan. Kebenaran yang ditemukan hanya menjadi kebenaran yang ”kering”, kebenaran yang belum menyentuh esensi.
Pada fase ketiga adalah fase ilmiah-esensi. Di wilayah fase inilah filsafat berada. Pada fase ini manusia telah mendekati kebenaran secara suprarasional dan intuitif; dilandasi oleh pemahaman yang mendasar dan menyeluruh (holistik) tentang esensi dari fenomena-fenomena empiris yang telah dirasionalisasi pada fase kedua. Pada fase ini pula manusia telah mampu mempersepsikan fenomena dengan memosisikan secara benar relasi-relasi di antara premis mayor dan premis minor. Bahwa premis minor harus setia kepada premis mayor telah menginternalisasi dalam proses berpikir manusia dalam mengkonstruksi kebenaran. Sebagai ilustrasi, perspektif manusia telah mampu menguji kebenaran premis-premis yang ada di dalam analogi ini:
Kalau Tuhan Mahakuasa, maka Ia kuasa membuat batu yang mahabesar, sehingga Ia tidak kuasa mengangkat batu tersebut.
Analogi ini, jika dipahami tanpa memperhitungkan esensi relasi premis mayor dan premis minornya, akan menghasilkan pemahaman yang berisiko menyesatkan. Oleh sebab itu, kata BM, redaksi makna kalimat di atas harus ditelusuri dengan pemahaman sebagai berikut: (1) Tuhan Mahakuasa (premis mayor); (2) Ia kuasa membuat batu yang mahabesar (premis minor); (3) Ia tidak kuasa mengangkat batu tersebut (premis minor). Premis (2) dapat diterima karena setia dengan premis (1) sebagai premis mayor, sedangkat premis (3) yang juga sebagai premis minor tidak dapat diterima karena tidak setia dengan premis (1).
  Pada fase keempat, kebenaran sudah merupakan sesuatu yang absolut karena datang dari Causa Prima, yaitu kebenaran Tuhan. Pada akhirnya, manusia pada hakikatnya harus ”menyerah” dan menuju kepada kebenaran itu. Ini adalah kebenaran yang bukan domain manusia.
BM menegaskan bahwa semestinya dalam mencari kebenaran manusia memulai langkahnya dengan menggunakan pendekatan vitalistik:
Causa Prima — ilmiah-esensi — ilmiah teoretis — ilmiah praktis
bukan sebaliknya:
ilmiah praktis — ilmiah teoretis — ilmiah-esensi — Causa Prima.
Dengan pendekatan vitalistik, manusia mendekati kebenaran dengan landasan utama kebenaran paling hakiki, yaitu kebenaran Tuhan. Tugas filsafat yang paling berat pada hakikatnya adalah mengharmoniskan segala kekacauan yang terjadi pada kehidupan akibat implikasi pendekatan mekanis, dan mengembalikannya kepada pendekatan vitalistik.
Karakteristik Berfilsafat
Dalam berfilsafat, kita semestinya menggunakan akal-budi untuk menangkap dan memaknai segala fenomena yang ada secara holistik, mendasar, dan spekulatif untuk sampai kepada kebenaran yang esensial. Pemaknaan secara holistik berarti fenomena itu harus dipandang sebagai sesuatu yang menyeluruh; sebagai sebuah sistem yang komponen-komponennya saling berkaitan, saling memengaruhi, dan saling mengisi dalam suatu tatanan yang selaras dan harmonis. Kita harus menghindari pemahaman yang bersifat parsial.
Secara mendasar dapat diartikan bahwa ketika berfilsafat, kita hatus memahami fenomena sampai ke dasar terdalam dari esensi yang ada pada fenomena itu. Kita harus berpikir secara radikal, sampai ke akar-akarnya, sampai ke inti dari esensi. Kebenaran yang esensial mungkin sekali tertanam jauh di ceruk terdalam dari sebuah fenomena. Ketika berfilsafat, kita harus menjelajah sampai ke ceruk terdalam itu.
Spekulatif dapat diartikan bahwa dalam berfilsafat kita harus berpikir secara berani dalam mencari kemungkinan-kemungkinan baru tentang kebenaran yang mungkin tidak terpikirkan atau terbayangkan sebelumnya. Kemungkinan-kemungkinan baru itu mungkin sekali tampak sebagai sesuatu yang kontroversial tetapi mungkin pula kemungkinan-kemungkinan yang kontroversial itu pada akhirnya teruji sebagai suatu kebenaran yang hakiki. Sejarah mencatat, misalnya, ketika Nicolaus Copernicus mengemukakan gagasan heliosentrismenya bahwa pusat tata surya adalah matahari, bukan bumi, dunia—terutama kalangan Gereja Romawi—menganggap itu gagasan kontroversial yang membahayakan kemapaman pemahaman dogmatis bahwa bumi adalah pusat tata surya (geosentrisme). Gagasan heliosentrisme ini bahkan membawa Galileo Galilei yang berhasil membuktikan kebenaran Copernicus kepada kematiannya di tiang gantung. Akan tetapi, sejarah mencatat pula bahwa Copernicus dan Galilei-lah yang benar. Kedua pemikir hebat ini membuktikan keberaniannya untuk berspekulasi dalam mencari kebenaran.
Tentu saja harus ditegaskan di sini bahwa sikap spekulatif itu mutlak harus dilandasi oleh metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan melalui pengujian-pengujian yang sistematis dan bersandar kepada bukti-bukti yang kuat. Proses pencarian kebenaran seperti ini mengantarkan kita kepada dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah hakikat di balik alam nyata ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi pancaindra kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme), ataukah terdiri dari unsur yang banyak (pluralisme).[3] Dalam bahasa BM, filsafat ontologi berusaha membawa manusia untuk berpikir dengan benar (think rightly) tentang sederet pertanyaan seperti: objek apa yang ditelaah; bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut; bagaimana korelasi antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang menghasilkan ilmu. Ontologi adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidangnya.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia[4]. Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan kebenaran[5]. BM melihat epistemologilogi sebagai filsafat yang mempertanyakan bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu; bagaimana prosedur dan mekanismenya; hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar; apa yang disebut kebenaran itu sendiri; apa kriterianya; cara, teknik, dan sarana apa yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu. Epistemologi berusaha membawa manusia bertindak dengan benar (act rightly) dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan.
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan apakah yang baik atau bagus itu. Dalam definisi lain, aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia.[6] Dalam bahasa BM, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan; bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral; bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral; bagaimana korelasi antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral. Aksioologi berusaha membawa manusia hidup dengan benar (act rightly) dalam memaknai kebenaran ilmu pengetahuan.
Demikianlah, filsafat adalah jalan yang dapat ditempuh oleh manusia dalam mendekati kebenaran. Perlu ditegaskan kembali di sini pandangan BM yang inspiratif bahwa filsafat memiliki tugas yang berat untuk mengharmoniskan segala fenomena yang menjadi tidak teratur dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari sikap dan cara memandang kehidupan yang terlalu bersandar kepada common sense manusia. Filsafat berusaha membawa kita untuk secara kritis terus mempertanyakan segala fenomena kehidupan, termasuk mempertanyakan diri kita sendiri, karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri, ”Berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui”[7]

Medan, 15 Desember 2013





[1] Artikel ini merupakan hasil refleksi penulis terhadap kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan oleh Prof. Dr. Belferik Manullang, 12 Desember 2013 pada Program Studi Administrasi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan.
[2] Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, terjemahan H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy, ed. VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 245.
[3] Prof. Dr. H. Jalaluddin dan Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed., Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, ed. 1—2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 77.
[4] Salam (1988: 9); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid.
[5] Muhammad Noor Syam (1986: 32); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid. h. 78.
[6] Muhammad Noor Syam (1986: 32); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, cet. XX (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) h. 20.

Dari Renaisans ke Empirisme: Sekilas Sejarah Perkembangan Filsafat Modern

A.     Pendahuluan
Perkembangan filsafat pada hakikatnya selalu berhubungan dengan tradisi pemikiran. Karena tradisi pemikiran itu hidup dan berkembang dalam masyarakat maka filsafat menemukan bentuk dan warna sesuai dengan masyarakat tempat filsafat itu berkembang.
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Mengutip (Mustansyir, 2008: 58—59), Syekhuddin (2009) menyatakan bahwa ditinjau dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu yang dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, adalah Zaman Yunani Kuno. Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Para filsuf pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris.
Kedua, Zaman Abad Pertengahan. Ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Para filsuf pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani. Akibatnya, perkembangan alam pemikiran Eropa pada Abad Pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya.
Ketiga, adalah Zaman Abad Modern. Karena para filsuf zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat. Corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, pada zaman modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan mana pun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri, yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Keempat, abad kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris yang menekankan teks sebagai tema sentral diskursus filsafat. Logosentrisme (Karyanto, 2007: 46—47) memiliki implikasi yang luas terhadap pembicaraan tentang dekonstruksi bahasa yang—mau tidak mau—mesti dikaitkan dengan semangat yang melahirkannya, yaitu gerakan postmodernisme. Gerakan postmodernisme sampai saat ini masih mencari kejelasan format dan metodologinya. Sejauh ini kejelasan bukanlah ciri yang menonjol dari gerakan ini. Hidayat (2006: 199—200), misalnya, melansir beberapa pertanyaan yang pantas diajukan pada gerakan ini. Apakah ia merupakan periode sejarah dari kebudayaan postmodernitas, atau justru hanya merupakan mode masa kini? Apakah ini konsep filosofis, atau sastra dan arsitektur masa sekarang, ataukah hanya merupakan perlawanan dan reaksi serta oposisi terhadap modernisme? Apakah ini merupakan reaksi terhadap gaya seni global dan fenomena sosial ataukah reaksi dan model kritik terhadap epistemologi objektif modernisme?
Pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada filsafat modern dan perkembangannya yang difokuskan pada tiga topik utama yaitu  perkembangan (1) filsafat Barat pada Era Renaisans, (2) filsafat modern aliran rasionalisme, dan (3) filsafat modern aliran empirisme.
B.    Filsafat pada Era Renaisans
Zaqzuq (1988) menyatakan bahwa tidak mudah menentukan batas yang jelas mengenai akhir Zaman Pertengahan dan awal yang pasti dari Zaman Modern. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan para ahli sejarah tentang peralihan kedua zaman itu. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa Zaman Pertengahan berakhir ketika Konstantinopel ditaklukkan oleh Turki Usmani pada tahun 1453 M. Peristiwa tersebut dianggap sebagai akhir Zaman Pertengahan dan titik awal Zaman Modern. Ada juga yang berpendapat bahwa  penemuan Benua Amerika oleh Columbus pada tahun 1492 M menandai awal Zaman Modern. Para ahli yang lain cenderung menganggap Era Gerakan Reformasi Keagamaan yang dimotori oleh Martin Luther pada tahun 1517 M sebagai akhir Zaman Pertengahan. Namun, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa akhir abad ke-14 sekaligus menjadi akhir Zaman Pertengahan yang ditandai oleh suatu gerakan yang disebut Renaisans (Renaissance) pada abad ke-15 dan 16. Dengan demikian, abad ke-17 menjadi bagian awal dari zaman filsafat modern (Syekhuddin, 2009).
Renaisans berasal dari istilah bahasa Prancis renaissance yang berarti kelahiran kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh para ahli sejarah untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh seorang ahli sejarah terkenal yang bernama Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dioposisikan dengan periode Abad Pertengahan.
Abad Pertengahan, menurut Tafsir (1998: 109) adalah abad ketika alam pikiran dikungkung oleh Gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat dibatasi sehingga perkembangan sains sulit terjadi. Demikian pula dengan filsafat yang tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif  itulah orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju, pemikiran tidak dikungkung sehingga sains berkembang, yaitu Zaman Yunani Kuno. Pada Zaman Yunani Kuno tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan kembali (Syekhuddin, 2009).
Pada pertengahan abad ke-14, di Italia muncul gerakan pembaruan di bidang keagamaan dan kemasyarakatan yang dipelopori oleh kaum humanis Italia. Tujuan utama gerakan  ini adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Gerakan ini berusaha meyakinkan Gereja bahwa sifat pikiran-pikiran klasik itu tidak dapat binasa. Dengan memanfaatkan kebudayaan dan bahasa klasik itu mereka berupaya menyatukan kembali Gereja yang terpecah-pecah dalam banyak sekte (Syekhuddin, 2009).
Tidak dapat dinafikan bahwa pada abad pertengahan orang telah mempelajari karya-karya para filsuf Yunani dan Latin. Namun, apa yang telah dilakukan oleh orang pada masa itu berbeda dengan apa yang diinginkan dan dilakukan oleh kaum humanis. Para humanis bermaksud meningkatkan perkembangan yang harmonis dari kecakapan serta berbagai keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan adanya kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik Yunani. Para humanis pada umumnya berpendapat bahwa hal-hal yang alamiah pada diri manusia adalah modal yang cukup untuk meraih pengetahuan dan menciptakan peradaban manusia. Tanpa wahyu, manusia dapat menghasilkan karya budaya yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa humanisme telah memberi sumbangannya kepada renaisans untuk menjadikan kebudayaan bersifat alamiah (Syekhuddin, 2009).
Zaman Renaisans banyak memberikan perhatian pada aspek realitas. Perhatian yang sebenarnya difokuskan pada hal-hal yang bersifat konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan dan porsi yang lebih besar karena ada suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan pemecahannya. Hal ini dibuktikan dengan perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan adalah semakin besar kekuasaan akal maka akan lahir dunia baru yang dihuni oleh manusia-manusia yang dapat merasakan kepuasan atas dasar kepemimpinan akal yang sehat.
Pada zaman ini, menurut  Mustansyir (2008: 70), berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran Abad Pertengahan yang dogmatis sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat. Zaman renaisans terkenal dengan  era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir seperti pada Zaman Yunani Kuno. Manusia dikenal sebagai animal rationale karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Ilahi. Saat itu manusia Barat mulai berpikir secara baru dan berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang sebelumnya telah mengungkung kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan (Syekhuddin, 2009).
Tafsir (1998: 110) mengatakan zaman ini juga sering disebut sebagai zaman humanisme. Maksud ungkapan tersebut adalah manusia diangkat dari Abad Pertengahan. Pada abad tersebut manusia kurang dihargai kemanusiaannya. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran gereja, bukan menurut ukuran yang dibuat oleh manusia sendiri. Humanisme menghendaki ukurannya haruslah manusia karena manusia mempunyai kemampuan berpikir. Bertolak dari sini, humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya sendiri dan mengatur dunia. Karena semangat humanisme tersebut, akhirnya agama Kristen semakin ditinggalkan, sementara pengetahuan rasional dan sains berkembang pesat terpisah dari agama dan nilai-nilai spiritual (Syekhuddin, 2009).
Renaisans tidak lahir secara kebetulan, tetapi ada prakondisi yang mengawali terjadinya kelahiran tersebut. Menurut Zaqzuq (1988), ada beberapa faktor penting yang memengaruhi kelahiran Renaisans, yaitu yang diuraikan sebagai berikut.
Pertama, implikasi yang sangat signifikan yang ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat. Gerakan tersebut lahir sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam bahasa latin selama dua abad, yaitu abad ke-13 dan 14. Bahkan sebelumnya telah terjadi penerjemahan kitab-kitab Arab di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal itu dilakukan setelah Barat sadar bahwa Arab memiliki kunci-kunci khazanah pemikiran klasik Yunani.
Hasil dari penerjemahan karya-karya Muslim berpengaruh terhadap kurikulum Eropa Barat secara revolusioner, terutama di bidang matematika, kedokteran, astronomi, filologi, fisika, ilmu kimia, geografi, sejarah, musik, teologi, dan filsafat. Transformasi tersebut menumbuhkan universitas-universitas Eropa abad ke-12 dan ke-13. Hal itu, menurut Nakosteen (1996: 271), telah menstimulasi perkembangan lebih lanjut teori dan praktik kedokteran, memodifikasi doktrin-doktrin teologi, memprakarsai dunia baru dalam matematika, menghasilkan kontroversi baru dalam teologi dan filsafat.
Kedua, pasca-penaklukan Konstantinopel oleh Turki Usmani, terjadi migrasi para pendeta dan sarjana ke Italia dan negara-negara Eropa lainnya. Para sarjana tersebut menjadi pionir-pionir bagi pengembangan ilmu di Eropa. Mereka secara bahu-membahu menghidupkan pemikiran klasik Yunani di Florensia dengan membawa teks-teks dan manuskrip-manuskrip yang belum dikenal sebelumnya.
Ketiga, pendirian berbagai lembaga ilmiah yang mengajarkan beragam ilmu, seperti berdirinya Akademi Florensia dan College de France di Paris. Dalam universitas-universitas abad ke-12 dan ke-13, ilmu pengetahuan telah didasarkan hampir sepenuhnya pada tulisan-tulisan dari para penulis Muslim atau Yunani, sebagaimana diterjemahkan dari sumber-sumber bahasa Arab dan Yunani. Ilmu pengetahuan Muslim Aristotelian tetap merupakan inti dari kurikulum  Universitas Paris hingga abad ke-16. Tidak sampai pertengahan abad ke-16 dan datangnya Copernicus dalam astronomi, Paracelsus dalam ilmu kedokteran, dan Vesalius dalam anatomi; ilmu pengetahuan Muslim-Helenistik telah membuka jalan kepada konsep-konsep baru tentang manusia dan dunianya sehingga menimbulkan keruntuhan periode Abad Pertengahan (Nakosteen, 1996: 276).
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang melahirkan Renaisans, yaitu:
1)     hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan Prancis membuat para pendeta mendapat kesempatan belajar di Spanyol kemudian mereka kembali ke Prancis untuk  menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh di lembaga-lembaga pendidikan di Prancis.
2)     Perang Salib (1100—1300 M) yang terulang sampai enam kali, tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, tetapi juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu sekembalinya di negara-negara masing-masing (Syekhuddin, 2009).
Pada Zaman Renaisans ada banyak penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di antara tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut.
1.     Nicolaus Copernicus (14731543)
Ia dilahirkan di Torun, Polandia dan belajar di Universitas Cracow. Walaupun ia tidak mengambil studi astronomi, namun ia mempunyai koleksi buku-buku astronomi dan matematika. Ia sering disebut sebagai Founder of  Astronomy. Ia mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat jagad raya dan bumi mempunyai dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan perputaran tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut heliocentric menggeser teori Ptolemaic. Ini adalah perkembangan besar, tetapi yang lebih penting adalah metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup penelitian terhadap benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan benda-benda tersebut (Titus et al., 1984: 258).
2.     Galileo Galilei (15641642)
Galileo Galilei adalah salah seorang penemu terbesar di bidang ilmu pengetahuan. Ia menemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak parabola, bukan gerak horizontal yang kemudian berubah menjadi gerak vertikal. Ia menerima pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan teleskopnya, ia mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri sendiri. Selain itu, ia juga berhasil mengamati bentuk Venus dan menemukan beberapa satelit Jupiter (Hadiwijono, 1993: 14; lihat Syekhuddin, 2009).
3.     Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon adalah seorang filsuf dan politikus Inggris. Ia belajar di Cambridge University dan kemudian menduduki jabatan penting di pemerintahan serta pernah terpilih menjadi anggota parlemen. Ia adalah pendukung penggunaan scientific methods. Ia berpendapat bahwa pengakuan tentang pengetahuan pada zaman dahulu kebanyakan salah, tetapi ia percaya bahwa orang dapat mengungkapkan kebenaran dengan inductive method, tetapi lebih dahulu harus membersihkan fikiran dari prasangka yang ia namakan idols atau arca (Titus et al., 1984: 258).
Bacon telah memberi kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir dalam bukunya Idols of the Mind. Pertama, Arca-arca Suku (Idols of the Tribes), yang memperlihatkan bahwa kita cenderung menerima bukti-bukti dan kejadian-kejadian yang menguntungkan pihak atau kelompok (suku atau bangsa) kita semata. Kedua, Arca-arca Gua (Idols of Cave) yang memperlihatkan bahwa kita cenderung memandang diri kita sebagai pusat dunia dan menekankan pendapat kita yang terbatas. Ketiga, Arca-arca Pasar (Idols of the Market) yang menjadikan kita terpengaruh oleh kata-kata atau nama-nama yang kita kenal dalam percakapan kita sehari-hari. Kita disesatkan oleh kata-kata yang diucapkan secara emosional. Sebagai contoh, dalam masyarakat Amerika kata-kata komunis, radikal, dan teroris. Keempat, Arca-arca Panggung (Idols of Theatre) yang timbul karena sikap kita berpegang pada partai, kepercayaan, atau keyakinan. Tingkah laku, cara-cara, dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, dalam arti bahwa mereka membawa kita ke dunia khayal. Akhirnya arca panggung membawa kita kepada kesimpulan yang salah dasar (Titus et al., 1984: 191).
Bacon menolak silogisme sebab silogisme dipandang tanpa arti dalam ilmu pengetahuan karena tidak mengajarkan kebenaran-kebenaran yang baru. Ia juga menekankan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat dihasilkan melalui pengamatan, eksperimen, dan harus berdasarkan data-data yang tersusun. Dengan demikian, Bacon dapat dipandang sebagai peletak dasar-dasar metode induksi modern dan pelopor dalam usaha sistematisasi secara logis dalam prosedur ilmiah (Syekhuddin, 2009).
Dalam bidang filsafat, Zaman Renaisans tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Filsafat berkembang bukan pada zaman itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya yaitu Zaman Modern. Meskipun terdapat berbagai perubahan mendasar, tetapi abad-abad Renaisans tidaklah secara langsung menjadi lahan subur bagi pertumbuhan filsafat. Baru pada abad ke-17 dengan dorongan daya hidup yang kuat sejak Era Renaisans, filsafat mendapatkan pengungkapannya yang lebih jelas. Jadi, pada Zaman Modern filsafat didahului oleh Zaman Renaisans. Ciri-ciri filsafat Renaisans dapat ditemukan pada filsafat modern. Ciri tersebut antara lain, menghidupkan kembali rasionalisme Yunani, individualisme, humanisme, lepas dari pengaruh agama, dan lain-lain (Tafsir, 1998: 111; lihat Syekhuddin, 2009).
Pada abad ke-17, pemikiran Renaisans mencapai kesempurnaannya pada diri beberapa tokoh besar. Pada abad ini tercapai kedewasaan pemikiran sehingga ada kesatuan yang memberi semangat yang diperlukan pada abad-abad berikutnya. Pada masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanyalah apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri). Sebagai akibat dari kecenderungan berbeda dalam memberi penekanan kepada salah satu dari keduanya maka pada abad ini lahir dua aliran yang saling bertentangan, yaitu rasionalisme yang memberi penekanan pada rasio dan empirisme yang memberi penekanan pada empiri.
C.      Filsafat Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir Renaisans masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan; semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya; terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan; terhadap norma-norma yang bersifat tradisi; dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna; dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme (Syekhuddin, 2009).
Pada zaman filsafat modern, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (15951650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632—1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646—1716).
Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang pertama di akhir Abad Pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen dan selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
Descartes sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering disebut cogito Descartes atau sering disebut metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga dengan Metode Keraguan Descartes (Cartesian Doubt) (Syekhuddin, 2009).
Uraian Descartes yang lebih jelas tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methods yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini.
1)     Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2)     Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3)     Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4)     Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu (Praja, 2008: 96; lihat Syekhuddin, 2009).
Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan pancaindera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat ke-ada-an itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi. Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, ”Aku dapat meragukan bahwa aku di sini sedang siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku ada di tempat tidur sedang bermimpi”. Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa yang sedang kita alami sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan mimpi?
Pada langkah pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera. Sekarang , apa yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi, dan hal gaib), juga  dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah, dan besaran (volume). Ketiga hal tersebut adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini benar-benar ada, Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa matematika bisa salah. Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur besaran, demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan, meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti itu dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct(Syekhuddin, 2009).
Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito. Satu-satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada maka penyesatan itu pun bagi Descartes merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan, melainkan kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).
Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya ada) adalah benar, Descartes berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh kejelasan dan ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul dalam pikiran kita: ”Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas adalah benar.
Dengan demikian, menurut Suriasumantri (2003: 100—101) falsafah rasional mempercayai bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes mengakui bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan, maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat diandalkan (Syekhuddin, 2009).
Cogito ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri atas pikiran dan keberadaannya tidak butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Untuk menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan (innate ideas). Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang telah ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan, dan keluasan. Argumen tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Ketika saya mempunyai ide sempurna maka pasti ada penyebab sempurna bagi ide tersebut karena akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah Tuhan. Adapun, alasan tentang keluasan karena saya mengerti ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan dipelajari dalam ilmu geometri.
Mengenai substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi, yaitu jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar dirinya maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah bahwa Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak mungkin Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar saya benar-benar ada dunia material.
Adapun, Spinoza beranggapan bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Jika Descartes membagi substansi menjadi tiga, yaitu tubuh (bodies), jiwa (mind) dan Tuhan, Spinoza menyimpulkan hanya ada satu substansi. Adapun bodies dan mind bukan substansi yang berdiri sendiri, melainkan sifat dari satu substansi yang tak terbatas. Ketika ia ditanya,”Bagaimana membedakan atribut bodies dan mind?” Spinoza memberi jawaban mengejutkan: ”Anda hanyalah satu bagian dari substansi kosmik (universe)”. Jika demikian, alam semesta juga adalah Tuhan. Bagi Spinoza, Tuhan dan alam semesta adalah satu dan sama. Ya, Spinoza percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza itu tidak berkemauan, tidak melakukan sesuatu, tak mempedulikan manusia dan tak terbatas (ultimate). Inilah penjelasan logis dan dapat diketahui tentang Tuhan menurut Spinoza (Syekhuddin, 2009).
Sebagai penganut rasionalisme, Spinoza dianggap sebagai orang yang tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh penganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur (geometri). Seperti halnya orang Yunani, Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Spinoza meyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur maka ia pasti akan memahami makna yang terkandung dalam pernyataan “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”, maka kita harus mengakui kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran yang demikian menjadi aksioma (Syekhuddin, 2009).
Contoh ilmu ukur (geometri) yang dikemukakan oleh Spinoza di atas adalah salah satu contoh favorit kaum rasionalis. Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri seperti “sebuah garis lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik” adalah idea yang jelas dan tegas yang baru kemudian dapat diketahui oleh manusia. Dari aksioma dasar itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma. Hasilnya adalah sebuah jaringan pernyataan yang formal dan konsisten yang secara logis tersusun dalam batas-batas yang telah digariskan oleh suatu aksioma dasar yang sudah pasti.
D.     Filsafat Empirisme
Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme (Syekhuddin, 2009).
Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (15881679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun, alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian: ruang, waktu, bilangan, dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak.  Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan, misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi  pada awal gerak reaksi tadi.
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang.
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (16321704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri (Syekhuddin, 2009).
 Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tetapi, menurut Locke, pikiran bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Beberapa aktivitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai, meragukan, dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel, misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar, dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.
 Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.
E.      Penutup
Dari pembahasan terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1)   Kemunculan renaisans telah membawa hidupnya kembali ilmu pengetahuan, filsafat, dan perubahan di berbagai lini kehidupan sehingga para sejarawan menganggapnya sebagai awal zaman modern. Berbagai perubahan yang terjadi selama era renaisans menjadi persiapan bagi pembentukan filsafat pad abad ke-17, atau yang dikenal dengan filsafat modern.
2) Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan diri yang metafisik, ketika Descartes meragukan aku yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
3) Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan aku yang metafisik, maka empirisme menonjolkan aku yang empiris.
Kepustakaan
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda, Cet. I. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Karyanto, Uum G. 2007. “Dekonstruksi Bahasa sebagai Strategi Puitik Kalung dari Teman” dalam 27 Naskah Terbaik LMKS 2006. Jakarta: Ditjen Mandikdasmen, Departemen Pendidikan Nasional.
Syekhuddin. 2009. “Filsafat Modern dan Pembentukannya (Renaisans, Rasionalisme, & Empirisme)” http://jaringskripsi.wordpress.com, diakses pada 22 Oktober 2013.
Titus, Harold H., Marilyn Smith, dan Richard Nolan. 1984. Living Issues in philosophy. Diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet.  I. Jakarta: Bulan Bintang.




Resepsi atas Ziarah Iwan Simatupang: Sebuah Konfrontasi

Uum G. Karyanto Pembacaan atas suatu karya sastra merupakan proses yang mempertemukan pemikiran dan imajinasi kreatif pengarang dengan p...